Chapter 9- Sekali Lagi Namanya Takdir

185 10 0
                                    

Bagaimana cara melupakan perasaan yang terlanjur mengakar?

...

Minggu pukul dua siang. Dipa sudah bersiap dengan peralatan perangnya hari ini. Kaos jersey kesayangannya dan sepatu futsal. Seperti menjadi agenda rutin setiap dua bulan sekali, Dipa dan teman-temannya akan bertanding futsal. Kali ini pertandingan akan dilaksanakan di Soccer, tempat futsal yang tidak jauh dari kampusnya.

Pertandingan futsal semacam ini sudah tidak asing lagi bagi setiap jurusan di kampusnya. Beberapa kali pertandingan futsal justru diadakan dengan perlombaan yang bagi pemenang jelas akan mendapatkan hadiah. Namun juga ada yang melakukan pertandingan demi bersenang-senang dan untuk ajang mengakrabkan diri sesama teman ataupun dengan beda angkatan.

Siang ini, team futsal Dipa akan bertanding dengan team futsal adik tingkatnya semester dua. Tujuannya hanya untuk mengakrabkan diri, supaya adik tingkat mengenal kakak tingkat dan sebaliknya. Menjalin silahturahmi dan kekerabatan antar tingkat jurusan itu penting. Bukan perlombaan dengan hadiah besar, hanya tim yang kalah berkesempatan untuk mentraktir tim menang di sebuah tempat makan yang sudah tidak asing lagi yaitu Waroeng stik. Tempat makan yang berjarak sekitar 1,5 km dari kampusnya.

Biasanya kalau cowok-cowok tanding futsal, anak-anak cewek angkatan juga ikutan melihat untuk mendukung. Beberapa pemain yang punya pacar juga mengajak pacarnya untuk menyemangati. Terkhusus Dipa tidak perlu membawa cewek, sudah banyak yang datang untuk mendukungnya tanpa diminta. Lihat saja para cewek-cewek yang sudah duduk di pinggir lapangan sambil meneriakan namanya. Dipa heran karena dia tahu beberapa cewek bukan berasal dari kelasnya, ada yang dari jurusan lain juga.

Astaga, darimana mereka tahu gue tanding coba?

“Dip, itu ceweknya Rio lirik-lirik lo mulu.” Tobias berbisik di samping Dipa yang sedang menalikan tali sepatu futsalnya. Dipa menegakan tubuhnya dan menatap dimana Rio kini sedang berdiri dengan pacarnya.
Well, pacarnya memang sedang menatap ke arah Dipa.

Resiko jadi cogan.

“Biarin aja yang penting enggak gue ladenin.”

Dipa sudah kebal dengan para gadis yang memandanginya. Mulai dari yang masih lajang sampai yang sudah punya pacar memang masih melirik-lirik dirinya. Selama ini Dipa hanya membiarkan tanpa mau menahggapi.

Ya itung-itung amal gue biarin aja mereka natap wajah ganteng gue. Kurang baik apa coba?

“Ya jangan sampailah goblok, bisa-bisa lo diamuk Rio.” Tobias melemparnya dengan handuk.

Sialan!

“Ya bukan salah gue juga sih, cewek yang punya pacar tapi masih ganjen sama cowok lain kok dipertahanin. Kalau gue ya, putusin aja.”

Tobias memukul bahunya, “Lo juga sih, punya wajah kenapa enggak jelek aja coba? Lo tahu sendiri makhluk yang disebut cewek itu enggak bisa kalau lihat cowok ganteng. Otomatis ya matanya bakal mengikuti. Enggak salah juga sih kan cowok juga gitu.”

Dipa mengangkat bahunya tak acuh, “Sorry bro kalau lo envy, gue emang diciptakan Tuhan dengan senyuman.”

“Taik!”

Dipa terkekeh.

“Yang masalah terakhir, gue setuju. Tapi cewek baik-baik enggak akan ganjen ke cowok lain mereka cuma bakal lihatin dan udah.”

Kemudian selama dua kali 45 menit ke depan Dipa terlihat menikmati permainannya. Dia bisa melupakan penolakan tak kasat mata dari Mala kemaren sore. Toh, Dipa tidak perlu merisaukan hal tersebut. Dia juga belum menyukai gadis itu, hanya tertarik. Tertarik jelas masih jauh dari rasa sayang.

