1. Aku Diculik Remaja Aneh

76 1 0
                                    

Aku memandang ke arah cermin. Rambut ikalku sudah mulai panjang, mataku lelah dan merah, jerawatku sudah hilang, tapi tetap saja aku benci dengan pemandangan diriku mengenakan kemeja untuk bertemu dengan orang yang membullyku selama bertahun-tahun.

“Jayden, cepatlah, Terry sudah datang”, oh hebat, sekarang aku harus berada di dalam mobil yang sama dengan si brengsek itu. “Iya sebentar”, aku mencoba-coba mencari alas an yang pas, tetapi ibuku memaksaku ikut, karena malam ini spesial, katanya.

Sebuah mobil Mercedes-Benz terparkir rapi di depan terasku, kaca depannya terbuka sehingga menampilkan kepala botak yang tersenyum kepadaku, ralat, kepada ibuku. Nama si pemilik kepala botak itu adalah Terry, seorang pengusaha yang entah bagaimana menyukai ibuku sejak aku masuk SMP. Cuaca malam ini sangat dingin, kalau saja si Terry itu berpikir memakai logika, tentu saja dia takkan mengundang ibuku makan (beserta seluruh keluarganya, yang secara spesifik berarti aku) untuk pergi kencan/ makan malam.

Perjalanan berlangsung setengah jam, dan aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak membuka pintu dan pulang ke rumah. Terry dan Ibuku duduk di bagian depan mobil. Aku duduk di belakang Terry dan disampingku adalah Harold, pembullyku. Harold memiliki badan bongsor sejak kecil, yang malangnya aku, sekelas dengannya sejak kecil. Awalnya Harold tidak memedulikanku, tetapi semenjak masuk sekolah dasar, Harold entah mengapa, tumbuh semakin pesat, dan dia mulai melihatku yang mungkin menurutnya memiliki badan sangat kecil, jadi dia mulai membullyku, sampai dia tahu kalau ayahnya menyukai ibuku, dia mulai mencoba untuk membunuhku. Contoh perbedaannya, saat dia membullyku, biasanya dia mengambil tasku saat aku tidak memperhatikan, dan menuang semua isinya ke lantai, dan saat dia mencoba membunuhku, dia melakukan hal yang sama, bedanya, saat aku ingin memungut isi tas ku kembali, dia akan menginjak kepalaku.

Kami sampai di sebuah restoran Jepang yang aku yakin mahalnya tidak masuk akal. Ibuku dan Terry bergandengan tangan di depanku, dan Harold mengambil rokok dari kantongnya dan mulai menyalakannya saat seorang pelayan yang menyambut kami melarangnya. Harold memelototi pelayan itu dan membisikkan sesuatu di telinga pelayan itu, lalu dia pergi menyusul ayahnya saat kusadari wajah pelayan itu merona, apa pula maksudnya itu.
Restoran itu seperti restoran Jepang pada umumnya, tetapi kami duduk di lantai, jadi kursinya adalah karpet-karpet cokelat yang mungkin terbuat dari kulit. Dinding-dinding putih mengitari kami berempat dan meja-meja di lantai terbuat dari bambu yang mungkin harganya tidak main-main. Kami duduk di lantai yang tersedia dan menerima menu dari pelayan. Mejanya merbentuk oval panjang, yang membuat ibuku dan Terry duduk di hadapanku dan Harold, lalu baru kusadari bahwa tinggi Harold sepertinya berhenti dan sekarang mulai menyamaiku, tapi tetap saja aku tidak dapat melakukan apa-apa untuk membalas dendam, karena tubuh Harold keseluruhannya adalah otot.

Makan malam berlangsung lancar, selain karena ibuku menyukai sushi, dia juga banyak tertawa atas lelucon-lelucon Terry yang sangat biasa saja, dia terlihat bahagia, sehingga mau tidak mau aku tersenyum juga, seberapa jahat Harold, ayahnya adalah orang yang baik, dia bisa saja membuat ibuku tertawa lebih kencang andaikan tidak ada orang lain di sekitar kami.

“Ayah, izinkan aku mengajak Jayden keluar, sepertinya kalian butuh waktu bersama..”, aku tersedak, oh tidak, jangan lagi, tetapi Terry hanya mengangguk senang, sepertinya dia tidak tahu bahwa kerjaan anaknya hanya menonjokku setiap hari di sekolah, dan ibuku? Oh dia lebih senang lagi, “Silakan anak-anak, habiskan waktu yang kalian butuhkan, dan kembalilah jam 8 nanti, oke?” Harold dengan senyum jahatnya yang terkenal manis itu mengangguk dan mencengkram tanganku, sekarang aku tidak punya harapan.

Brukk..tubuhku menghantam batu bata merah di belakang restoran, mataku pedih karena debu, apa sih yang dia inginkan? “Bangun dan jawablah pertanyaanku Jayden, CEPAT!! Apa kau tuli??!” Kali ini, Harold melempar sebuah pot tanaman keramik ke arahku. Bagaimana aku bisa bangun jika dia terus-terusan memojokkan ku, idiot. “Aku tidak bermaksud melakukannya Harold, sudahlah... ini bukan semata mata keinginanku.” Aku mencoba berdiri dan mengusap bahuku yang seharusnya sudah berwarna biru sekarang, Harold sudah melepaskan dasi yang dari tadi terikat di lehernya, dia betul-betul marah. Dan benar saja, dia menonjokku lagi, tetapi aku mengelak dan alhasil tangannya menonjok batu bata merah yang beberapa detik yang lalu adalah tempatku bersandar.

In The Other WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang