ADEGAN II

50 0 0
                                    

PANGGUNG BERISI SATU MEJA YANG DIAPIT DUA KURSI. SETTING RUANG TAMU SEBUAH RUMAH SEDERHANA. PERABOTAN PENDUKUNG MINIMALIS. SEORANG PEREMPUAN DAN SEORANG LAKI-LAKI TERLIHAT SEDANG MEMINUM TEH. KEDUANYA TERDIAM UNTUK BEBERAPA SAAT, TANPA SALING PANDANG.
SAPTO : (MELETAKKAN CANGKIR LALU MENGHELA NAFAS LALU MENATAP LAWAN BICARA) Bagaimana tidurmu semalam? Kau tidak lupa minum obat, kan?
SEKAR : (MENGABAIKAN PERTANYAAN LAWAN BICARA, LEBIH SENANG MEMANDANG TEH DALAM CANGKIR) Semalam, aku mimpi jadi pengantin.
SAPTO : (TERKEJUT) Pengantin? mimpi jadi pengantin?
SEKAR : (LAGI-LAGI MENGABAIKAN PERTANYAAN LAWAN BICARA) Aku dirias cantik sekali, paes ageng membuat wajahku di dalam mimpi semakin cantik.
SAPTO : Lantas? Apa kau juga memakai baju pengantin? Ap–
SEKAR : Kenapa kau? Ini hanya mimpi biasa, tak ada yang perlu kau cemaskan.
SAPTO : Kata orang, kalau mimpi jadi pengantin, kita aka–
SEKAR : Itu hanya mimpi biasa, bukan pertanda. Lupakan saja. Kau sendiri bagaimana? Mimpi apa semalam?
SAPTO : Tidak ada. Aku tidak mimpi apa-apa. (KEMBALI TENANG)
SEKAR : (TERSENYUM) Bagaimana teh buatanku pagi ini? (MENGADUK CANGKIR DENGAN SENDOK KECIL)
SAPTO : (MENGHELA NAFAS) Seperti biasa,
SEKAR : Biasa?
SAPTO : (MENGANGGUK TIPIS DENGAN BERAT SEAKAN TIDAK SAMPAI HATI)
SEKAR : Hanya itu? Tidak ada yang lain?
SAPTO : Tidak ada, rasanya masih sama, tawar.
SEKAR : Seperti kita?
SAPTO : (MEMANDANG CANGKIR CUKUP LAMA) Entahlah, ak–
SEKAR : Aku tahu apa yang akan kau katakan. Aku menyesal, tidak seharusnya kita membiarkan pagi kita sebiru ini, (MENGHELAS NAFAS)
SAPTO : Kau benar. Kita bahkan tidak punya banyak waktu untuk membenamkan diri dalam kesedihan. (MEREKA SALING PANDANG LALU TERTAWA)
SEKAR : Ini pagi yang lucu,
SAPTO : (MENERUSKAN TAWA CUKUP LEBAR TANPA BERBICARA)
SEKAR : Aku bahkan tidak pernah bermimpi akan berada di adegan ini,
SAPTO : Tuhan barangkali sedang bercanda,
SEKAR : (MENGGELENG-GELENG KUAT, SERIUS) Tidak.. tidak.. Tuhan selalu serius.
SAPTO : Jadi kita yang sedang bercanda?
SEKAR : (MENGHELA NAFAS, SUARANYA LIRIH) Ini akan jadi salah satu kenangan kita,
SAPTO : (MENGHELA NAFAS SAMBIL MENGGUT-MANGGUT SAMAR) Ya, masa lalu memang indah untuk dikenang,
SEKAR : Ini kenangan. Bukan masa lalu.
SAPTO : (MEMINUM TEH) Sama saja, kan? Mereka hadir di masa lampau,
SEKAR : Tapi mereka memiliki ruangan berbeda. Kenangan, kau tahu, adalah memori akan masa lalu. Kenangan membuat kita kuat melewati masa sulit, masa paceklik, seperti kenanganku soal ibu. Kau tahu alasan aku selalu mengaduk teh tawar ini? Dulu, aku selalu memperhatikan ibu bila sedang membikinkan teh manis buat Bapak atau teh tawar buat anak-anaknya. Aku tidak merasa kesepian dengan menjaga kenangan itu. Sementara masa lalu, bagiku hanya bagian hidup yang tidak bisa di ubah. Buktinya, banyak orang memilih mengubur dalam-dalam masa lalunya. Kenangan itu kegembiraan dan masa lalu, aku lebih melihatnya sebagai kemuraman. Keruh seperti teh ini.
SAPTO : (TERTAWA) Kenangan dan masa lalu. Aku tidak berubah pendapat. Mereka sama. Sama-sama pernah membuat sejarah. Kau saja yang mengotak-ngotak.
SEKAR : (TERDIAM LAMA SEBELUM MENJAWAB) Ya mungkin seperti itu. Nantinya kau pun akan kuletakkan di salah satu ruangan itu.
SAPTO : (SEPERTI HENDAK MEMBANTAH NAMUN URUNG KARENA LAWAN BICARA SEGERA MENGALIHKAN TOPIK OBROLAN)
SEKAR : (MENGALIHKAN PEMBICARAAN) Oh iya, kau ingat Bu Marni pemilik warung di pertigaan depan? Iya, yang juga ikut menjualkan donat-donatku. Kasihan sekali ia, anaknya mencalonkan diri sebagai petinggi. Eh malah gagal, padahal sudah habis ratusan juta. Orang-orang, tentu saja aku tidak bisa menyalahkan, jelas memilih isi amplop yang terbanyak. Menurutmu, kenapa orang seperti hewan, menghalalkan segala cara? Jika hanya demi jabatan selevel petinggi kampung, mereka sudah sedemikian gilanya, bagaimana kalau menjadi camat, bupati, gubernur, atau presiden? Aku dengar anak Bu Marni, calon petinggi gagal itu, depresi dan sering berteriak-teriak tidak jelas, apa mungkin–
SAPTO : Sekar, maafkan aku.
SEKAR : Apa maksudmu? tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku baik-baik saja.
SAPTO : Aku tahu kau tidak dalam keadaan baik-baik saja.
SEKAR : (MENYERINGAI MISTERIUS) Ketika sudah tidak ada lagi yang tersisa, kau hanya perlu mempercayai kalimatku itu.
SAPTO : Kadang, aku ingin kau membiasakan pagi tanpa kehadiranku. Sebentar lagi, kau harus hidup tanpaku.
SEKAR : Tanpamu aku laut yang diam, karena bila udara tidak begerak, bagaimana mungkin akan ada ombak?
SAPTO : Udara tak pernah menampakkan wujudnya untuk menjadikan laut bergelombang, cukup hembusannya merajai di sekujur badan.
SEKAR : Kalau begitu, jika sekujur badanku kaku, masih bisakah kau mengingat detak jantungku?
(LAMPU PADAM)

PEREMPUAN DALAM KOMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang