Kalau ada yang butuh diistirahatkan saat ini, itu adalah bokongku. Setelah hampir lima belas menit menunggu di antrian yang tidak logis, akhirnya aku berhasil keluar barisan dengan dua pesanan Big Mac. Satu untukku, satu lagi untuk si Hitam di pojok sana.
Aku melangkahkan kaki dengan santai ke arah meja dengan empat kursi bulat merah yang mengelilinginya. Di salah satu kursi duduk si Hitam, di sampingnya ada si Keriting. Keriting bilang ia tak bawa uang, jadi tidak ikut memesan. Aku juga mana mau membayarinya kalau hutang lima puluh ribunya belum juga ia bayarkan.
"Bro! Udah denger belom? Imam besar masjid Al-Aqsa ditembak Israel?" Aku memilih kursi di seberang si Hitam. Ia sibuk dengan gadgetnya, sambil sesekali menunjukkan gambar mobil ceper yang memang jadi hobi kami bertiga.
"Sumpah?! Kenapa lagi sih Israel?" si Keriting bertanya dengan nada sewot.
Aku mengangkat bahu. "Nggak tau. Gue nggak abis pikir aja sih, bisa-bisanya nembak orang abis solat."
Si Hitam masih tidak menggubris. Perhatiannya terfokus pada mobil BMW merah marun keluaran lama, jenis sedan yang panjangnya akan menguras emosi kalau harus lewat gang di belakang kampus.
"Gila. Psycho kali," celetuk si Keriting.
Baru aku hendak merespon, seorang pelayan berseragam cokelat datang menghampiri kami dengan dua bungkus Big Mac. Laki-laki itu kemudian pergi lagi tanpa memberikan senyuman barang sedikit pun.
"Eh gimana ntar malem, jadi?"
Akhirnya si Hitam menduakan perhatiannya juga. Ia menatap aku dan keriting bergantian. Tidak kutemukan ekspresi terima kasih. Padahal, aku tadi susah-susah mengantri untuk makanan pesanannya.
"Jadi lah, Bos! Ya kali nggak kuy!" balas si Keriting yakin sebelum menepuk pundak si Hitam dengan gerakan akrab.
Aku terdiam. Rencana nanti malam bukanlah rencanaku. Sejujurnya sekali-sekali aku ingin menggunakan uangku untuk hal lain. Mengirimkan donasi untuk Palestina misalnya. Tapi aku harus terlihat konsisten. Mau dikemanakan reputasiku kalau presensiku tiba-tiba menghilang di acara sebesar nanti malam?
:::: o ::::
Entah sejak kapan manusia memutuskan untuk mengkotak-kotakkan dirinya dan golongannya sendiri. Mungkin maksudnya untuk mempertahankan identitas. Atau untuk menunjukkan eksistensi. Atau mungkin hanya untuk mencari manusia lain dengan ciri-ciri yang sama, di mana akhirnya manusia tersebut merasa ia tidak lagi sendiri di dunia ini. Apapun alasannya, sepertinya manusia memang sudah mengkotak-kotakkan spesiesnya sendiri dari jaman kain katun bahkan belum sampai ke angan-angan.
Sebut saja semua penggolongan mulai dari ras, kepribadian, hobi, status warga negara, bahasa, kepercayaan, keturunan, bahkan sampai tinggi dan berat badan pun ada penggolongannya! Semua orang bilang aku masuk golongan tinggi kurus dengan sedikit sentuhan atletis. Tapi peduli setan. Memangnya apa sih untungnya dari penggolongan itu selain teman fana dan empati yang dibuat-buat? Yang ada setiap harinya aku melihat orang bertengkar bodoh hanya karena mereka berasal dari golongan yang berbeda.
Seperti malam ini misalnya. Bolehlah panggil aku hipokrit karena aku diam saja melihat komplotan pimpinanku bertengkar dengan komplotan SMA seberang. Masalahnya sepele, Si Hitam tadi tidak sengaja menyerempet mobil Volkswagen putih kepunyaan komplotan sebelah. Kejadian itu berujung pada goresan panjang di sepanjang pintu kanan mobil dan tiga anak SMA sok jagoan yang naik pitam.
Aku menunggu mereka selesai membentak satu sama lain. Sudut mataku menangkap kilauan tajam logam berbentuk lancip. Pisau itu dihunuskan oleh salah satu anggota komplotan lawan, siap menusuk Si Keriting dari depan.
Tanpa pikir panjang, aku pun menginjak gas yang dalam, membiarkan Honda Civic silver keluaran 2016 itu menabrak bemper belakang Volkswagen putih milik mereka. Kerumunan tiba-tiba bubar, dua komplotan itu berhenti memandang satu sama lain dan berpindah ke belakang bemper mobil yang nahas.
Aku mengganti gigi, kemudian kembali menginjak gas. Mobilku mundur dengan kecepatan berbahaya. Bisa kudengar teriakan para penonton biadab yang tidak melakukan apa-apa ketika komplotan kami bertengkar. Kulihat Si Hitam dan Si Keriting berlari ke arahku. Aku pun sedikit memperlambat laju mobilku. Begitu mereka berhasil masuk, aku kembali menginjak gas, mengabaikan orang-orang yang berteriak di sekeliling.
"Bego lo," makiku pada Si Hitam.
"Sori, Gran. Lagian siapa suruh mereka parkir di tengah jalan."
Aku menggertakkan gigiku. Kalau bukan ayahku yang punya dealer Honda terbesar di kota ini, pasti mobilku sudah tidak jelas bagaimana nasibnya. "Gue nggak akan kasih pinjem mobil ini ke lo lagi."
Keadaan hening. Aku kembali teringat dengan percakapan kami tadi siang.
"Lo tau nggak imam besar Al-Aqsa meninggal dua hari yang lalu?" tanyaku pada Si Hitam.
Awalnya, kukira Keriting yang akan menjawab. Ternyata Si Hitam bersuara terlebih dahulu. "Tau," balasnya singkat.
"Peduli nggak lo? Lo barusan bisa aja senasib sama dia kalo gue nggak sebaik itu." Mataku masih memandang lurus jalanan beraspal di depan. Toko di kanan kiri sudah tutup, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Sumber pencahayaan hanya datang dari lampu mobil dan tiang-tiang lampu di jalan.
"Gue nggak ngerti maksud lo apa nanyain imam masjid. Tapi kalo peduli, biasa aja sih. Tadi pagi juga vokalisnya Linkin Park meninggal, kan? I mean, people died every day. It's nothing new."
Tak ayal tawaku keluar. Keras, namun kering kerontang seperti gurun pasir. "Terus kalo lo sendiri yang mati? Orang-orang terdekat lo? Masih nggak peduli?"
Si Hitam tidak menjawab. Si Keriting pun sama sekali tidak bersuara semenjak ia menginjakkan kaki di dalam mobilku tadi.
"Nggak bisa jawab lo? Bukannya tadi udah sok jagoan di depan anak SMA 5? Lo juga, Bim. Daritadi diem aja."
Masih hening. Keriting di sampingku menyandarkan kepalanya ke jendela. Aku mencoba melihat ekspresi Si Hitam dari kaca mobil. Cowok itu menatap keluar jendela kiri mobil. Ekspresinya kosong.
"Ya, udah. Gue minta maaf. Mau lo apa, Gran? Lo nggak pernah bawa-bawa agama sebelumnya." tanya Si Hitam.
Aku kembali tertawa. Lucu juga bagaimana jawabannya sama sekali tidak nyambung dengan pertanyaanku.
"Gue nggak bawa agama loh? Apa iya cuma karena orang yang mati ditembak itu pemuka agama dan yang nembak itu Zionis Israel gue jadi otomatis belain agama Islam? Gue kira lo pernah diajarin tentang hak asasi? Yah, gue tau bullshit banget kalo dengernya dari gue. Cuma gue capek aja sekarang buat peduli sama orang lain harus berdasarkan status dan golongan orang tersebut. Bukannya sama aja ya mereka semua manusia?"
"Ya kalo lo peduli, terus apa? Emang lo bisa bantu? Lo juga nggak bisa apa-apa, kan? Jangan sok suci. Lo nggak lebih baik dari gue sama Bimo."
Mataku menatap Si Hitam tajam lewat kaca yang menggantung di bagian atas mobil. "Gue sadar kok gue brengsek, sama brengseknya kayak kalian. Tapi intinya, gue nggak mau terus-terusan gini. Gue nggak mau sok-sok balapan lagi. Ini udah taun terakhir, bokap gue minta gue nerusin di luar negeri dan g-"
"Gran! Awas!"
Kepalaku bergerak secepat kilat. Sebuah truk melaju ke arah kami. Hanya lampu kanan truk itu yang menyala sehingga aku telat menyadari kehadirannya daritadi. Aku tidak bisa menangkap sosok supir di dalam truk, tapi kutebak ia tidak sadar karena bahkan tidak membunyikan klakson.
BRAK!
KAMU SEDANG MEMBACA
Sampah #2: Propelan
Short StoryAku kembali tertawa. Lucu juga bagaimana jawabannya sama sekali tidak nyambung dengan pertanyaanku. "Gue nggak bawa agama loh? Apa iya cuma karena orang yang mati ditembak itu pemuka agama dan yang nembak itu Zionis Israel gue jadi otomatis belain a...