3. Astronomi

66 5 0
                                    

Aku mencoba untuk memahami sebagian besar materi yang ada, dan aku mengaktifkan diri di kelas. Aku tahu, seberapa pun pintar dan menonjolnya diriku sekarang, Emma tak mungkin 'menoleh' ke arahku. Namun aku tak peduli.

Aku semakin disegani banyak siswa dan siswi di kelasku sekarang. Namun aku tak bisa berhenti memikirkan Emma. Sampai akhirnya, aku mendapat tawaran yang tidak mungkin aku tolak dari guruku.

Karena pengetahuanku tentang ilmu Astronomi dianggap sangat baik, beliau memintaku untuk mengikuti cerdas cermat mewakili sekolah kami.

"Jarang ada siswa dengan minat sepertimu di sekolah ini, Christ. Lebih-lebih tak ada mata pelajaran ini di jurusan manapun. Dan ibu tak mau menyia-nyiakan siswa sepertimu." Kata sang pembimbing paruh baya itu sambil tersenyum ramah.

Dan yang lebih mengejutkan lagi, salah satu diantara dua siswa yang satu tim denganku untuk mewakili sekolah kami adalah... Emma.

Kami mengikuti bimbingan untuk persiapan Olimpiade sepulang sekolah setiap harinya di ruang klub Astronomi. Aku tak tahu ternyata ada klub seperti ini. Sepertinya tidak banyak peminatnya sehingga aku jarang mendengar namanya. Aku justru mengikuti klub IT.

Saat pertama kali melihat Emma setelah sekian lama tak pernah berpapasan sekalipun, aku terkesiap melihatnya masih cantik, seperti dulu. Dan dari isu para anak laki-laki, aku mendengar bahwa Emma telah putus dengan pacarnya yang berbeda sekolah itu. Membuat ku bersemangat kembali.

Namun ada perubahan pada sikapnya. Ia tak lagi seanggun dan tertutup seperti dulu. Sekarang ia lebih santai dalam bersosialisasi. Membuatnya semakin terlihat sempurna saja.

Kami mengikuti bimbingan hingga sore hari, bahkan saat ini menjelang petang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kami mengikuti bimbingan hingga sore hari, bahkan saat ini menjelang petang. Mengingat Olimpiade yang akan kami hadapi sudah dekat, tak sampai seminggu lagi.

Saat pembimbing kami menyudahi latihan, kami bersama-sama keluar dari ruang klub, menuju gerbang sekolah. Pembimbing kami pergi lebih dulu karena ia harus memeriksa sesuatu di ruang guru.

Aku, Boby, dan Emma pulang bersama beriringan. Saat di persimpangan pertama, Boby berpamitan pada kami. Ia bilang ingin membelikan sesuatu untuk adik perempuannya yang akan berulang tahun besok, seorang adik kelas yang cukup manis. Ia lalu menyuruh kami pulang duluan dan segera menyebrang jalan. Meninggalkan aku dan Emma dalam kekelaman senja di pinggir jalan.

Aku dan Emma terus berjalan dalam diam. Sesekali ia menggumamkan nyanyian-nyanyian kecil. Aku menghela napas, berharap waktu dapat terhenti di saat-saat seperti ini.

Aku kembali mengingat-ingat saat pertama kali aku melihatnya. Begitu bersinar, dan jauh... Aku meliriknya sekali, dan melihat betapa dekatnya ia sekarang. Tapi rasa takut tetap menahanku untuk tidak mengatakan apapun, atau bahkan menyentuhnya.

Rasa takut yang sama, seperti setahun yang lalu. Aku lalu memandang ke arah langit. Menatap bintang-bintang yang mulai bermunculan. Langit gelap karena bulan belum juga terbit.

Aku terhenti sejenak. Membayangkan bahwa Emma adalah salah satu dari bintang-bintang itu. Sungguh indah, namun sangat jauh. Benar-benar jauh untuk dicapai.

Saat aku mengembalikan pandangan ke jalan di depanku, aku mendapati Emma sedang menatapku. Aku merasakan debaran aneh pada jantungku saat Emma menatapku seperti itu.

Pandangannya tak tertebak. Dan rambutnya yang lurus halus terbang ringan ditiup angin malam. Ia merapikan rambutnya dan langsung berbalik, tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Aku tak bisa memikirkan apa-apa. Aku hanya tetap berjalan, mengikutinya. Sampai di persimpangan berikutnya, kami berpisah, menuju rumah masing-masing.

STARSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang