My birthday.
Aku mencoba untuk tidak terlihat kecewa ketika mendengar dari Mila kalau Melissa tidak bisa datang dinner. Segitu susahnya untuk minta waktu Melissa di hari ulang tahunku yang jatuh pada hari Jumat. Mungkin memang susah karenakali ini ulang tahunku bertepatan dengan hari jumat yang menjadi hari mabok corporate slave macam Melissa.
Makan malam ulang tahunku adalah tradisi makan malam tiga orang sahabat, Aku, Mila dan Meliss. It is perfect definition of a birthday celebration, close, small and intimate. Melissa dan Mila sudah seperti saudaraku. Ketika aku tinggal jauh dari keluarga, temanpun berubah menjadi saudara. Aku, Melissa dan Mila sama-sama tinggal jauh dari orang tua kami di Belanda, yang disebut negri kincir angin.
Belanda disebut negri kincir angin karena punya banyak kincir angin yang dibuat untuk mengeringkan lahan yang dulunya rawa. Selain berguna, anginnya juga bisa nyusahin umat. Angin Belanda nggak cuma bikin aku jatuh dari sepeda. Walaupun nggak melintir macam angin putting beliung, Angin Belanda juga bisa ngerobohin pager rumah tetangga, numbangin pohon di pinggir jalan kanal Amsterdam dan niup orang sampe terguling-guling di tengah lapangan.
Mungkin juga karena hujan angin malam ini Melissa enggan muncul karena males gowes sepeda, basah-basahan, atau alasan paling sadis adalah belom beli jaket baru.
Sebelum pelayan membawakan menu hidangan penutup, aku pergi ke toilet. Aku berdiri di depan cermin dan menatap wajahku. Di cermin itu, yang aku lihat adalah wajah lelahku. Mungkin tahun depan kerut di bawah mataku akan terlihat jelas, dan aku akan tetap menjadi mantannya si Bangsat Arifin, tetap jadi pemain cadangan di kantor yang cuma bisa jadi backup senior-senior di client atau dapat project buangan, single and never ready to mingle, jauh dibandingan dengan Mila yang sudah jadi Senior Marketing atau Melissa, Senior Creative dan punya stable relationship.
Lalu aku mempertimbangkan apakah pas sampe rumah nanti aku harus marah pada Melissa. However, I don't like to be upset. I don't like the negative emotion. Mungkin karena itu aku jarang marah. Bahkan waktu si Bangsat Arifin memutuskan untuk batal nikahin aku cuma bisa nangis, tanpa mengekspresikan kekesalanku. Bang Abel yang justru berhasil mengkespresikan kekesalanku dengan memaki-maki si Bangsat Arifin.
Aku memang tidak pernah marah pada Melissa. Ia bukan orang lain bagiku. Aku mengenal Melissa sudah sejak kecil, rumah kami berdekatan di Indonesia. Ayah Melissa expatriate asal Belanda menikahi wanita Indonesia. Melissa besar di Indonesia sebagai anak bilingual, bahkan trilingual ketika ia mulai bersekolah di sekolah international. Ketika ia lulus SMP, Maminya bersikeras menyekolahkannya di SMA Negri unggulan. Sejak itu aku makin dekat dengan Melissa sampai persahabatan kami menjadi identitas kami. Aku dikenal sebagai sahabat Mel,dan Mel dikenal sebagai sahabatku. Ketika Melissa lulus SMA, ia sekolah di Belanda dan melepas kewarganegaraan Indonesianya.
Dibesarkan di duakultur yang bersarang kuat dari orang tuanya, Melissa selalu merasa asing di manapun ia berada. Ia tidak pernah menjadi cukup Indonesia untuk menjadi seorang Indonesia meskipun dia fasih berbahasa Indonesia, kuat makan sambel, dan tau cara lolos ketika kena tilang di Kuta. Rambut coklat, mata abu-abu dan kulit putihnya mengaburkan identitas Indonesianya. Tapi ia pun tidak cukup Belanda untuk orang Belanda karena lama tinggal di Indonesia. Namun Melissa selalu bisa beradaptasi, belajar cepat soal toleransi antara kultur.
Ternyata setelah lulus aku mendapat beasiswa master ke Belanda, Melissa langsung mengosongkan kamar di apartemennya untukku. Kemudian aku mengenalkannya pada Mila, yang juga pelajar S2 yang kukenal dariacara PPI Amsterdam yang ternyata satu jurusan dengan Melissa.
Setelah lulus, Aku, Melissa dan Mila bekerja di Amsterdam. Kemudian selama tiga tahun kami tinggal satu rumah sampai akhirnya Melissa pindah satu tempat tinggal dengan pacarnya,Ethan. Setahun kemudian aku pindah ke Den Haag karena aku pindah kerja.
