Sorry for typo
🎨
Gumpalan awan terus memenuhi langit biru yang sendu. Masih dengan ke datarannya, ia tak pernah berubah. Selalu menanti pelangi. Padahal, pelangi tak akan semudah itu muncul. Harus ada pengorbanan. Tapi, akankah pengorbanan itu terbayarkan?
Aku tak tahu, entah sejak kapan aku menyukai langit dengan semburat putihnya. Dia adalah pemandangan alam paling indah dan sederhana menurutku. Memandanginya, membuat beban hidupku hilang.
Langkahku terus tertuju kepada ruang Kepala Sekolah. Well, jika kalian bertanya untuk apa aku ke sana, itu karena aku dipanggil. Bukan karena aku melakukan pelanggaran lho, ya. Tapi, memang si Kepala Sekolahnya sendiri yang ingin bertemu denganku. Tidak tahu tujuannya apa.
"Permisi, Bapak memanggil saya?" tanyaku.
"Oh, iya, duduk dulu."
Aku melakukan apa yang Kepala Sekolah ini katakan, duduk di kursi di hadapannya.
"Jadi ada apa ya, Pak?"
"Gini, kamu mau Bapak daftarin buat ikut lomba seni, nah mau, 'kan?"
Mataku membelalak tak percaya. Ini … Ini mimpi atau nyata?! "Bapak serius?! Tapi, aku nggak bis—"
"Jangan bohong Alta, Bapak tau kamu bisa ngelukis, cuman kamu nggak mau orang-orang tau."
Aku terdiam. Yang Kepala Sekolah plontos katakan itu benar. Aku memang tak mau dan tak ingin orang-orang tahu kemampuanku sendiri, bahkan mommy sekali pun.
"Nah, kamu harus lebih banyak belajar lagi ya, soalnya dua bulan lagi lomba itu akan di mulai. Dan bapak kasih kamu waktu 30 hari untuk buat Bapak terkagum-kagum akan karyamu. "---Dia tersenyum---"dan tentu saja, Bapak sudah mempersiapkan guru terbaik untuk mengajarmu."
Aku mengernyit. "Guru?"
"Ya, silahkan masuk!" Setelah berkata seperti itu, muncul-lah seorang pria dari pintu. Wajahnya dingin, tak berekspresi. Dia … lumayan tampan menurutku.
"Jadi ini muridnya?" Lelaki itu melirik ke arahku, "sangat tak berkelas."
Eh, apa dia bilang? Aku tak berkelas Aih, sombong sekali dia! Lihat wajahnya yang mirip wajah penyok itu.
"Dia itu guru profesional lho, Ta. Kau juga tahu, 'kan?" Aku mengangguk. Tentu saja aku tahu siapa dia. Dia Rendy Saputra Wahlgren, pelukis terkenal yang telah banyak memajangkan seninya di tingkat nasional.
"Kalian hari ini bisa bersenang-senang. Intinya, semuanya akan di mulai besok. Hari ini cukup berkenalan saja," ujar Kepala Sekolah plontos itu. Kami kemudian keluar dari ruangannya setelah berpamitan.
"Ha—hai, namaku Altania." Aku tersenyum kikuk kepadanya.
"Sudah tahu namaku, 'kan?" Pria itu membuang wajahnya. Dasar cowok menyebalkan! Kenapa dia harus jadi guruku, sih?!
"Ck, kenapa juga aku harus menjadi gurumu."
Hei, asal kamu saja aku juga nggak mau punya guru kayak kamu! batinku. Andaikan aku bisa melontarkan pernyataan itu, tapi sudahlah.
"Huh!" Dia kemudian pergi begitu saja. Lalu aku harus bagaimana? Masa murid ditinggalkan begini, sih? Guru macam apa itu?!
Aku kemudian mengejarnya menuju parkiran. Sudah kuputuskan, bahwa hari ini aku akan ikut dengannya, jika diizinkan itu pun.
"Maumu apa sih?!"
"Lho, Bapak, 'kan sudah jadi guru saya, harusnya Bapak mendidik saya dong."
"Kepala Sekolah mintanya besok, bukan sekarang."
"Tapi, saya pengen-nya sekarang."
"Pokoknya besok!"
"Sekarang aja, Pak! Kalau nggak saya ikut Bapak aja ke mana gitu, atau ke pentas seni." Aku tetap memaksa untuk ikut dengannya. Hitung-hitung untuk lebih dekat dengannya.
"Ck, ya udah, deh! Buruan masuk!" Nah, akhirnya si bapak guru ini menyerah.
🎨
Tak ada percakapan di antara kami. Semuanya sibuk akan pikirannya masing-masing. Entah guru ini akan membawaku ke mana, aku tak peduli, tapi aku ingin dia membawaku ke pentas seni! Apalagi jika hari ini hujan. Ah, aku bisa membayangkan gumpalan hitam itu menjatuhkan setitik rinai. Dan benar saja kejadiannya, perlahan dari langit sana, rinai jatuh. Walau hanya gemerciknya saja, tapi aku menikmatinya. Aku mengulas senyuman ketika melihat rinai itu turun dengan derasnya. Memecah keheningan.
"Ck, Kenapa harus hujan." Guru itu berdecak. Kayaknya dia tidak suka hujan, terlihat jelas dari perkataannya tadi.
"Pak Guru nggak suka hujan, ya?" Dia melirik sekilas ke arahku, lalu memfokuskannya kembali ke jalanan.
"Nggak. Dan satu hal lagi, jangan panggil saya "Pak Guru" saya belum tua-tua amat kali," katanya kesal.
Aku terkekeh. "Emangnya usia Pak Guru berapa?"
"Masih muda."
"Iya, aku tau masih muda kok. Tapi, berapa secara nominalnya?"
"…, 21 tahun," jawabnya singkat.
"Pak Guru, emang udah dari dulu ya, suka seni?" Entah dari mana pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku.
"Hm." Ia menjawab dengan singkat, padat, dan jelas. Lama-lama berbicara dengannya jadi bosan. Orangnya memang sekaku ini, ya? Tapi, sudahlah, mungkin memang seperti ini jika bertemu dengan orang baru.
Entah mengapa juga … aku jadi penasaran dengan sosoknya. Terkadang, ia menatap kosong, dan terkadang binarnya dingin dan penuh kesedihan. Ada apa sebenarnya?
🎨
Next>>>>

KAMU SEDANG MEMBACA
[TLT] Oh, My Teacher!
Teen FictionMempunyai guru yang tajir, tampan dan gentle, tapi killer, apakah kamu pernah merasakannya? Seorang Altania, penyuka seni yang tak sengaja di pertemukan oleh seorang pria tampan yang menjadi gurunya.