"Eh jatoh! Loh, mimpi ya?"
Ashila terbangun dari tidurnya dengan posisi otomatis terduduk, ia memegangi kepalanya yang terasa sangat pusing.
"Dek, bangun kenapa sih. Jangan mentang-mentang lagi galau kerjaannya molor mulu."
Nyelonong aja nih orang, ketok pintu kek kan kaget. Ashila menatap kakak laki-lakinya yang sudah terlihat rapi pagi itu dengan malas
"Ihh, iya! Shila udah bangun kok ini."
"Yaudah, sana sarapan."
"Kakak gak ngampus?"
"Iya ini mau, tapi bangunin princess tidur dulu."
"Yaudah sana jangan balik lagi, hush."
Tuk, "Gak sopan kamu, Dek. Untung Adik."
Ashila menanggapi ketukkan di kepalanya itu dengan cengiran lebar. Setelah punggung Kakaknya mengilang, ia kembali menjatuhkan badannya ke ranjang. Lagian aku kan libur, ngapain dia bangunin aku. Kan jadinya keinget dia lagi!
Ashila membenamkan kepalanya pada bantal. Ia bersumpah pada dirinya sendiri, lebih baik tidur selamanya saja jika tau kenyataan yang dia hadapi sepedih ini.
Ashila terpaksa mengangkat kepalanya ketika dering telepon masuk terdengar, ia membaca nama yang terpampang di layar lalu mengerutkan dahi.
"Halo, ada apa?"
"Ada aku."
"Gak lucu, Jim."
"Iya deh. Cil, lagi dirumah gak? Aku kerumah ya?"
"Dih, apa sih. Nggak, aku gak lagi dirumah. Gak usah kesini."
"Diem di tempat, aku kesana."
"Apaan s–tut."
Sambungan telepon terputus, menandakan dengan terpaksa Ashila harus bangkit dari kasur kesayangannya dan bersiap-siap untuk mandi. Karena sebentar lagi Jim datang kerumahnya. Nyusahin aja, pikir Ashila.
Setelah mandi dan rapi, klakson motor terdengar dari luar. Jim sudah sampai. Ashila berjalan menuruni tangga, pagar dibuka sedikit agar kepalanya bisa mengintip keluar.
"Mau ngapain sih? Kalo gak penting pulang aja."
"Dih galaknya kambuh, aku bawa martabak green tea loh, pedahal. Gak mau? Yaudah aku pulang."
"Eh, masuk yuk Jim, Di luar panas."
"Jinak kan langsung."
Sesampainya di didalam, Ashila menadahkan tangannya.
"Apa?"
"Martabaknya dong, apa lagi?"
"Nih, sana makan yang banyak."
"Makasih Jiiim, baik deh, hehehe."
Jim menggelengkan kepalanya, baru kali ini ia menemukan orang galak yang bisa dijinakkan dengan martabak green tea.
"Cil."
"Iya?"
"Sebenernya niat aku kesini gak jajanin kamu martabak, sih."
"Ih, jadi ini aku ngutang?"
"Ya ga gitu, Cila."
"Terus?"
Jim mengambil nafas panjang, "Aku denger dari Kakakmu, katanya kamu lagi galau. Iya, ya? Kamu kenapa? Di apain sama dia?"
Ashila yang sedang menikmati martabaknya langsung terdiam. Martabak yang seharusnya terasa manis dimulut Ashila dengan sekejap terasa hambar. Ia meletakkan potongan martabak itu kembali ketempatnya, lalu menyender pada sofa.
"Aku dibohongin, Jim."
"Maksudnya?"
"Entahlah, awalnya aku percaya sama dia. Tapi lama kelamaan aku ngerasa bego sendiri."
"Cerita aja semuanya kalo itu buat kamu lega, gak apa-apa."
"Tapi kamu.. beneran gak apa-apa?"
Ashila bingung, dia sangat ingin membenturkan kepalanya ke meja. Masalahnya, jika ia menceritakan ini, tak akankah Jim merasa sakit hati? Jim pernah ada di dalam hatinya, lalu sekarang Ashila ingin menceritakan orang lain yang menggantikan posisi Jim disana? Yang benar saja. Ashila bahkan sangat bersyukur Jim masih ada disini menemaninya, walau mereka secara bahasa sudah tidak bersama lagi seperti dulu.
"Emang aku kenapa?"
"Enggak, lupain aja. Aku cerita kapan-kapan aja, Jim."
"Iya deh. Btw, aku pikir kamu bahagia loh sama dia. Kamu keliatan seneng, ternyata enggak, ya?"
Ashila menggeleng, "Jim, hatiku memang sudah hancur. Dan mungkin memang enggak bisa ngerasain seneng lagi. Kalo aku keliatan seneng, itu cuma keliatannya."
"Jangan bilang gitu, kamu harus bahagia. Kamu janji kan waktu itu?"
Mungkin Jim terlihat bijak sekali saat ini, Ashila tidak tau saja bagaimana keadaan hati Jim di dalam sana. Dengan tau Ashila jadian dengan yang lain beberapa minggu lalu saja sudah membuatnya gerah. Dan lagi, keadaan Ashila sekarang membuat Jim semakin ingin meledak. Ia sangat benci pada lelaki yang menyakiti Ashila itu.
"Enggak bisa. Aku pikir aku bakal akhiri aja semua ini, aku capek."
"Kalo itu bikin kamu mendingan, lakuin aja. Tapi pikirin dulu sampai mateng. Take your time, Cil."
"Makasih, Jim."
Jim mengusap air mata yang terjatuh di pipi Ashila,
"Jangan nangis, nanti hujan."
"Biarin. Kan, ada pawangnya."
"Siapa pawangnya?"
"Kamu."
"Kok aku? Biasanya dia terus."
"Ih, sana pulang."
"Ngusir?"
"Enggak."
"Terus?"
"Nyuruh pulang soalnya aku pengen abisin martabaknya sendiri, nanti kamu minta."
"Gak akan minta, liatin kamu makan aja aku ikutan gendut."
"Kok bisa?"
"Karena separuh aku dirimu."
"Jim noah kesasar!"
"Hahahaha."
Hening, Ashila baru ingat kalau Jim teman satu angkatan kakaknya, dengan artian Jim seharusnya pergi ke kampus sama seperti kakaknya hari ini.
"Kamu gak ngampus?"
"Lagi gak ada kelas, sama mau nemenin kamu aja. Kakak kamu cerita kemaren, takutnya kamu bunuh diri kalo aku gak kesini."
"Enggak lah, ngapain."
"Kan takutnya, kalo iya nanti aku gimana?"
"Ikut bunuh diri, terus kalo udah nanti aku bangun lagi."
"Loh, aku mati sendiri dong?"
"Iya, emang gitu."
"Tapi gak mau."
"Terus maunya gimana?"
"Sama-sama gak bunuh diri. Terus nanti lanjutin bareng-bareng sampai jadi happy ending, Mau?"
"Enggak."
"Yaah."
Tidak ada respon dari Ashila. Tentu saja, karena ia sedang asik menghabiskan martabaknya sambil menonton televisi. Jim disebelahnya hanya bisa menatap Ashila dengan senyum tipis terlukis pada bibirnya. Aku senang lihat kamu baikan. Semoga hatimu lekas sembuh, Ashila.

KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Trauma
أدب المراهقينBukan cerita putri dan pangeran yang selalu berakhir dengan bahagia. Ini cuma cerita sederhana aku sama kamu. Entah lah, aku enggak terlalu peduli bagaimana akhirnya.