Sejak Melissa tinggal bersama Ethan,waktunya tidak lagi banyak untukku. Memang Ethan yang membuat jarak diantara kami, terlebih karena aku tidak dekat dengan Ethan. Apalagi Ethan tidak pernah bisa nyaman berkumpul lama denganku dan Mila. Identitas Melissa pun berubah, ia tidak lagi dikenal debagai sahabatku, namun lebih dikenal pacar Ethan.
Lamunanku buyar ketika smartphone di kantong belakang jeansku bergetar. Abangku, Bang Alde mengirim message. Aku membacanya "Gimana ulang tahunnya, Dek? Skype ya besok. x." Aku menghela napas, kemudian kembali mengantungi smartphone di kantong belakang jeansku.
Sekembalinya dari toilet aku menemukan Mila sudah siap dengan coatnya.
"I sorted out the bill." Katanya kemudian tersenyum seperti tidak terjadi apa-apa. "Consider this your birthday present.... yuk, cabut!" Katanya dengan senyum semanis gula paling manis sedunia tapi bisa bikin diabetes. Jadi cuma gini doang ulang tahunku. Jadi intinya Mila dan Melissa memang lupa ritual ulang tahunku.
"Oh okay...." Kataku, seperti biasa menyembunyikan kekesalanku.
"Gue harus ke tempat temen gue, ada party, nggak enak Al kalo nggak dateng." Kata Mila. "Yuk gueanterin ke station, gue pake uber." Kata Mila seraya melihat kearah layar smart phonenya. Pantesan dia sibuk sama itu smartphone sepanjang dinner.
"Okay..." Aku menyerah pasrah tanpa perlawanan seperti biasanya, inilah akhir ulang tahunku, just like another dinner.
Aku dan Mila masuk ke Volkswagen uber dan tidak berkata apa-apa sampai uber tersebut berhenti di sebuah rumah yang kukenal.
"Loh kok ke rumah Melissa?" Tanyaku.
"Iya gue harus jemput Melissa." Kata Mila. "Yuk..." Mila mengajakku turun.
"Kok turun? Katanya ke station?" Aku bingung.
"Iya Mel bawa mobil Ethan, entar lo dianterin."
"Emang party nya di mana si?" Aku mulai kesal sambil turun dari mobil. "Gue bisa pake tram ke station kok."
"Partynya deket station, entar gue anterin." Kata Mila.
Aku pun masih menurut cuma karena nggak mau ribut. Kita berjalan masuk ke rumah Melissa. Mila membukakan pintu untukku, anehnya pintunya pun tidak dikunci. yakin Melissa ada di rumah karena tidak ada lampu yang menyala ketika kami masuk. Aku berjalan menyusuri lorong yang bermuara ke ruang tengah. Tiba-tiba lampu menyala.
"Happy birthday Alissa!"
Sekitar dua puluh orang berseru dan confetti putih dan mint bertaburan di kepalaku dan wajahku. Aku menatapi Mila yang tertawa puas di belakangku, setelah ikutan mengarahkan kanon confettinya padaku. Melissa menghambur ke arahku.
"Happy birthday babeee!!!" Ia memelukku dan Mila turut memelukku dari belakang.
"I'm sorry to ruin the birthday tradition but something need to change!" Kata Melissa.
"Punya temen orang marketing dan creative party nya nggak boleh boring!" Tambah Mila.
"Dan ada Lukas yang gue ceritain, pokoknya lo harus ketemu Lukas!" Kata Melissa yang berambisi menjodohkanku dengan Lukas, orang Belanda-Spanyol setelah hubunganku yang berantakan dengan si Bangsat Arifin.
"Lo suka kan yang spanish-spanish banyak bulunya..." Goda Mila.
"Gue pikir lo lupa..." Mataku berkaca-kaca, tidak fokus pada pembicaraan soal Lukas dan selera cowokku.
"No way, enggaklah babe!!!" Mila mengecup pipiku
Rupanya Melissa dan Mila membuatkanku surprised birthday party di rumah Melissa mengundang semua teman-teman kuliah kami mulai yang Indonesia sampai yang bule. And Lukas is a nice spanish guy, persis seperti yang dibilang Mila.
I feel grateful to have them.
KAMU SEDANG MEMBACA
Muara Segala Rasa
General FictionDua tahun lalu, aku kira hatiku sudah matap berlabuh pada Arifin, yang kemudian tidak lengkap rasanya bila tidak kusebut namanya dengan sebutan Si Bangsat Arifin. Namun ternyata aku cuma menjadi khilafnya saja ketika ia sadar cintanya bukan untukku...