3

42 13 2
                                    

Len menghampiri Rin yang duduk sendirian di bangku taman.

"Yo, Rin" sapa Len.

Rin mendongakkan kepalanya dan mendapati Len yang ada di hadapannya.

"Len. Kamu ngapain disini?"

"Bersantai, lah. Kamu sendiri, ada apa?"

Rin terdiam dan ia kembali merunduk. Tampak seperti orang yang sedang pusing.

"Boleh duduk di sampingmu?" tanya Len.

Rin hanya terdiam, lalu mengangguk pelan. Len pun duduk di samping Rin dan memandangnya.

"Rin, ada apa?"

"Aku kecewa, Len"

"Kalau boleh tau, kecewa kenapa? Mungkin kamu bisa cerita padaku"

"Aku merasa nggak dihargai" Rin memulai curhatannya, "padahal aku udah berusaha semampuku. Tapi diucapkan selamat atas kelulusanku juga nggak"

"Siapa?"

"Ayah dan Ibu. Justru orang tua teman yang memberi ucapan untukku"

Tampak raut wajah Rin yang sangat lesu. Len hanya diam. Ingin rasanya merangkul Rin, tapi ia merasa tidak enak karena enggan Rin menjadi risih nantinya.

"Terkadang, aku sendiri juga suka nggak ngerti sama jalan pikir orang tua, Rin"

"Aku butuh ucapan dari mereka. Aku ingin dihargai karena setidaknya aku lulus. Mereka malah menanyaiku tentang kenapa aku nggak dapat penghargaan. Bukannya aku udah mencoba yang terbaik? Bukankah begitu, Len?"

"Kamu benar. Kita udah berusaha, tapi ya apa daya hasil lebih dilihat dibandingkan usaha kita"

"Suka dibandingi dengan teman, itu membuatku muak! Aku yang anakmu, Bu, Yah! Bukan mereka yang malah kalian berdua banggakan"

"Rin, aku mengerti perasaanmu"

"Aku pernah mendapatkan peringkat 3. Tapi, Ayah dan Ibu seperti belum puas dengan itu. Syukur-syukur memberi ucapan selamat, yang mereka ucap malah: kok nggak peringkat 1? Itu sangat membuatku kesal!"

"Rin, sabar. Tahan sebisamu. Coba tenangkan diri sejenak, walaupun aku tau itu susah"

Rin menutup mulutnya dan air matanya mulai menitik. Len tak tau, apa yang harus ia lakukan. Dengan reflek, ia mendekap Rin. Rin larut dalam tangisannya dan hanya diam dikala Len mendekapnya.

"Teruslah menangis, sampai kamu benar-benar tenang" ucap Len, "maaf aku reflek mendekapmu. Karena kupikir ini bisa membuatmu sedikit tenang" lanjutnya.

Rin terus menangis untuk waktu yang cukup lama. Hingga akhirnya ia berhenti menangis. Len melepas dekapannya dan ia merasa berlebihan.

"M-maaf mendekapmu tiba-tiba begitu, Rin"

"Nggakpapa, Len"

"Bagaimana? Sedikit lega setelah menangis?"

"Mendingan, sih"

"Kalau ada apa-apa cerita, ya. Jangan dipendam sendiri, memang nggak mengenakkan. Jangan sampai kenapa-kenapa. Terus jaga kesehatanmu"

"Iya, Len. Terimakasih untuk perhatianmu"

"Yang pasti, aku disini. Kapanpun kamu membutuhkanku"

"Iya, Len. Aku pulang dulu, ya"

"Ohh, iya iya. Kalau bisa, kamu coba bicarakan dengan orang tuamu"

"Udah pernah, sih. Tapi tetap aja sama"

Len beranjak bangun, ia berjalan meninggalkan Rin. Berjalan beberapa langkah lalu berhenti, ia menoleh ke arah Rin yang masih berdiri di depan bangku taman.

"Pilihanmu hanya dua. Diam atau berontak. Kamu paham maksudku kan, Rin?"

Rin mengangguk pelan dan sekali lagi ia mengucapkan terimakasih pada Len. Len menyahutinya dengan mengacungkan jempol sembari berjalan meninggalkan Rin. Len berjalan tanpa arah yang jelas dan ia bersandar di belakang sebuah pohon yang rindang. Len murung. Air mata kembali menetes. Ia merasa sedih.

Suasana yang beda. Semua memang sudah berubah batin Len.

Tapi aku masih bersyukur kalau dia mau cerita padaku seperti tadi

Len menutupi kedua matanya dengan lengan kanannya. Terus hanyut dalam sebuah tangisan seorang laki-laki.

***

Len sedang bersama Gakupo. Mereka berada di teras rumah Len.

"Bagaimana, ya. Sulit juga sih, kalau kau bilang padanya tentang apa yang kau rasakan. Takutnya dia makin risih" ujar Gakupo.

"Itu ketakutanku selama ini. Aku udah nggak bisa memendam rasa, tapi jangan sampai perasaan nggak enakku yang satu ini nggak bisa dipendam"

"Terus terang aja. Memendam hanya akan membuatmu semakin sakit" Kaito tiba-tiba muncul dan datang kerumah Len.

"Kau...!" Len mengepalkan tangannya.

Gakupo menahannya. Berusaha membuat Len tenang.

Kaito dengan santai tetap berdiri, dengan ekspresi datar dan dingin.

"Aku punya alasan tersendiri untuk itu" ujar Kaito.

"Dan kau tak merasa bersalah dengan apa yang terjadi karena perbuatanmu?!" bentak Len.

"Nggak tuh. Karena aku melakukan apa yang seharusnya aku lakukan"

Len berniat memukul Kaito, namun Kaito menahannya dengan mudah. Len melemas dan ia tak punya tenaga. Lututnya lemas dan ia tersungkur.

"Kaito, apa-apaan maksud semua ini?!" tanya Gakupo.

"Ingat cerita sebelumnya? Aku hanya nggak mau Len merasakan sakit yang sama dua kali"

"Tapi, yang kau lakukan membuat dia menjadi sakit. Sudah jatuh tertimpa tangga!"

"Kalau ia terus memendam, bukankah akan semakin sakit. Setahuku, Len bukan orang yang pintar memendam perasaan"

"Kali ini, aku percaya Len orang yang berbeda"

"Aku juga nggak mau dia mengalami cerita yang sama denganku. Mendekati seorang perempuan, memendam perasaan, hingga akhirnya teman sendiri yang mendapatkannya, begitu?!"

"Jangan samakan ceritamu dengan Len. Len ya Len. Kau ya kau. Kalian berbeda!"

"Cih!"

"Kalau udah begini apa tanggung jawabmu, hah?!"

Kaito hanya terdiam. Len terus tersungkur, kembali larut dalam depresinya.

"Jawab aku, Kaito bodoh!" gertak Gakupo.

"Aku udah menyampaikan. Terserah mau diikuti atau nggak. Cobalah terus terang langsung ke Rin. Siapa tau darisitu dia bisa terbuka pada Len" Kaito membatu.

"Aku nggak yakin" ujar Gakupo.

"Terserah. Itu hakmu untuk nggak yakin. Mau Len nggak mendengarkan juga aku nggak masalah" Setelah mengucapkan itu, Kaito pun pergi dari teras rumah Len.

Gakupo hanya menatapnya tajam dan setelah itu ia berusaha untuk menenangkan Len sebisanya. Butuh waktu yang cukup lama hingga akhirnya Len tenang, tanpa ekspresi seperti orang yang tak mengerti apa-apa tentang apa yang sebenarnya terjadi.

***

Len memikirkan dua kali apa yang dikatakan Kaito. Ada pikiran kalau ucapan Kaito ada benarnya juga. Namun ia ragu untuk mengikuti saran Kaito. Tapi kalau itu bisa berbuah kebaikan, ia akan segera mencobanya. Ia mengambil ponsel di sakunya dan mencoba menelepon Rin. Selang beberapa detik, panggilan teleponnya di angkat.

Halo? ucap Rin dari balik telepon.

"Halo, Rin. Ini aku, Len"

Oh iya iya, Len. Ada apa?

"Boleh ngomong sesuatu?" Len langsung to the point dan memulai untuk terus terang.

-ToBeContinued-

Cast:
—Kagamine Len
—Kagamine Rin
—Shion Kaito
—Kamui Gakupo

Genre: Drama, Fanfiction

Kehadiran SementaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang