Bagian 3

475 38 1
                                    

Ngomong-ngomong, lu makin lengket aja sama Bow. –Hanif Sjahbandi

Artikel Serena sudah terbit walaupun dia harus keteteran karena saat di cafe bersama Febri, dia hanya menghasilkan 1 lembar saja. Alhasil dia langsung bergadang mengerjakan deadlinenya itu. Siang ini giliran dia yang menemani Febri latihan. Lapangan Lodaya terlihat begitu ramai orang. Mereka juga antusias sekali melihat Persib Bandung berlatih.

“Neng Serena?”

Serena yang daritadi sibuk dengan gadgetnya kini mengalihkan pandangannya kepada seorang perempuan paruh baya. Serena seperti pernah melihat perempuan ini, hanya saja dia lupa pernah bertemu dimana.

“Iya, bu?”

“Ya Allah neng Serena teh makin geulis aja.”

“Eh..emm hatur nuhun bu.”

“Hanif juga lagi disini neng. Kebetulan dia ambil libur, katanya sekalian reuni SMA.”

Deg!

Barulah Serena menyadari bahwa perempuan yang tengah berbincang dengannya ini adalah ibu Hanif. Ibu Hanif Abdurauf Sjahbandi. Maklum saja Serena agak lupa-lupa ingat, terakhir kali mereka bertemu itu saat Serena dan Hanif masih kelas 1 SMA. Ibu Hanif harus pindah terlebih dahulu ke Malang setelah mengetahui bahwa Hanif akan dikontrak klub Arema FC.

“Itu Hanif. Aa Hanif sini, ada neng Serena.”

Perasaan Serena mulai tak karuan. Dia belum berani menatap seseorang yang barusan dipanggil oleh perempuan yang duduk disampingnya ini. Semoga ini hanya mimpinya semoga ini tidak nyata. Semoga semoga semoga, Serena berharap dalam hatinya.

“Serena?”

Otomatis Serena mendongkak setelah dipanggil begitu. Kini tengah berdiri didepannya laki-laki dengan tubuh jangkungnya, wajah tirus, serta rambut yang sudah nampak menyentuh alis namun masih tetap rapih. Suara khas yang seolah selalu Serena dengar setiap harinya. Suara yang selalu Serena rindukan. Haruskah semua pertahanannya runtuh kali ini juga hanya karena Hanif kembali menyapanya?

“Ha—Hanif, hai.”

Sekuat tenaga Serena mempertahankan nada bicaranya walaupun itu terdengar cukup gugup. Serena juga memaksakan senyumnya, setidaknya bisa sedikit memudarkan rasa groginya.

“A, ibu ke warung dulu ya sebentar, aa tunggu aja disini sama neng Serena ya.”

Hanif mengangguk. Serena tak kuasa menahan komat-kamit dalam hatinya, mengapa juga ibunya membiarkan Hanif dengan dia berduaan begini? Sungguh perasaan Serena benar-benar tidak bisa dikendalikan. Satu sisi, dia benci harus kembali melihat Hanif, harus kembali bertemu dengannya, harus kembali berdua dengannya. Namun disisi lainnya dia juga senang melihat Hanif baik-baik saja, melihat Hanif masih senang-senang saja, dan membuat kerinduannya sedikit demi sedikit memudar.

“Jadi gimana kabar lu?” Pertanyaan Hanif seolah menarik kembali Serena kedalam alam kesadarannya.

Mendengar pertanyaan yang dilontarkan Hanif, Serena tak langsung membalaskan. Dia menatap dari samping sosok yang dengan lancangnya mencuri hatinya itu dan tak pernah dia kembalikan. Dia menatap Hanif begitu lekat seolah tak ada lagi objek lain di dunia ini selain Hanif. Ingin sekali dia berkata ‘Gue hampir aja gilak gara-gara lo!’ Tapi untungnya Serena masih dalam dalam garis kewarasannya dia hanya tersenyum miris sambil menunduk.

“Gue baik, lo?”

“Jauh lebih baik.”

Lihat! Hanif bahkan berkatan dia selama ini dia merasa lebih baik. Dia lebih baik dibanding Serena. Lagi-lagi Hanif hanya datang untuk melukai hati Serena, namun kali ini Serena tak mungkin langsung melabrak Hanif seperti saat SMA dulu. Dia sadar siapa Hanif dan siap dirinya serta sedang berada dimana mereka berdua.

Beberapa orang yang menyadari bahwa disisi lapang ada Hanif, pemain Arema FC, satu persatu meminta foto pada Hanif. Walaupun dia tidak membela klub kota kembang, namun namanya tidaklah tercemar. Namanya masih teatp harum. Orang-orang selalu mengingat namanya saat dia dan tim PON Jabar berhasil menjadi jura. Belum lagi prestasinya di kelompok umur Persib Bandung terbilang begitu gemilang. Hingga akhirnya dia terlebih dahulu dikontrak klub Malang itu. Pernah ada artikel yang menyebutkan, jika manager membutuhkan jasanya untuk bermain di Persib, dia akan segera memenuhi panggilan itu.

Sama seperti Febri, Hanif juga tengah menjadi radar timnas Indonesia. Permainannya yang apik sebagai gelandang tengah membuat namanya diincar timnas. Apalagi pengalamannya bersama timnas dalam segala kelompok umur lebih banyak pengalamannya ketimbang Febri.

“Gue seneng warga Bandung masih bersahat dengan gue, bikin gue pengen pindah klub.”

“Bukannya di Malang lu juga udah kayak artis?” Ucap Serena mencoba bercanda dengan Hanif.

“Mau gimanapun enaknya rumah orang, tetep aja enak rumah sendiri.”

Tapi Serena tak pernah menjadi rumah pulang bagi Hanif. Hah! Kata-kata yang seolah masih hangat saja dibicarakan padahal kata-kata itu sudah lama sekali tak pernah Serena dengar semenjak dirinya marah besar pada Hanif. Ah ternyata berada didekat Hanif memang bukan hal yang menyehatkan bagi Serena, terutama bagi ingatannya.

“Ngomong-ngomong, lu makin lengket aja sama Bow.”
.
.
TBC...

Man Of The MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang