Hari ini tamu itu datang. Pukul 12.00 WIB mereka tiba di depan pintu pagar rumahku. Kedua orangtuaku menyambut mereka di pintu pagar.
Nenek menunggu di ruang tamu sambil menyunggingkan senyumnya. Senyum itu. Hanya terjadi beberapa kali dalam 1 tahun. Langkah. Sangat. Sangat langkah.
Aku mengintip dari jendela ruang tengah. Terlihat mereka mulai memasuki ruang tamu. Ketiganya terlihat lelah. Kelelahan karna perjalanan dari Jakarta menuju Surabaya. Dan surabaya menuju Jember. Terdengar suara isak tangis dari arah ruang tamu. Aku berusaha menguatkan diri agar tak ikut tenggelam dalam kesedihan.
Ku buka pintu ruang tamu perlahan. Semua menoleh ke arahku dengan mata sembabnya. Tatapanku tajam ke arah laki laki ber ekspresi datar di ambang pintu. Ku abaikan tatapan mereka dan mencium tangan mereka satu per satu. Kakak ayah, dan suaminya. Hanya tersisa 1 tamu lagi. Dia saudara sepupuku. Ku kuatkan hati dan berjalan kearahnya. Menjabat tangannya. Menyunggingkan sedikit senyum tipis. Menatap matanya sebentar dan menyudahi semuanya.
Para orangtua sudah menuju halaman belakang untuk berbicara ringan. Di ruang tamu hanya tersisa tas tas ransel, koper, dan dia. Dia saudara sepupuku. Tatapannya sama saja seperti dulu. Tak berubah. Mungkin tak akan pernah berubah. Hanya aku yang berubah. Tatapan yang dulunya hangat. Sekarang berubah dingin dan tajam.
Memang tak sopan menatap saudara sendiri seperti itu. Tapi tatapanku yang sekarang memang seperti ini. Kepada semua orang bukan hanya dia.
Tak ada yang memecah keheningan. Kami berdua masih beradu tatapan. Dengan dia yang masih di ambang pintu.
"Ok, sudahi adu tatapan ini. Aku bosan. I'll say hi to you." -Anton
"Ok, can you say hi now?" -Alika
"Ohh, you look so cute." -Anton
"Are you kidding?" -Alika
"Ohh come on. Hug me please my lovely cousin." -Anton
"Hug? Lovely cousin? Oh ya ofcourse. I'm really not polite, am i?" -Alika
"Huh, come on and hug me" -Anton
Ucapanku tak senada dengan tindakanku. Bukannya memeluknya, aku malah meninggalkannya dengan sebegitu banyak barang.
Tidak sopan. Memang. Tapi aku puas dengan itu. Melihat wajah kesalnya membuatku menahan tawa sejak tadi. Dan kini aku di kamarku sendiri. Benar benar sendiri. Dan aku bebas melakukan apapun. Aku tertawa. Tertawa sepuasnya hingga perutku sakit dan terdengar suara ketukan di pintu.
Aku berjalan ke arah pintu. Membukanya. Dan apa yang kutemukan adalah coklat. Aku tahu siapa yang menaruhnya. Pasti Anton saudara sepupuku.
Coklat. Selalu coklat. Selalu coklat yang membuat kami akrab. Aku mengetuk pintu kamar Anton yang berada di depan kamarku.
Pintunya terbuka. Aku masuk. Masih nampak wajah kesalnya. Aku bersalah atas hal itu.
Anton duduk di pinggir ranjangnya. Sedangkan aku masih berdiri di dekat koper kopernya. Ku lihat wajahnya lekat lekat. Tiba tiba tangan anton meraih tanganku. Memberiku coklat, lagi.
Ku tuliskan kata "sorry" di kertas putih yang tergeletak di meja. Kuberikan padanya.
Entah ia menulis apa. Kertas itu diberikan padaku. Dengan tulisan "it's ok, i'm good"
Setelah itu obrolan mulai lancar kembali. Obrolan kami berlanjut hingga menjelang makan malam dan ya. Inti dari obrolanku dengannya adalah
"Tolong jangan tatap orang lain degan tatapan dingin itu lagi."Aku keluar dari kamarnya, menuju kamarku dan membersihkan diri di kamar dan turun menuju meja makan.
Kami makan malam dengan sunyi senyap. Tidak ada suara selain dentingan sendok garpu beradu dengan piring porselen.
Selesai makan malam semua kembali pada kesibukannya masing masing. Tinggal aku sendiri di meja makan.
Aku terbiasa dengan ini. Sangat. Setiap hari selalu seperti ini. Kedua orangtuaku sibuk dengan urusan pekerjaannya masing masing. Nenekku sibuk menceritakan kisah pada Anton di kamarnya. Om dan tanteku entah sedang apa mereka di kamarnya.
Aku tak ingin mengganggu semua orang. Aku diam di meja makan. Menanti ada yang menepuk pundakku dan bertanya "ada apa"
Itu hanya imajinasi. Sekarang, siapa yang peduli dengan aku. Aku sudah terbiasa. Sangat. Aku berjalan menuju kamar. Mencari kesibukan lain. Mencari cara menahan rasa sesak selama ini. Aku tahu
Aku sudah terbiasa dengan hal ini. Aku sudah terbiasa dengan keadaan sepi dan tatapan tajam nenek.
Kamar anton berada persis di depan kamarku. Sekarang aku berada di ambang pintu kamarku. Terdengar suara tawa nenek saat bercerita dengan anton. Hal yang langkah.
Ku pejamkan mataku sejenak. Berusaha memendam rasa sakit lebih dalam. Aku masuk ke dalam kamar. Ku tutup pintu itu rapat rapat.
Aku melakukan rutinitas ku. Duduk di balik pintu kamar sambil memeluk kedua lututku dan menenggelamkan wajahku. Aku menangis.
Ini benar benar rutinitasku. Hampir selama 2 tahun aku seperti ini. Berusaha memendam perasaan apapun itu sendiri dan menampakkan bahwa aku baik baik saja.
Kalian bisa bilang aku ini munafik. Terserah apa itu istilahnya.
Rutinitas ku. Menangis di balik pintu kamar. Berpindah ke atas kasur lalu melanjutkan tangisku hingga aku tertidur dan terbangun.
KAMU SEDANG MEMBACA
when i was child
Teen FictionAku bukan tinggal di dalam lingkup keluargaku sendiri. Aku seakan asing dengan keluargaku. Bantu aku mengingat apa yang terjadi. Berpikir positif tidak selamanya membantu membongkar teka teki yang diciptakan. Tidak seluruh isi cerita ini tentang k...