Prologue

54 7 9
                                    

Di dalam sebuah rumah yang sunyi layaknya tak berpenghuni... terdengarlah sebuah lantunan musik piano yang lembut. Namun setiap alunan yang di hasilkan membawa setiap orang yang mendengarnya ke sebuah suasana yang memilukan.

Seorang perempuan cantik berambut panjang yang menutupi hampir seluruh wajahnya itu tengah bermain sebuah piano tua dengan desain kuno. Tubuhnya bergerak seakan mengikuti alunan musik yang ia mainkan. Jemarinya menari di atas tuts piano dengan piawai. Semilir angin berhembus melalui jendela yang terbuka di sebelahnya, membuat gaun putih dengan panjang hingga selutut tersebut melambai pelan. Selain gaun yang berwarna putih, seluruh ruangan pun berwarna putih. Membuat suasana disekitarnya seakan tak ada warna lain selain warna putih. Langit cerah dengan awan putih yang berjalan pelan karena tertiup angin seakan memperindah pemandangan rumah tersebut.

Putih mencerminkan kebersihan...
Putih menandakan kelembutan...
Putih melambangkan kesucian...

Tak lama kemudian, gadis itu mulai menangis...

Setiap tangisannya terdengar begitu pilu...
Setiap tetes air mata terasa begitu pedih...
Setiap rintihan terdengar seperti sebuah jeritan...

Ia tampak begitu putus asa. Walau begitu, ia tidak berhenti memainkan pianonya. Alunan musik semakin sendu dan semakin sendu... membawa perasaan yang mendalam. Namun gadis itu menghentikan permainannya secara tiba-tiba.

Kemudian...

Setetes darah menetes jatuh membasahi lantai yang mengkilap melalui nadi gadis itu. Segera setelah darah itu menyentuh lantai, segalanya berubah menjadi merah. Dimulai dari titik tetes darah itu, hingga menyebar dengan cepat ke seluruh penjuru rumah tersebut. Kini seluruh rumah tersebut telah berwarna merah darah, kecuali gaun putih yang dikenakan gadis itu. Sang gadis berdiri dari duduknya dan beranjak pergi dari piano tersebut. Dengan menundukkan kepalanya, ia melangkahkan kakinya dengan mantap. Membuka sebuah pintu dengan ukiran kuno. Terpaparlah langit hitam berikut awan hitam yang berarak di luar sana. Seakan tak peduli atau mungkin tidak melihatnya, si gadis tetap berjalan keluar tanpa menggunakan alas kaki. Telapak kaki yang menyentuh pemukaan rumput-rumput layu yang terlihat telah menguning itu terus melangkah. Selangkah demi selangkah gadis itu menghampiri sesuatu di depan sana. Setiap langkah, ia meneteskan setetes darahnya yang keluar melalui nadinya.

Walau kabut di depannya semakin menebal hingga menghalau pandangannya untuk terus melaju, langkahnya tetap tak terhentikan. Ia terus berjalan lurus ke depan, seolah halaman rumahnya begitu panjang dan luas. Ia kemudian melewati sebuah taman bunga mawar merah yang sangat rimbun sekali. Semua bunganya bermekaran dengan indah hingga menutupi jalan setapak. Tak peduli, ia terus berjalan menyusuri jalan setapak itu. Tubuh gadis itu mulai terluka akibat terkena duri tajam dari bunga mawar yang tengah bermekaran tersebut. Satu persatu luka mulai menghiasi tubuhnya, hingga bajunya mulai koyak. Gaun putih itu perlahan mulai dihiasi oleh bercak merah akibat darah yang keluar melalui goresan di tubuhnya, sebelum akhirnya semuanya berubah menjadi merah.

Tibalah ia di penghujung halaman rumahnya. Kini ia berdiri di depan sebuah batu nisan yang sudah tidak terawat. Begitu tebal lumut hijau dan debu yang melekat disana.

Siapakah yang tertidur lelap di bawah sana?
Mungkinkah seorang kerabat dari sang gadis?
Ataukah mungkin salah seorang dari keluarganya?

Sang gadis mulai menyentuh batu nisan itu. Ia mengangkat lumut hijau itu dan mulai membersihkan debu dengan darahnya yang terus mengalir.

Disana, di batu nisan itu... terukir sebuah nama... nama untuk seorang perempuan. Gadis itu tersenyum pilu, sebelum akhirnya ia berteriak...

   "ARGGHHHHH!!!!!"

Teriakan yang sangat menyeramkan namun terdengar memendam sesuatu perasaan yang mendalam.

   "Disinilah semuanya bermula... maka disini pula semua 'kan berakhir..."

Suara yang lembut itu keluar dari bibir gadis itu namun memiliki tekanan nada yang begitu kuat.

   "Matinya sebuah keadilan adalah kebangkitan dari sebuah kehancuran... sesempurna apapun, kelak pasti akan ada sebuah penyesalan yang tak berkesudahan... derita selalu menyertai setiap manusia di dunia..."

Gadis itu kemudian mengangkat wajahnya dan memperlihatkan sepasang mata berwarna merah tua yang menyeramkan. Ia pun menyeringai. Petir mulai menyambar dengan ganasnya. Suara petir menggelegar hingga memekakkan telinga. Namun gadis itu seakan tak takut bahkan tidak bergidik sedikitpun.

   "Yang hidup bisa mati... sedangkan yang mati bisa mencari sebuah titik kehidupan... karena hidup ini tidak pernah kekal abadi."


...


Writer : Evelyn A Chandra

Midnight RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang