Sesuai janji aye.. apdet minggu... ihiy....
Gay back to Normal Part 35 - Bag~2
Hari ini adalah tepat tujuh hari meninggalnya Ayah. Aku dan Dira sedang dalam perjalanan menuju Jogja. Dari bandara, kami langsung menuju makam tempat ayah di kuburkan.
Dira memintaku agar menunggunya di mobil saja, dia ingin waktu sendiri berbicara dengan ayahnya. Tapi aku tak bisa, aku tetap mengikutinya, setelah Dira sudah agak jauh berjalan. Ada jarak 50 meter dari tempatku berdiri.
Dira sudah duduk di depan makam. Dira mulai tersenyum dan berbicara sendiri di depan makam, kemudian berganti membuka buku kecil, dan mulai berdoa. Setengah jam berlalu, kulihat kepala Dira yang merunduk. Bahunya kian lama bergetar.
Dira menangis. Iya, Dira menagis.
Ada perasaan yang mencelos dalam relung dada ini melihat pemandangan ini. Seperti ada yang menusukan timah panas di dadaku. Kaki kananku sudah selangkah maju, tapi ego yang memenangkan pikiranku. Aku tidak mungkin berlari mendekatinya dan menariknya dalam pelukanku sekarang juga walau hatiku sangat ingin.
Setelah hampir satu jam, Dira beranjak berdiri, memandang sebentar ke arah nisan ayahnya, barulah Dira pergi. Akupun segera beranjak dari tempat itu.
***
"Ibu," panggil Dira saat keluar dari taksi. Ibu mertuaku yang sedang duduk di teras rumah langsung menengok ke arah kami.
"Assalamualaikum," Dira mengucapkan salam sambil mengukir senyum.
"Wa'alaikumsalam," seru Ibu riang. "Woalah Dira." Dira segera menghampirinya, mencium tangannya kemudian memeluk Ibunya erat selama beberapa menit. Pelukannya merenggang, Ibu merangkup kedua pipi Dira. Matanya berkaca-kaca saat memandang Dira. "Alhamdulilah ndok, kamu wis sehat," ujarnya lega. Kemudian Ibu mencium pipi Dira bergantian lalu keningnya. Dira mengangguk, sambil tersenyum.
Bahagia melihat pemandangan ini, terlebih melihat senyum Dira yang muncul kembali.
Ibu menoleh ke arahku, kemudian tersenyum. Akupun menghampiri, mencium puncuk tangannya. "Maaf bu, baru bisa ke sini hari ini, Dira baru dapet ijin dokter hari ini," ucapku sambil tersenyum. "Ndak papa, nak. Ibu sudah senang liat kalian berdua sehat, apalagi datang ke sini."
"Ayo masuk," ajaknya sambil menggandeng Dira.
***
Rumah ini tidak berubah, masih sama saat aku terakhir kemari, tapi suasananya agak ramai--terutama di dapur--ada beberapa saudara perempuan Dira yang sedang sibuk menyiapkan beberapa masakan untuk tahlilan tujuh hari nanti malam.
Ibu mengantarkan kami ke salah satu kamar di rumah ini--kebetulan kamar yang sama saat malam pertama kami. "Istirahat dulu, Arya, Dira, kalian pasti lelah." Aku meletakan koper kecil yang berisi bajuku dan Dira di sudut ruangan.
"Enggak kok bu, kan kita naik pesawat, masa capek sih." Kali ini suara Dira berubah, terdengar manja, aku menengok ke arah mereka, dan barulah sadar kalau Dira masih merangkul tangan Ibunya.
"Kamu baru sembuh, Dira."
"Dira sehat kok, Bu."
"Dasar ngeyel anak ini," ujar ibu dengan tersenyum geli sambil mencubit pipi Dira.
"Awh," Dira memasang wajah berpura-pura sakit sebelum tersenyum. "Eh, mas Dian sama mba Maya kemana, bu? Terus Satya juga?"
"Maya ada di kamarnya, dari kemarin pusing dan muntah-muntah, mba-mu itu lagi ngisi lagi sepertinya." Senyumnya menghilang seketika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gay Back To Normal
Literatura KobiecaApa jadinya klo seorang gay, back to normal... meski melalui proses yang sulit seorang Andira Zahrani merubah hidup seorang Arya Difta Fahriza menjadi lebih....