"Kenyataan bahwa lo benar-benar suka sama gue itu cuma ilusi yang gue ciptain sendiri di kepala gue."
...
Hubungan Keenan dan Naya merenggang. Tak ada Naya yang duduk di jok motor Keenan hari ini, tak ada Naya yang selalu menggenggam tangan Keenan kesana kemari. Semuanya berubah seketika.
Naya yang berangkat dengan Fabian memilih merunduk ketika berjalan, ia berusaha menyembunyikan mata sembabnya dari sorotan siswa siswi disana. Tangan Fabian senantiasa merangkul bahu Naya dengan pandangan lurus ke depan.
Sedangkan Keenan berjalan di belakang mereka. Kedua tangannya dimasukkan ke saku celana, ia berjalan santai. Sorot matanya redup melihat punggung Naya. Ia membiarkan Naya menenangkan diri terlebih dahulu. Lebam pada sudut bibirnya belum menghilang.
Kejadian ini begitu disoroti mengingat Keenan dan Naya ada pasangan goals di mata siswa siswi Merah Putih. Bagaimana tidak? Mereka berdua adalah pasangan ketua dan wakil ketua OSIS yang sangat kompak di berbagai kesempatan dengan segudang prestasi yang telah mereka torehkan.
Fabian dan Naya berbelok menaiki tangga menuju kelas. Sedangkan Keenan tetap meneruskan langkahnya menuju tempat mereka biasa nongkrong sebelum bel berbunyi.
Disana ia melihat Davin yang tengah rebahan di sofa lapuk yang mereka curi dari gudang satu tahun yang lalu. Sedangkan Devan tengah duduk di pinggiran rooftop dengan kaki yang diluruskan ke bawah. Keenan memilih ikut dengan Devan, ia mendudukkan diri persis di samping Devan.
"Gue bingung," Keenan membuka suara yang membuat pandangan Devan teralihkan padanya. Devan memilih bungkam.
"Gue gak ngerti sama perasaan gue," lanjut Keenan pandangannya masih lurus ke depan.
"Alia atau mungkin lo kenal dia dengan nama Anna. Makasih udah nganterin dia kemarin" Keenan tersenyum simpul. "Lo pasti mau nanya gue soal itu kan? Gue manggil dia Alia. Ya, panggilan gue beda dari yang lain begitupun dia yang manggil gue dengan sebutan Arion bukan Keenan. Dia teman masa kecil gue. Dia yang selalu ada saat gue terpuruk dulu. Sampai ketika gue harus pindah kesini, ninggalin dia yang dulu bahkan sehari pun gak bisa pisah sama gue" Keenan menjeda ucapannya. Ia menarik napas dalam-dalam.
"Lo tau? Dia itu spesial bagi gue. Tapi saat gue kesini gue berpikir gak bakalan mungkin ketemu sama dia lagi karena suatu hal. Tapi ternyata takdir berkata lain, dia ada disini sekarang. Lo tanya apa gue senang? Jelas gue senang banget," Semilir angin menerbangkan beberapa helai rambut Keenan. Devan masih setia mendengarkan.
"Disini gue ketemu lo, Davin, Fabian, dan juga Naya," Keenan tersenyum pedih saat menyebutkan nama Naya, seseorang yang mungkin sudah mengisi ruang hatinya saat ini. Hal itu pun tak luput dari penglihatan Devan.
"Naya, dia yang setahun belakangan ini mengisi hari-hari gue. Dia yang ngebuat gue bisa tersenyum bahkan tertawa hanya karena tingkah lucunya. Ya, dia sahabat kecil lo bertiga yang tanpa sengaja gue sakitin kemarin" Devan menepuk pelan pundak Keenan. Ia membiarkan Keenan meluapkan isi hatinya tanpa berniat untuk menyanggah ataupun menyela.
"Dia buat kalian itu sama kayak Alia buat gue. Gue jujur gue pernah cinta sama dia——" Tiba-tiba dari arah belakang ada yang menarik kerah baju Keenan.
Bugh
Satu tonjokan mendarat di wajah Keenan. Bahkan lebam kemarin saja belum tersamarkan. Keenan tersungkur, Fabian mencengkram kerah baju Keenan memaksa untuk bangkit.
Sontak Devan bangkit dari duduknya.
"Woi udah! Semuanya bisa dibicarakan baik-baik kan?" Ucapnya melerai."Gue udah percayain dia buat lo. Tapi apa?! LO NYAKITIN DIA!" Teriak Fabian tepat di hadapan Keenan. Keenan diam tak berniat membalasnya. Fabian tak mengindahkan perkataan Devan. Amarah telah melingkupi dirinya saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
FABIANNA
Teen FictionPerasaan tak selamanya diungkapkan oleh kata. Tapi dengan kata dia dapat mengerti apa yang kita rasakan. Terlalu sulit memang, Untuk mengungkapkannya. Tapi itu lebih baik kan, Daripada memendam yang berujung dengan ketidakpastian. TELAH DIREVISI DE...