3. Terhentak Resah

31 4 0
                                    

Katanya hari minggu adalah hari yang pas untuk bermalas-malasan dengan bantal dan guling setelah enam hari lamanya disibukkan dengan segala aktivitas di sekolah. Namun, tidak untuk minggu ini karena Nadia disibukkan dengan segala persiapan untuk bahan presentasi Sosiologi senin besok. Mulai dari mempersiapkan materi dalam bentuk makalah hingga kemudian diaplikasikan dalam power point. Ini bukan tugas individu, melainkan tugas kelompok, per kelompok beranggotakan empat orang.

Baru Lusi yang datang, sedangkan Anggi dan Mila entah nyangkut dimana. Padahal sesuai dengan kesepakatan semalam, hari ini mereka akan menyelesaikan tugas di rumah Nadi pukul sepuluh pagi. Tapi hingga pukul sepuluh lewat lima puluh menit pun keduanya belum juga menampakkan batang hidung.

“Kita kerja duluan aja dulu. Kalau nunggu Anggi kapan kelarnya? Kebiasaan ngaret emang tuh anak.” ucap Lusi yang sudah bosan menunggu. Apalagi nunggu hal yang tidak pasti.

Kadang kita punya teman yang jika janjian suka melenceng dari waktu yang sudah ditentukan. Sepakatnya jam sepuluh, tapi endingnya datang satu atau dua jam setelahnya. Memang manusia ditakdirkan untuk menunggu.

Dua menit setelahnya, suara motor yang terparkir disusul suara toa milik Anggi yang meminta maaf karena tak menepati janjinya untuk tidak telat mengganggu ketenangan Nadia dan Lusi yang sibuk berkutat dengan laptop masing-masing.

Akhirnya datang juga, batin Nadia berkata lega.

“Habis dari mana, sih? Kita udah hampir sejam nungguin kalian.” Lusi bersuara dengan nada tidak santai.

“Iya, maap. Barusan gue sama Mila habis liat Radhit berantem lagi sama Kak Angga! Gila parahhh.” Anggi yang baru saja datang langsung bercerita dengan suara yang menggebu-gebu—seolah hal yang dilihatnya itu adalah movie keluaran terbaru yang diperanmainkan oleh tokoh idolanya.

Nadi yang juga dilanda rasa ingin tahu langsung memutar badan seratus delapan puluh derajat menghadap Anggi. Anggi yang tahu jika kedua teman sekelasnya itu penasaran dengan kelanjutan ceritanya, langsung menceritakan kronologi sebenarnya sebelum tumpah darah itu terjadi. 

“Jadi awalnya, tuh, Radhit sempet ada di depan gue pas di lampu merah Jalan Anggrek, terus pas lampu hijau nyala dia langsung buru-buru tancap gas dengan kecepatan tinggi gitu. Gue yang kepo sama urusan cowok, langsung deh ngebut ngikutin Radhit. Eh, engga taunya dia berhenti di gang kecil yang sepi deket komplek sini.

"Ternyata di sana sudah ada Kak Angga dengan komplotan-komplotannya yang seperti sudah menunggu. Habis itu, Radhit yang datengnya hanya sendirian babak belur karena tonjokan anggota gengnya Kak Angga yang kebanyakan.”

“Terus engga kalian tolongin?” tanya Nadi santai sedetik kemudian saat Anggi baru saja mengatupkan mulutnya. Padahal ada nada panik pada pertanyaan yang ia lontarkan pada Anggi barusan. Menerka-nerka kejadian apa yang terjadi setelah Anggi dan Mila pergi dari tempat yang baru saja mereka ceritakan.

“Ya engga, lah, gue takut ikut-ikutan jadi sasaran. Anggota gengnya Kak Angga tadi juga banyak, belasan orang lah kira-kira, ada Kak Okky juga di sana. Lagipula anak badung kek Radhit siapa juga, sih, yang mau nolongin?” tutur Anggi sewot sambil mengipas mukanya yang bercucuran keringat dengan jari-jari tangannya.

Kak Okky? Nadia ingat, orang yang sepulang sekolah kemarin berantem sama Radhit ternyata temannya Kak Angga.

“Oh, berarti yang kemarin berantem sama Radhit di depan gerbang sekolah, itu temennya Kak Angga?” tanya Nadia yang langsung dibalas anggukan kepala ketiga teman sekelasnya.

“Iya. Gue denger-denger juga, sih, katanya Kak Okky ikut-ikutan engga terima waktu Radhit nonjok dada Kak Angga tiga bulan yang lalu. Ada deh masalah yang lo engga tau. Sampai-sampai ya, Nad, waktu itu kepala sekolah sendiri langsung turun tangan, kapan-kapan deh gue ceritain.” imbuh Mila menambahi.

Mila dan Anggi memang jagonya dalam menggali gosip. Berita yang baru terjadi dua menit pun dalam sekejap mereka langsung mengetahuinya. Semua karena teman keduanya yang jumlahnya banyak. Tidak heran, karena Mila dan Anggi sangat friendly dan nyambung.

“Kalian berdua parah banget. Masa ada temen yang lagi kesusahan engga kalian tolongin.”

“Duh. Engga kepikiran buat nolongin, Nad.” Mila menatap Nadia dengan tatapan penuh selidik, “Lo kenapa jadi panik gini? Lo suka ya sama Rad—?”

Mampus.

Nadia mengalihkan pandangannya pada Lusi yang sedari tadi tidak mengeluarkan suara sebelum akhirnya berkata, “Tadi tugasnya sampai mana, Lus?”

*****

Sepulangnya Lusi, Mila, dan Anggi, Nadia tak henti-hentinya memprediksi bagaimana keadaan Radhit yang kata Anggi tadi babak belur karena kalah saing dengan banyaknya pasukan dan pukulan yang dilayangkan teman-teman Angga. Nadia juga mengira-ngira, apa penyebab perkelahian di antara keduanya?

Tidak akan ada asap tanpa ada api. Berarti, tidak akan ada perkelahian tanpa masalah, bukan?

Apa karena masalah perkelahiannya dulu dan dendam Angga yang belum terbalaskan? Atau mungkin timbul masalah baru?

Lusi juga sebelumnya juga pernah sedikit bercerita masalah antara Radhit dan Kak Angga yang katanya kala itu berebut satu cewek.

"Jadi Radhit, tuh, pernah deket gitu lah sama cewek. Anak SMA Bangsa yang sekolahnya di depan Swalayan itu, loh, Nad." katanya kala itu.

Nadia tahu sekolahnya, tapi tidak tahu cewek yang sedang diceritakan Lusi.

Nadia Ul:
Tadi Anggi ngeliat lo dikeroyok temen-temennya Kak Angga. Katanya lo babak belur juga, sekarang udah engga pa-pa?

Ketik Nadi akhirnya karena jantungnya yang sedari tadi terhentak resah. Takut-takut yang dikirimi pesan mendapati luka serius di bagian-bagian tubuhnya.

Satu dua tiga menit berlalu, tapi hanya ada tanda ceklis satu yang berada di samping kiri pesan kirimannya. Artinya, Radhit sedang tidak online.

Nadia nampak menghela napas.

“Kalau nanya Anggi, ntar dia mikir yang macem-macem lagi.”

Duh.

“Apa tanya Lusi, aja, ya? Eh, tapi Lusi mana tau?”

Nadia jadi bingung sendiri. Mengira-ngira juga tidak akan mengarah pada kenyataan. Pasti nanti hasilnya bersifat spekulatif.

“Lagipula ngapain juga ya gue cemas gini?” Nadia bermonolog. Menepuk pelan dahinya dengan tangannya karena bersikap tidak biasa hari ini.

Entah sebatas rasa khawatir atau mungkin perasaan ini muncul karena ingin membalas kebaikan Radhit yang telah berbaik hati mengantarnya pulang tempo lalu.

Hingga menit ke tiga puluh pun, tidak ada balasan juga. Hanya ada pesan grup dari ketua kelas yang mengingatkan anak buahnya agar besok membawa topi karena akan ada upacara.

Memasuki menit ke empat puluh lima, yang tadinya hanya ada tanda ceklis, sekarang berubah menjadi double ceklis yang kemudian berganti warna biru. Ada rasa senang sekaligus kesal. Senang karena artinya Radhit sudah membaca pesan singkatnya juga kesal karena Radhit tidak juga mengetikkan balasan pada ruang obrolan keduanya.
Yang lebih kesalnya lagi, fakta bahwa Radhit hanya membacanya tapi tak membalasnya.

Last seen today at 14.13 p.m

****

Door, kaget! Astagfirullah.
Ketigaaaa, ehe. Semoga sukaaa. xo.

Guess Who?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang