Bab 4

247 15 6
                                    

1.

Ardian bekerja dengan kuas yang terselip di jemarinya. Takhanya satu, tapi hampir selusin kuas. HP-nya digunakan untuk memutar lagu-lagu dari playlist. Sebagian lagu dari tahun 1990-an, ada juga dari tahun 2000-an. file

Untuk urusan lagu, Ardian tak begitu mengikuti perkembangan. Dia juga tak peduli dengan bahasanya. Apalagi saat di Leiden dia berteman dengan banyak orang berbeda negara. Jadi tak aneh jika di playlistnya kadang terdengar lagu berbahasa Indonesia, Inggris, Arab, Hindi, Korea, Mandarin, Belanda, Prancis, Jerman, kadang juga bahasa Sunda.

Seperti kali ini lagu Ameno dari +eRa+ terdengar menyentak di ruangan studio mengiringi tarian kuas di atas kanvas. Ardian tengah memberi sentuhan akhir lukisan yang mulai dikerjakannya kemarin malam. Lukisan perempuan cantik namun misterius yang kerap hadir di mimpinya.

Terkadang Ardian berhenti sebentar, ikut bernyanyi lagu yang dirilis trahun 1996 itu,"Ameno ameno dore ameno dori me ameno dori me ..."

Dori me reo Ameno dori me...

Lagu yang diputarnya itu mendadak terhenti berputar dari HP-nya. Dia tak sedang memutar dalam versi online. Lagu itu sudah diunduh di HP sejak lama, jadi selalu diputar offline. Hanya lagu yang diputar online yang biasanya mati ditengah jalan karena buffering.

"Damn!"

Rupanya, batere HP ngedrop. Ardian mengisi batere HP di pojok ruangan, lalu balik ke kanvasnya.

Hai

Mata Ardian terbelalak melihat lukisannya. Tulisan itu muncul lagi seperti sebelumnya, di tempat yang sama. Sebentar Ardian mengucek matanya, meyakinkan matanya tidak siwer atau dirinya kebanyakan minum kopi.

Padahal sebelum dia berbalik mengecas HP, belum ada tulisan itu.

Ardian mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Terdiam lagi sesaat. Berusaha mendengar sesuatu jika memang ada orang di sekitarnya. Kemudian dia tertunduk sambil memejamkan matanya.

"Kamu bisa merasakan kehadiran mereka dengan menunduk dan memejamkan matanya. Lalu, rasakan di bagian lengan atau belakang lehermu. Ada sesuatu yang dingin atau nggak."

Ardian masih ingat yang dikatakan Dea meski sudah belasan tahun silam.

Tak merasa apapun, Ardian mengambil satu bidang kanvas lebar lainnya. Diletakkan di atas tripod penyangga. Ardian kemudian menulis di atas kanvas itu.

Siapa kau?

Ardian terdiam. Memandang kanvas di depannya yang yang baru ditulisi. Setelah tiga menit berlalu dan tak ada reaksi apapun, Ardian merasa dirinya konyol. Dia kembali ke lukisannya.

Tulisan 'Hai' itu masih ada. Ardian membiarkannya. Dia fokus pada beberapa bagian lukisan yang perlu sentuhan akhir.

Sejam kemudian Ardian menuntaskan lukisannya. Dengan sedikit penasaran pada kejadian yang baru dialaminya. Rasa penasaran yang teramat sangat, sama seperti ketika ibu membawanya pindah ke rumah kakek.

2.

Tahun 2005 ...

Ardian kini menyadari dari siapa dia mendapat kulit berwarna putih kekuningan serta mata sipit layaknya wajah oriental. Ibu memang berkulit putih, tapi matanya besar. Ayahnya, lihat dari foto, juga tak seberapa sipit dan berkulit agak gelap.

Herwandi Wangsa. Begitu nama lengkap kakeknya. Pria itu benar-benar seperti pria tua di film-film Mandarin yang pernah dilihat Ardian. Rambut tersisir rapi ke samping. Sedikit gemuk karena bisa makan apa saja yang dia mau. Tampak gagah dan berkuasa. Setidaknya di dalam rumah besar ini.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 22, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Rintihan KuntilanakWhere stories live. Discover now