CHAPTER 6

133 25 4
                                    

"Apakah kita harus melakukan ini?" Jimin memperlambat langkahnya, menatap Eun Soo tidak percaya. Mereka benar-benar menuruti perkataan Seokjin.

"Kita tidak tahu apa yang akan orang-orang gila itu lakukan terhadap karir kita berdua." Eun Soo menggaruk kepalanya yang tidak gatal, hampir tidak bisa berpikir.

"Hah, yang benar saja!" Jimin membuka pintu toko roti dengan kesal.

"Kalian sudah datang?" sambut Seokjin.

Jimin melongo. Seokjin seperti sudah menunggu kedatangan mereka. Laki-laki itu sudah berdiri di balik konter dan memberikan isyarat kepada pegawainya untuk pergi. "Aku yang akan melayani mereka."

Eun Soo menghela napas. Tidak masalah jika harus menjadi pelanggan tetap di sebuah toko roti. Tapi kenapa pula harus toko roti Kim Seokjin. Selama 3 bulan! Setiap hari paling tidak ia harus melihat wajah menyebalkan Kim Seokjin selama 15 menit. Itu pun kalau laki-laki itu tidak mengulur-ngulur waktu.

"Warna biru cocok denganmu." Yoongi tiba-tiba muncul dari balik bahu Seokjin. "Aku suka jika kau memakai warna biru."

Eun Soo hanya tersenyum sinis. Teringat bagaimana dulu orang-orang ini memperlakukannya, sehingga pujian yang ia tahu hanyalah sekedar basa-basi terdengar seperti hinaan baginya.

"Juga cantik." Tambah Seokjin kasual, kemudian tersenyum kepada Eun Soo.

Eun Soo melengos. Kim Seokjin adalah ahlinya bermulut manis, jadi ia tidak perlu repot-repot merasa terkejut apalagi sampai tersanjung.

"Aku pesan ini dan secangkir vanilla latte." Eun Soo menunjuk sandwich di etalase dengan malas.

"Kau pasti sudah sering mendapat pujian seperti itu sehingga sama sekali tidak bereaksi." Lagi-lagi Yoongi mencari masalah.

"Aku tahu itu adalah basa-basi. Bisa segera berikan pesananku, tuan Min Yoongi dan Kim Seokjin? Aku tidak boleh terlambat karena temanmu pasti akan memaki-ku habis-habisan kalau aku telat semenit saja."

Jimin menatap Eun Soo horror. Mood gadis itu pasti sedang sangat buruk. Gadis itu seolah tidak memiliki rasa takut jika ­mood-nya benar-benar kacau.

Yoongi melirik Seokjin khawatir.

"Tapi aku mengatakannya dengan sungguh-sungguh." Seokjin berkata lirih. "Sepertinya Eun Soo sangat tidak menyukaiku ya."

"Kenapa baru sadar sekarang?" Eun Soo nyaris berteriak. Ia semalam bertengkar hebat dengan ayah dan adiknya. Pikirannya sedang benar-benar kacau. Kenapa pula ia harus menjaga perasaan orang yang pernah membulinya di masa sekolah menengah! "Sebenarnya apa masalahmu? Sejak kedatangan-ku dan teman-temanku ke toko rotimu, pertemuan kita bukan lagi tanpa sengaja kan? Kalau kau ingin bermain-main cari saja orang lain, aku sama sekali tidak punya waktu untuk itu—"

"Jangan lanjutkan kata-katamu." Yoongi menatap Eun Soo sinis.

"Kau juga kenapa harus selalu menjadi juru bicara Seokjin? Tidak bisakah ia menyelesaikan perkataannya dengan mulutnya sendiri?" Jimin berusaha menenangkan Eun Soo. "Orang-orang kaya seperti kalian pasti menganggap orang-orang seperti ku lucu kan? Sesuatu yang bisa dimainkan dan dijadikan bahan tertawaan."

"Aku minta maaf—"

"Kenapa kau senang sekali meminta maaf, Tuan Kim Seokjin? Itu sama sekali bukan dirimu."

"Eun Soo sudahlah." Jimin menarik-narik Eun Soo agar segera pergi dari sana. Eun Soo bisa saja membanting apapun yang berada di dalam jangkauannya.

"Kalian membeli sarapan di sini?"

Jungkook muncul dan menghampiri kedua anak buahnya tanpa merasa curiga. "Kenapa kalian tegang sekali?" Ia melihat Yoongi dan Eun Soo yang seolah adu tatap.

"Kenapa pula kalian selalu berkumpul di saat yang tepat?" Eun Soo menatap Jungkook malas. Managernya terlihat lebih menyebalkan dari sebelumnya. Jungkook menjadi terlihat sama dengan Kim Seokjin dan Min Yoongi, sama-sama brengsek.

