Bab II |Jangan Bertanya

11 1 0
                                    

"Serius?" Kak Arthur memandang wajahku berulang kali masih menancapkan mosi tak percaya kepadaku.

"Serius lah, masa aku main-main," balasku lalu mengajak Kakak cepat-cepat masuk ke dalam rumah.

Saat langkahku hampir sepenuh masuk ke dalam rumah, sekali lagi aku menatap padang ilalang jagung yang berada di depan sana. Memastikan bahwa wanita itu masih berada di sana, selama kami bermain baseball hinga hari mulai larut, mataku berulang kali memandang padang jagung itu. Takut jika saja, tiba-tiba tubuhku yang paling mungil ini dijadikan sasaran penculikan nantinya.

"Ayo, lekas mandi," ujar Ibu, lalu membuka baju dan mendorong tubuhku masuk ke dalam kamar mandi.

Di sana, pikiranku juga melayang-layang. Entah kenapa? Penampakan wujud wanita yang tak bisa aku deskripsikan itu, tergiang-giang di otakku. Sebenarnya siapa dia?

Aku melamun cukup lama namun sekali lagi, aku tak bisa memberitahu orang tuaku perihal hal ini, ketakutan menguasai pikiranku. Tak bisa aku pikirkan jika apa yang aku takutkan itu tidak nyata? Menjawab ocehan ayah yang memang sejatinya cukup cerewet, membungkam mulutku bahkan hanya bertatapan mata dengannya saja.

"Pakai baju dan segera ke meja makan, jangan terlalu lama." Ibu menyiapkan berbagai makanan di meja makan, ketika aku melintas di ruangan itu.

Aku mengangguk, lalu berlari ke atas. Saat suasana gelap yang mulai mengelayuti dinding-dinding kamar yang memang belum aku hidupkan lampunya. Bulu kudukku merinding, memang dunia fantasi ketika melihat sesuatu yang gelap, bukanlah sesuatu hal yang main-main.

Dengan suasana hati yang tidak tenang, aku dengan cepat memakai baju lalu turun kembali ke bawah. Andai aku masih berumur 5 tahun saat ini, kan ku rayu ayah dan ibu agar bisa tidur dengannya.

"Nah, Sang Jagoan datang juga." Ayah mengacak rambutku lalu mengajak kami semua berdoa.

Memang keluargaku cukup religious bahkan sesungguhnya harmonis, tak ada pertengkaran bahkan kekerasan dalam rumah tangga. Kedua orang tuaku saling menyanyangi satu sama lain dan selalu memperhatikan kedua anaknya tanpa memprioritaskan satu orangpun.

Selama memakan hidangan kesukaanku, sop dan ayam goreng. Sesekali aku melirik kearah kakak, berharap bocah remaja itu akan menceritakan perihal kejadian sore tadi kepada ayah dan ibu. Namun, semuanya nihil. Ia hanya melihatku sinis sambil memakan ayam goreng dengan lahap.

"Jadi, Ayah bakal mancing sama pakde besok. Ada yang mau ikut?" tanya Ayah sambil melihat Kakak dan aku kembali.

Aku menggeleng, lalu mengamati wajah kakak kembali. Kakak menyeringai ke arahku. "Aku ikut."

Oke, tak ada yang memihakku saat ini.

"Kemana?" tanyaku dengan wajah malas.

"Ke empang di belakang rumah. Ikannya banyak lo Dek, nyakin enggak mau ikut?"

Kembali aku menggeleng, "Tempatnya aneh, biasanya Ayah juga enggak mancing di situ."

Ayah tertawa, kakak juga. Semuanya seakan tak paham dengan kondisi rumah yang menurutku sangat rawan ini. Rumah yang luas dengan beberapa lahan petani yang terbengkalai di belakang rumah, menjadi sesuatu hal yang seharusnya diselidiki terlebih dahulu.

"Tadi sore juga ..."

"Alah, jangan ngomong sembarangan Dek." Kakak mematahkan ucapanku.

"Ada apa?" tanya Ayah lalu mengamati kami berdua.

"Adek bilang, tadi ada ibu-ibu di belakang ladang jagung itu," jawab Kakak malas.

"Benar Dek?" teliti Ayah lebih lanjut.

"Iya, Adek lihat kok. Dia berdiri di sana," tunjukku ke halaman belakang rumah.

Ayah mengikuti arah pandanganku, ibu yang mulai takut dengan penjelasanku saat ini mulai bergelayut ke arah ayah sambil sesekali mengelus perutnya yang mulai membuncit.

"Udah lah Yah! jangan percaya, lagian mana ada ibu-ibu sendirian di sana."

"Makanya lihat!" ujarku, menahan emosi karena tidak ada yang mau mendengarkan ceritaku saat ini.

"Sudah-sudah ... biar nanti Ayah tanya sama pak supripto. Mungkin beliau tahu perihal hal ini."

Ayah meminum air putih lalu melangkah ke ruang tamu. Aku mengikuti langkahnya lalu duduk di sofa, kakak yang sudah selesai makan membantu ibu membereskan meja makan.

"Halo, Pak Supripto."

"Iya, ada apa Pak?"

Sama-samar bisa kudengar suara bass dari pria itu.

"Gini, mau nanya. Apa benar di belakang rumah ada seseorang yang tinggal di sana?" Ayah bertanya sambil memandang ibu yang sekarang juga telah duduk di sampingku.

"Hmm ..." Selama beberapa menit, tidak ada suara di sana, hanya terdengar helaian buku yang dibuka berulang kali.

"Oh iya Pak, ada."

Ayah lalu membulatkan mata dan memandangku. "Siapa ya Pak?"

"Itu pak, satpam di perumahan Padang Asri ini. Sukiman, tapi rumahnya tidak berada di sana. Agak ujung dikit Pak, memangnya kenapa ya Pak?"

Ayah tersenyum getir, lalu menghela napas sebentar. "Anakku bilang, ia melihat seorang wanita berada di padang jagung itu. Aku hanya khawatir saja, jika benar. Aku ingin dia segera pindah sekarang juga."

Tak ada jawaban di ujung sana, hanya terdengar suara napas yang terengah-engah. Ayah memanggil Pak Supripto berulang kali, namun selama 15 menit tak ada balasan dari pria itu. Karena ayah berpikir telepon itu mungkin saja telah terputus dengan segera ayah mengakhiri panggilannya. Sebelum akhirnya satu kalimat, mengangetkan dirinya.

"Itu bohong Pak, gak ada apa-apa di sana. Setahu saya, empang dan ladang jagung itu telah ditinggalkan begitu lama."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 05, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Woman In BackyardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang