"Maaf pak, nyawa beliau tidak bisa kami selamatkan.." Ucapan dokter di depan ruangan itu seketika menghancurkan harapan yang sebelumnya yang terpancar di mata beberapa orang yang duduk menunggu.
"Huaaa.... Neneeeekk....." Salah satu dari mereka, seorang bocah laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun itu kemudian menangis. Memeluk satu pria dewasa yang berdiri di sampingnya. Dengan cekatan, ia kemudian memeluk bocah itu. Berusaha menenangkan agar tangisnya tidak pecah semakin keras.
Sementara pria yang lebih tua disampingnya terlihat menutup matanya dengan tangan kanannya. Sepertinya ia sedih namun satu sisi ia juga harus tetap menjaga wibawanya. Mungkin karena jenis kelaminnya dan statusnya sebagai seorang Ayah ditambah usianya juga yang tak mengizinkannya untuk menangis dengan bebas.
"Saya turut berduka cita ya pak.." Dokter itu menunjukan wajahnya yang turut memberikan belasungkawa. Tak lama, ia kembali ke ruangannya meninggalkan satu keluarga yang berduka itu.
"Pa, yang sabar ya.." Sang istri mendekat kemudian memegang bahu suaminya. Berharap pegangan tangannya bisa memberi kekuatan. Beberapa saat mereka hening. Sampai akhirnya suaminya itu tersenyum. memaksakan tegar demi kebaikan bersama.
"Ayo kita pulang. Darren, Willy.." ajaknya pada kedua putranya. Mereka berdua mengangguk. Kemudian mengekor, sambil dipapah oleh Ibunya berjalan beriringan menuju lift di ujung koridor.
***
Dua orang itu sibuk menata bunga bertuliskan "TURUT BERDUKA CITA" yang tertulis lebar selaras dengan karangan bunga yang juga besar.
Beberapa orang mulai berdatangan dengan pakaian serba hitam. Mendatangi jenazah yang sepertinya sedang disiapkan untuk dikebumikan. Beberapa keluarga dan kerabat dekat berkumpul di dekat jenazah. Memanjatkan doa terbaik untuk Nenek, Ibu, Mertua, Saudara mereka yang kini terbaring kaku dan siap dikebumikan. Siap diantarkan kembali kepada Tuhan.
Si bungsu Darren terduduk sambil diam di ujung ruangan. Memilih untuk sedikit terpencil dibanding anggota keluarganya yang lain. Seorang perempuan muda yang sepertinya adalah asisten rumah tangga disana duduk di samping bocah tersebut dan berusaha menghiburnya. Mengalihkan perhatiannya dari kesedihan tersebut.
"Kita ke atas yuk. Main dulu.." ajaknya. Darren awalnya terdiam. Tapi ia kembali mengajaknya. Hingga akhirnya bocah itu mau menganggukan kepalanya. Dengan sabar ia kemudian menuntun dan menggiringnya menjauhi perkumpulan duka tersebut.
Kedua orang berbeda usia itu kini memasuki salah satu kamar. Dari dekorasi dan isinya yang dipenuhi banyak mainan, bisa dipastikan bahwa ruangan ini memang digunakan untuk bermain.
"Darren mau main apa? Sini bibi temenin.." wanita itu menawarkan. Namun bocah itu masih saja terdiam. Entahlah mungkin semangatnya masih belum muncul.
"Atau mau makan roti? Roti keju? Mau ya?"
"Mau..." Dengan lirih ia menjawab. Setidaknya ia kini sudah mau menoleh.