. . .

"Apa kau marah karena mereka mengatakan kau cantik?" Jimin berbicara pelan, takut gadis itu akan mencolok matanya dengan garpu apabila pertanyaanya menyinggung perasaan gadis itu. "Tapi kau kan memang cantik." Jimin pikir memuji Eun Soo akan menyelesaikan masalah.

Eun Soo melotot. "Mereka selalu dikelilingi wanita cantik setiap hari kenapa pula harus mengatakan hal seperti itu kepadaku? Mereka pasti berpikir aku adalah lelucon!"

"Tapi Seokjin sepertinya orang baik."

"Apa karena mereka berpakaian rapi lantas menjadikan mereka orang baik?" Eun Soo menghempaskan sendoknya dengan kesal, hilang sudah selera makannya. "Kau tidak tahu apa yang mereka lakukan kepadaku—" Mendadak Eun Soo tidak bisa menahan air matanya.

"Kau menangis?" Jimin mendadak panik dan segera memberikan tisu kepada Eun Soo. Ia melihat ke sekeliling kafetaria, takut jika ada orang yang melihat dan berpikiran dirinya lah sebagai penyebabnya.

"Kalau kau ada masalah kau bisa cerita kepadaku." Jimin berusaha menenangkan Eun Soo. Ia tahu gadis itu menangis bukan hanya karena masalah Seokjin. Eun Soo terlalu sering memendam, Jimin tahu itu.

"Kalau kau menyebarkan berita aku menangis kepada orang-orang, kau akan mati Park Jimin."

"Baik, Yang Mulia."

. . .

Jungkook mengintip kubikel Eun Soo dari ruangannya. Ia ingin menanyai gadis itu tapi Seokjin sudah melarangnya. Ia mendadak menjadi tidak tenang. Ia khawatir hal ini akan berdampak buruk terhadap kesehatan Seokjin.

Ponsel Jungkook berdering, tertera nama Min Yoongi. "Apa ada masalah lagi?"

"Pertunangan Seokjin akan dilaksanakan 2 minggu lagi."

Terjadi jeda selama beberapa detik. Jungkook kehilangan kata-kata untuk menanggapi berita mendadak itu. Ia tahu hal seperti ini akan terjadi tapi tetap saja ia merasa terkejut.

"Apa kau yakin?" Jungkook memijat pelipisnya. Dirinya memang sudah mengenal Jisoo sejak masih sekolah tapi entah mengapa masih ada keraguan dari dalam dirinya untuk menyerahkan Seokjin kepada Jisoo.

"Entahlah."

"Hanya kita yang dimiliki oleh Seokjin, aku tidak ingin salah mengambil keputusan."

"Kehadiran Eun Soo sepertinya mulai mempengaruhi Seokjin."

"Eun Soo? Heo Eun Soo? Mereka kan baru bertemu beberapa kali."

"Sejak pertengkaran tadi pagi, ia masih terlihat murung."

Jungkook menatap kubikel Eun Soo. Gadis itu mendadak berdiri dan menghampiri kubikel Jimin dan tertawa bersama. Selama beberapa saat Jungkook merasa menikmati pemadangan tersebut.

"Bagaimana ya?" Yoongi membuyarkan lamunan Jungkook.

"Apa tidak bisa gadis lain?"

. . .

"Harus berapa kali aku katakan jangan pernah menemuiku lagi!"

"Eun Soo-a—"

"Sampai kapan ayah akan membuat hidupku menderita? Setiap hari aku bekerja banting tulang dan yang ayah lakukan hanyalah meminta-minta padaku! Kalau tidak punya uang jangan menikah lagi! Ayah berusaha mati-matian menghidupi istri barumu dan anaknya tapi kau menelantarkan adikku! Tidak puas sudah membunuh ibuku?"

"Eun Soo—"

"Ambil ini, dan kirim Minwoo tinggal bersamaku!" Eun Soo mengeluarkan seluruh uang didompetnya dan menggengamkannya kepada ayahnya. "Kalau ayah muncul lagi di hadapanku, aku tidak akan pernah memaafkanmu."

Eun Soo berusaha keras menahan tangisnya. Ia berjalan cepat, namun tidak memiliki tujuan. Hatinya benar-benar hancur. Setiap melihat wajah ayahnya ia tidak bisa berhenti membayangkan wajah ibunya. Langkah Eun Soo semakin cepat, ia memutuskan berhenti di halte terdekat. Kali ini air matanya benar-benar tidak bisa ia tahan lagi, kakinya juga sudah terasa lemas.

Kali ini ia menangis bukan karena kebencian yang selama ini ia pendam, ia hanya merasa lelah, begitu lelah.

. . .

F A K E  L O V E

F A K E  L O V EWhere stories live. Discover now