2. Curi-curi Pandang

48 7 1
                                    

Malamnya Nadi disibukkan dengan tugas Fisika yang katanya harus sudah dikumpulkan besok pagi sebelum pelajaran pertama di meja Pak Jamal. Berita tersebut ia dapatkan dari grup kelas yang dikabarkan langsung oleh kepala suku kelasnya di Sepuluh Satu.

Selalu begitu, setiap tugas dari Pak Jamal harus dikumpulkan keesokan harinya walaupun sedang tidak ada mata pelajaran. Ini merupakan hal yang baru bagi Nadia. Kabarnya ia baru bersekolah di SMA Pelita Murni selama kurang lebih tiga minggu terakhir. Ia dimutasi ke ibukota karena tuntutan pekerjaan ibunya.

Smartphone yang terus bergetar memaksa Nadi untuk segera mengeceknya dan sejenak menghentikan aktivitas bolak-balik buku catatan Fisika yang sumpah demi apapun engga ada yang dia mengerti sama sekali!

Obrolan-obrolan dari grup kelas yang isinya hanya gerutuan bahkan tak jarang berisi umpatan membuat Nadi geleng-geleng kepala. Sampai akhirnya, pawang Fisika sekaligus teman sebangkunya—Lusiana—berbaik hati mengirimkan semua jawaban tanpa ada yang kosong satu pun. Semua anggota grup langsung mengucap syukur sekaligus berterima kasih pada Lusi yang telah menyelamatkannya dari coretan bolpen merah yang tak segan-segan akan diberikan Pak Jamal kepada muridnya yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Bolpen merah yang bisa menjadi ancaman ketidaknaikkan kelas pada saat menjelang pembagian raport.

Grup kelas langsung senyap seketika, mungkin karena mereka sibuk menyalin jawaban yang sudah dibagikan di grup kelas sebanyak tujuh belas gambar. Nadia juga kembali melanjutkan menulis jawaban demi jawaban pada kertas putih kosong ukuran folio yang jumlahnya melebihi naskah pidato kebanyakan. Tapi untungnya, Nadi tak perlu berpikir keras sampai timbul kerutan diwajah akibat soal-soal nalar Fisika.

Setidaknya sedikit lebih lega. Cuma tinggal nyalin, pikirnya.

Notifikasi khusus dari aplikasi WhatsApp menghentikan sejenak aktivitas Nadia dan kemudian menggerakkan jarinya membaca pesan singkat yang ternyata pesan pertama dari Radhit setelah tiga minggu lamanya menjabat sebagai teman sekelas yang sore tadi baru saja mengantarnya pulang. Tumben?

Radhit Pra:
Sudah?

Sudah? Apanya?. Singkat namun terkesan sangat ambigu. Mengingat sejenak, Radhit ini merupakan siswa yang nakal dan urakan, kata sebagian besar warga sekolah. Sebelumnya, sih, Nadi juga diceritakan Lusi mengenai hal tersebut. Hobinya tawuran, entah dengan teman satu sekolah atau dengan pelajar dari sekolah lain yang setara nakalnya. Bahkan awal masuk sekolah dulu, katanya ia pernah berurusan langsung dengan wakil kepala sekolah karena terlambat masuk sekolah terus coba-coba loncat pagar, tapi aksinya gagal karena ketahuan guru piket dan kasusnya berakhir di ruang Bimbingan Konseling.

Kata Lusi, sih, "Radhit itu bandel-bandel manja gitu, Nad. Kayak lagu Siti Badriah yang 'syantik' gitu, lah."

Sangat disayangkan, padahal jika dilihat dengan saksama, Radhit ini masuk dalam kategori cowok paling ganteng plus keren. Terbukti, ia menjadi idaman sebagian besar cewek yang memiliki ketenaran tingkat tinggi di sekolah. Lesung pipit yang sedikit tampak, menambah kesan manis pada wajah lelaki yang memiliki rahang tegas itu.

Jujur saja, awal daftar pindah sekolah hingga akhirnya menjadi murid baru, Nadia sempat terkagum-kagum dengan Radhit bahkan pernah terselip do'a semoga menjadi teman sekelasnya nanti. Sebelum akhirnya kekagumannya sedikit pudar karena sikap Radhit yang terkadang menentang aturan sekolah.

Sejak mengetahui Radhit suka bikin gaduh, Nadia akhirnya memilih menghindar. Bukan apa, takut terpengaruh. Teman menjadi kunci utama dalam hal mempengaruhi, kan?

Terlebih, Nadia merupakan tipikal siswi yang ingin dikenal guru dari sisi yang mengarah pada prestasinya, bukan karena sering keluar-masuk ruang BK dengan jejak kenakalan.

Guess Who?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang