Hei!

8.3K 753 103
                                    

“James! Come on,” Mario tak bermaksud bersikap manja di umurnya yang tak muda. Namun James sungguh keterlaluan. Ia tak memakai sepatu melainkan hanya sandal asal pakai. Ia juga tak memakai jaket seperti yang dipakai James. Sungguh, cuaca malam ini dingin! Kasihanilah tubuh kurusnya!

Mereka bahkan hanya berkeliling komplek dengan tujuan tidak jelas. Apakah mereka ini sedang menjaga keamanan komplek?! Serius, ya! Mario menghentak kaki sebal. Pegal juga setelah satu jam berjalan tanpa jeda. Mungkin karena ia berjalan sambil menahan amarah. memikirkan maksud dan tujuan tanpa ada arti ini.

“Jangan mengeluh, ini juga sebagai bentuk kesabaran. Kita bukan hanya harus berbuat kebaikan, namun juga menjaga sabar, tenangkan pikiran.” James melirik tembok ujung salah satu rumah, lampu kuning di sudut gang menampilkan sebuah pemandangan. Seekor kucing yang tengah mengaum seolah sedang kelaparan.

“Aku hanya membawa roti, apa kucing itu mau makan?” rotinya bekas lagi. Ini sebenarnya Janice yang makan, namun ia merebut dari tangan Janice saat sang Istri sibuk makan bukannya mendengar ketika ia bicara. Saat ia telah berusaha menjelaskan tentang subur dalam waktu sebulan dan semua karma baik yang harus ia lakukan, sambil berjalan menuju rumah Mario-Rosa yang hanya terhalang satu rumah saja.

“Entahlah, coba saja,” Mario memutuskan mengambil langkah lebih dulu, mendekat pada si kucing yang sepertinya bukan hanya sedang lapar, namun juga kedinginan. Lihat saja bulunya yang basah karena kehujanan.

“Buka bajumu Mar,” James menepuk lengan Mario, menyuruh sang Adik melepas lapisan atas yang jadi satu-satunya pakaian ia bertahan di cuaca lembab malam ini.

“James! Kenapa harus aku?! Bukankah kau memakai pakaian lebih tebal?” sialan. Mario mengatup mata sambil menghela napas tak percaya. James memang bisa setega itu.

“Aku sedang pilek, itu karena kau membuka pintu terlalu lama, jadi apa kau mau aku bertambah sakit karena harus melepas jaketku?”

“Jadi kau akan membiarkan aku sakit?!”

“Kita bisa sakit bersama, begitulah keluarga.” James kembali menepuk lengan Mario dengan ekspresi polos, menarik ujung kain agar Mario segera lepas.

“James!” Ya Tuhan, apa James mabuk jus buah alpukat? Mario tahu jika James sedang keranjingan mengkosumsi buah itu.

“Cepat lepaskan saja, Mario.”
Ingin marah namun tidak bisa. Mengalah pada yang tua rasanya bakal selalu jadi pilihan Mario. James kadangkala Bossy. Seperti peran tiap hari yang selalu ditampilkan di kantor, James seorang direktur perusahaan di bidang musik paling berpengaruh. Rosa, sang Istri juga bernaung pada label musiknya. Ia dan Rosa bertemu hingga berjodoh berkat James.

“Baiklah, Bapak direktur!” Mario melepas kaos tipis itu untuk diberikan pada sang Kakak. Ia mendekap tubuh dengan kedua tangan. Dingin menusuk sampai tulang belakang, lalu memperhatikan James yang menggendong si kucing tanpa pemilik untuk diselimuti dengan kaos hitam miliknya.

“Kau akan membawa kucing ini pulang bersama kita?”

“Iya, untuk saat ini. Namun aku bisa memberikannya pada Dokter Anti, dia pasti bisa membantu mencarikan yang ingin mengasuh. Kita tak bakal bisa mengasuh kucing, karena Janice dan Rosa sedang program kehamilan. Mereka tidak boleh dekat-dekat dengan kucing saat sudah hamil.” James menyuapkan Roti isi daging ke mulut si kucing, yang ternyata dimakan dengan antusias, mengeong tak kalah nikmat.

“Lucu,” Mario dan James merespon sama. Kucingnya sangat lucu, warna putih corak abu-abu pada bagian perutnya sangat cantik. Apalagi matanya yang memancarkan sebuah keinginan belas kasih, polos dan minta dicintai.

Sementara itu, si Istri yang ditinggal ...

“Siapa yang bertamu?” Rosa mendekap tubuh hangat yang baru saja masuk ke dalam selimut. Enggan membuka mata hanya karena kantuk masih terasa berlebih.

“Saya ...” Janice menjawab dengan nada sangar, melirik gahar, lalu mengeong bagai kucing muka macan.
“Hei!!!” Rosa berteriak, reflek menghindar hingga jatuh terjungkal.

~~¤~~

“Seriusan, Janice. Apa kau harus masuk ke dalam kamar dan satu selimut denganku?” Rosa seolah telah berselingkuh. Ia ngeri sendiri ketika mengingat adegan bukan peluk mesra Janice yang ia pikir adalah tubuh Suaminya sendiri kembali terbayang.
Ia menghela napas ketika Janice malah sibuk makan. Mereka memang sedang ada di dapur, karena Rosa tidak ingin berada satu kamar dengan orang lain kecuali Suami. Terlebih kamar utama yang digunakan adalah tempat melakukan segala aktifitas intim, jadi mana mungkin Rosa akan membiarkan Janice tertidur di kasur mereka.

Jadi sebagai solusi lain, Rosa sudah menyuruh Janice untuk tidur di kamar berbeda jika mengantuk, namun di sinilah ia melihat Janice yang duduk tenang di meja makan, sambil menyantap kue yang wanita itu ambil dari dalam kulkas.

Kenapa dia kelaparan malam-malam begini? Apa James tidak memberi Istrinya makan? Ayolah James adalah direktur utama label musik terkenal. Rosa saja bekerja di bawah naungan label musiknya.

“Janice,” Rosa memanggil, lalu lepaslah perhatian wanita itu pada makanannya.

“James akan kembali, aku tidak menginap. Aku hanya ingin jahil saja padamu,” Janice tersenyum lebar dengan gigi terselip krim kue yang dimakan.

Rosa menggeleng, ia berjalan memutar meja, mengambil gelas dalam kabinet, lalu menuangkan air hangat dari dispenser, untuk kemudian diberikan pada Janice.

“Terima kasih,” Janice tersenyum tanpa melirik, menerima gelas minum dari Rosa lalu menenggaknya perlahan.

“Kuenya enak, beli di mana,” Janice membawa piring bekas makan serta gelas yang dipakai, ia mendekati tempat cucian piring lalu membersihkan apa yang telah ia kotori.

“Mario yang beli, aku tidak tahu dia beli di mana,” Rosa memutuskan duduk di meja makan, memperhatikan Janice yang kini selesai mencuci piring.

“Mario, ah,” Janice mengangguk kepala, mengelap tangannya yang basah, lalu mengambil duduk di sebelah Rosa.

“Kau tahu?”

“Tidak.”

“Mario sebetulnya tipe idealku,” Janice bertopang dagu, tersenyum manis seolah perkataannya bukan apa-apa.
“Jane!” tahu tidak sih, Rosa itu bisa mudah cemburu.

“Dia tinggi dan baik, kita juga punya karakter yang hampir saja. Aku langsung cocok dengannya ketika kita bekerja—“

“Jane!” Rosa hampir membentak, kesal tiba-tiba mendera. Jadi Janice serius? Bukan asal bicara bercanda?

“Namun James datang mendekat, bertingkah romantis dan memberikan banyak hal. Kau tahu? Aku awalnya tidak suka dengan James, aku bahkan mau pacaran dengan dia karena James bagai Bank berjalan, dia punya banyak uang—“

“Janice!” Ya Tuhan! Janice ini kerasukan roh apa, sih? Sampai bisa mengatakan hal ini?! Dia tidak sedang sakau, ‘kan?!

“Tapi lama kelamaan aku mulai luluh, melupakan Mario, lalu mulai jatuh cinta dengan James.” Janice tersenyum sambil mengerling pada Rosa yang tengah mangap-melotot tak menyangka.

“Kau sedang tidak bergurau, ‘kan, Jane?”

“Aku sudah memendamnya cukup lama, awalnya aku tidak ingin mengungkapkan semua hal ini. Terlebih aku sudah jatuh hati dengan James, dan sudah menganggap Mario sebagai Adik sendiri. Namun rasanya tak apa jika aku mengatakan, lagipula semuanya sudah bahagia masing-masing.”

“Demi Tuhan Jane, kau dan Mario kerja satu Kantor. Setiap hari kalian bertemu.” Kalau sampai Mario berpaling darinya bagaimana? Ah, Rosa jadi ingin menangis. Padahal beberapa jam yang lalu mereka tengah asyik membicarakan soal anak.

“Ah, aku jadi menyesal telah mengatakannya. Maaf, Rosa, kau tidak usah serius begitu. Perasaanku sudah netral dengan Mario, aku menyayangi Mario sebagai Adikku. Aku hanya ... suka dengan tinggi badannya.” Janice nyengir polos, yang membuat Rosa tak merasa membaik.

“Jane!”

“Baiklah, aku diam,” Janice terkikik bahagia melihat raut wajah Rosa yang ditekuk sebal, lihat pipi tupainya itu, pantas saja Mario sangat mencintai Rosa. Dia memang punya banyak pesona.

Baby MaybeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang