Bagian 4

691 39 16
                                    

“Lu mah dari orok juga udah nyebelin, bawel, cerewet, tapi gue gak peduli. Yang penting lu tetep disini bareng gue.” –Febri Haryadi

Latihan sudah selesai, seperti biasa sesudah latihan, para pemain akan langsung mendadak menjadi seorang artis. Tak peduli dengan keringat yang membanjiri badan, tetap saja yang meminta foto selalu saja mepet-mepet. Apalagi dengan pemain bernomor punggung 13. Wajahnya sudah nampak letih, keringat sudah bercucuran, senyum paksaan sudah ditampakan, tapi itu semua tidak membuat orang lain yang melihatnya berpaling. Sebagai pesepak bola prefesional dan sebagai bentuk rasa hormat kepada orang-orang yang rela menonton serta menunggu, Febri harus melayani permintaan foto bersama itu.

Saat semua sesi foto bersama sudah Febri laluli, dia kembali mencari sosok Serena. Temannya itu selalu setia dipinggir lapangan saat dia berlatih. Saat matanya berhasil menangkap sosok yang dia cari, Febri menautkan kedua alisnya. Nampak terheran dengan apa yang baru dia lihat, seolah seperti mimpi dia bergumam.

“Hanif?”

Serena yang beberapa detik kemudian melihat kedatang Febri langsung memekik kegirangan. Tak biasanyanya perempuan itu begitu, mungkin karena ada Hanif disampingnya, pikir Febri.

“Bow!!!”

Febri menarik nafas panjang sebelum mendekat kearah mereka. Ini mungkin akan menjadi sesuatu yang berat, melihat kembali Hanif dengan Serena. Sekuat tenaga Febri untuk terlihat biasa saja dan tetap menebarkan senyuman manisnya. Syukur-syukur mereka tertipu dengan senyumannya itu.

“Eh Bow, apa kabar?”

“Baik Nif, kapan nyampe Bandung?”

“Kemaren sore. Gue kesini diajak ibu, katanya pengen ketemu lu, udah lama kali dia gak liat gue sama lu barengan gini.”

“Terus ibu dimana sekarang?”

“Tadi sih bilangnya kewarung tapi gak tau dah sampe sekarang belum nongol juga.”

Alesan, bilang aja lu mau berdua sama Serena, modus lu Nif.
Pekik Febri dalam hatinya.

Belum sempat 5 menit Febri berada di dekat Hanif, tapi dia sudah berpikiran negatif pada teman lamanya itu.

“Ohiya tumben lu ke Bandung, Nif.”

“Kebetulan libur. Arema pertandingannya nanti tanggal 17. Terus ada undangan reuni SMA juga yaudah gue berangkat kesini. Kangen juga sama temen-temen lama.”

Febri melihat Serena yang kini lebih pendiam. Kebiasaan Serena saat berdekatan dengan Hanif itu membuatnya berkali-kali mendelik, entah Hanif dan Serena mengetahuinya atau tidak.

“Kalo gitu have fun ya lu di Bandung.”

“Gimana gue mau have fun kalo lu sama Serena kaga ikut reuni.”

“Ya mau gimana lagi, salahin tuh panitia reuni bikin jadwal ko samaan sama gue tanding.” Tanpa sadar nada bicara Febri mulai sedikit ketus. Hanif memang temannya, tapi itu dulu sebelum dia pergi meninggalkan Serena yang menangisinya.

“Ser kita pulang yuk, capek gue.”

Tanpa menunggu anggukan Serena, Febri langsung menarik tangannya. Entah kerasukan jin dari mana Febri menjadi lebih posesif. Serena tahu kenapa Febri melakukan itu, makanya dia hanya pasrah saja dengan apa yang dilakukan Febri.

“Nif, gue sama Serena balik duluan ya. Capek banget. Bilangin maaf gue ke ibu belum bisa ketemu. Padahalkan niatnya ibu kesini buat ketemu gue. Sukses terus bro.”

Hanif yang menyadari perubahan sikap Febri terhadapnya hanya bisa mengangguk dan tersenyum masam. Dia pikir Febri sudah berubah, ternyata pikirannya salah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 12, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Man Of The MatchTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang