Prolog

2.3K 74 30
                                    


          Sore ini, ia menatap keluar jendela dengan bosan. Entah sudah berapa lama aku melakukan . Ia teringat akan kejadian di sekolah hari ini. Teman-temannya menjauhinya dan menganggap ia seperti virus atau bakteri yang menjijikkan. Bahkan sahabat baiknya sejak kecil pun, melakukan hal yang sama. Ia benar-benar sendirian saat ini.

          Alvika Tiffany Kelyn adalah nama gadis itu. Gadis bermata hazel itu, menatap kosong saat ini, menyiratkan kesedihan yang sangat dalam. Beberapa hari yang lalu, orangtuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Tragis dan sadis. Kini, ia diasuh oleh adik perempuan ayahnya, Marie Kelyn.Bibinya itu memang bersikap baik kepadanya, namun sangat sibuk dan tidak punya waktu untuk sekedar berbasa-basi dengannya. Sangat menyedihkan. Seakan mengerti perasaan Alvika, hujan juga turun membasahi pohon dan meluncur mulus di jendela kaca yang sedang dia tatap.

***

           'Mengapa hidupku seberat ini? Ayah, Ibu kalian terlalu cepat meninggalkanku.Aku sendiri saat ini' batinnya. Aku termenung dan memikirkan semua peristiwa yang kualami selama beberapa hari terakhir. Aku tidak tahu mengapa teman-temanku menjauhiku, bahkan Clara yang kuharapkan tetap ada di suka dukaku jutsru memperlakukanku dengan sangat buruk. Aku terus merenung, hingga sebuah suara rendah dan sedikit serak memanggilku.

"Alvika" ucapnya.

           Aku menoleh dan mendapati seorang pria tampan. Pria itu mungkin sebaya denganku atau beberapa tahun lebih tua. Ingat! Hanya beberapa tahun. Sejenak, ia melupakan segala kesedihannya dan teralihkan pada pria yang ada di hadapannya. Mata birunya sangat jelas dan indah, seakan itu adalah samudera yang luas. Rambut hitamnya yang sedikit agak panjang dan jatuh tepat di keningnya. Bila kau memintaku untuk menilai dari satu sampai sepuluh, aku akan memberinya nilai 9,9. Tak ada yang berhak mendapat sepuluh selain ayahku.

        Namun, ada yang sedikit aneh dari pria ini. Ia memakai jubah putih yang sedikit longgar ke badannya itu. Tak mau pusing dengan hal itu, aku segera sadar dan bertanya "Lo siapa? Gue gak pernah lihat lo sebelumnya. Dan gimana lo bisa masuk? Gue kan udah ngunci semua pintu."

"Gue malaikat, nama gue Rain Alfrody. Lo bisa manggil gue Alfro."

"Hah? Malaikat? Jangan becanda deh, gue gak niat buat becanda. Mending lo jujur dan bilang siapa lo sebenarnya dan gimana lo bisa masuk!"ucapku dengan penuh penekanan.

"Gue malaikat. Kalo lo gak percaya, gue gak peduli. Gue datang ke sini 'cause i want to tell you something plus minta tolong" jawabnya tak acuh.

Kesal karena jawaban itu, Alvika membuka mulutnya, "Apaan sih. Gue gak mau nolong orang kayak lo!"

"Gue gak nyuruh lo buat nolongin gue, tapi buat nolongin dunia immortal."

"Hello? Dunia immortal? Lo sakit ya? Gue gak percaya sama gituan! Di dunia ini, gak ada yang namanya dunia immortal".

          Tepat setelah aku selesai mengatakan itu, aku mendapati Bibi Marie berjalan ke arahku dari pintu depan. Ini adalah sebuah fenomena langka ketika aku dapat menemukan Bibi di rumah pada saat sore hari. Biasanya Bibi Marie akan pulang pukul tujuh malam atau bahkan lebih lama. Jangan bertanya padaku, bagaimana makan malamku dan sebagainya. Aku adalah remaja modern yang tentu saja pandai untuk memesan makanan pesan antar.

"Kau berbicara dengan siapa sayang?" , tanya bibi tiba-tiba.

"Itu, Bi...", jawabku seraya menunjuk ke tempat berdirinya pria berjubah putih tadi.

"Hah? Tidak ada siapa-siapa di sini'

Aku mengikuti arah tanganku dan memeriksanya. 'Hemm...dia menghilang. Bagaimana mungkin', batinku.

The Promise of AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang