Di malam yang semakin larut itu, tidak semua orang mampu bersantai dan bercengkrama dengan bantal dan ranjangnya.
Seperti yang satu ini. Sebuah mobil yang masih melaju di tengah keheningan malam yang hanya ditemani hujan. Gelap mendominasi. Hanya sesekali ditemani kilatan cahaya di langit dan gerimis yang masih tersisa.
Cerutu itu baru saja dipadamkan. Dan dibuang oleh tangan keriput itu. tidak sepenuhnya keriput. Namun urat terlihat di tangannya yang kekar. Seorang pria masih menyibukan dirinya mencari nafkah. Cemas masih meliputi hatinya. Sepertinya ia masih kebingungan karena ia belum memenuhi kebutuhannya untuk hari ini. Matanya sibuk mencari orang yang sekiranya bisa membantunya memenuhi pundi-pundi dompetnya.
Hingga di ujung perempatan, ia melihat ada sosok wanita berdiri di ujung.
Tempatnya gelap. Di dekat bangunan halte atau pemberhentian kendaraan. Dan wanita itu hanya terlihat karena sorot lampu kendaraan.
"Taksi.." ujarnya lirih sambil mengangkat tangan kanannya. Dan seolah gayung bersambut, mobil akhirnya menepi.
Pintu terbuka. Tangan pucat itu meraih pintu taksi seraya mendudukan diri di bangku belakang.
"Mau kemana neng?" tanya suara berat sang supir sambil memandang melalui kaca di atas.
"Blok empat jalan cempaka pak." Ujarnya pelan.
Tak banyak bertanya, ia akhirnya kembali melaju.
Suara gerimis masih terdengar. Sepertinya seharian wilayah ini disiram oleh hujan.
"Habis dari mana neng?" tanya sang supir. Berharap pertanyaan itu bisa memecah keheningan dan membuat matanya lebih lama terbuka. Rasanya di usianya kini ia tak bisa terlalu kuat menahan kantuknya.
Namun hening. Entah karena terlalu sepi atau memang sang gadis kelelahan. Yang jelas ia tak sama sekali membuka mulut untuk menjawab pertanyaannya.
Supir itu menggeleng. Sepertinya wanita Ibu kota memang angkuh. Ia kembali mencuri pandang melalui kaca di atas. Memerhatikan penampilan wanita itu.