Bagi Dipa, jatuh cinta tidak semudah membalikan telapak tangan. Tidak semudah hanya dengan dua kali pertemuan. Dipa tidak pernah menyepelekan sebuah perasaan. Dipa memang ganteng tapi bukan berarti dia memanfaatkan kegantengannya untuk bergonta ganti pacar. Percaya atau tidak, seumur hidup Dipa hanya hanya pernah jatuh cinta dua kali. Satu kali di SMP dan satu kali di SMA.
Kisah cinta Dipa tidak bisa dikatakan bahagia. Dipa pernah merasakan sakitnya jatuh cinta hingga sekarang. Ketika Dipa menyukai seorang gadis yang ternyata tidak ditakdirkan untuknya. Semuanya terasa sulit dan menyakitkan. Maka Dipa memilih untuk pergi melupakan meskipun dia tidak sanggup. Dia berusaha namun dia masih bingung bagaimana cara melupakan perasaan yang terlanjur mengakar.

Karena ketika banyak orang menasehatinya untuk move on, melupakan gadis itu. Dipa tidak bisa karena semuanya tidak semudah apa yang mereka katakan. Mereka hanya bisa menasehatinya dan berharap yang terbaik untuk Dipa.

‘Gue akan move on.’

Kata-kata yang sering Dipa katakan kepada setiap orang yang menyemangatinya.

‘Tapi tidak semudah itu untuk melupakannya.’

Itu kelanjutan dari ucapan Dipa yang tidak pernah mereka dengar.

“Gue udah yakin kalau kita bakal menang, yeay, makan geratis, rejekinya anak kos.” Tobias berseru girang.

Sama seperti anak kos yang lain, mereka juga bahagia ketika ada makanan gratis di hadapan mata. Anak kos selalu kekurangan duit bulanan. Belum jatuh tempo pegiriman dari orangtua, duitnya keburu habis duluan. Akhirnya, akhir bulan selalu penuh penderitaan. Makan hanya dua kali dengan ditemani mie instan. Berbeda dengan awal bulan yang masih makmur-makmurnya, makan bisa tiga kali di tempat makan tentunya, tidak hanya sekedar agkringan yang menjual nasi kucing. Asupan gizi masih terjaga dengan seimbang. Diakhir bulan boro-boro memikirkan asupan gizi, yang penting perut kenyang hidup tenang.

Kami bersama-sama menuju waroeng stik, Dipa berboncengan dengan Tobias. Mereka tadi emang berangkat bersama karena mereka juga kos di tempat yang sama. Tempat Kos yang mereka tempati merupakan rumah yang tidak terlalu besar. Tapi cukup untuk menampung lima orang anak, Dipa, Tobias dan tiga teman Dipa yang lain ada Harry, Sultan, Ringgo. Tapi memang tiga temannya yang lain berada di Univ yang berbeda dengan Dipa dan Tobias sehingga mereka jarang bersama kecuali di rumah dan di beberapa tempat dimana mereka sering menghabiskan waktu bersama di luar kegiatan kampus seperti nongkrong di starbuck atau makan di Mcd. Tentunya juga mereka lakukan hanya di awal bulan.

Baru saja Dipa masuk ke dalam waroeng stik, matanya langsung menangkap tubuh berisi milik cewek yang sedang Dipa dekati. Cewek judes yang membuat Dipa tertarik.

“Tob?” Dipa memanggil Tobias yang masih berjalan di belakangnya. Dipa berhenti berjalan di ambang jalan hanya untuk memperhatikan Mala yang tengah tertawa lepas bersama dengan temannya.

“Hm?” Karena Dipa berhenti di tengah jalan, Tobias jadi ikut berhenti.

“Sekali lagi namanya takdir.”

“Apaansih, lo ngomong apa coba?”

Tobias tidak paham dengan apa yang Dipa katakan. Dia justru kesal dengan Dipa yang berhenti sembarangan. Waroeng Steak sedang ramai, berhenti seperti ini akan menganggu orang yang tengah berjalan terlebih bagi para pelayan yang sedang mengantar makanan. Lebih lama lagi, mereka pasti akan diteriaki orang.

“Itu Mala diujung.”

“Oh, itu cewek yang kita ketemu di Kamudakan?” Tobias melihat apa yang dilihat Dipa.

Dipa mengangguk.

“Lihat senyumnya kok gue adem banget ya rasanya.”

Tobias mengerutkan keningnya, kemudian menatap Dipa dengan heran.

“Lo  sehatkan?”

Dipa bergeming.

“Enggak cantik sih, tapi manis banget.”

MaladipaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang