Mengingat sebelas bulan dari detik ini, aku tersenyum miris. Saat itu mereka benar-benar memberiku ruang, membiarkanku menetap dan menjadi salah satu di antara mereka.
Perasaan senang jelas menyambut jiwa yang haus akan perhatian ini. Kasih sayang mereka yang tersirat menuntut hati untuk terbuka sepenuhnya dan membiarkan raga membaur pada apapun rutinitas mereka. Karna ku deklarasikan pada jiwa...Aku mencintai mereka tanpa alasan, mengagumi serta menaruh kepercayaan pada semuanya, mereka ya mereka dalam artian lebih dari satu orang.
Ku ingat sekali, detik-detik kami melakukan hal luar biasa gila bersama-sama. Aku bukan lagi diriku yang dulu, si bocah udik dan tak pernah melanggar peraturan. Cih, aku saja menyesal pernah menjadi sekuper itu, aku menyesal tidak pernah ikut mencicipi dunia luar, aku menyesal pernah menjadi robot orang tuaku. Intinya aku menyesal dengan hidupku yang dulu.
Terkekang, tersembunyi dan terus saja yaa aku masih berpikir kerasukan apa raga ini sampai-sampai aku tahan akan semua ocehan kaum-kaum bolot yang otomatis menjadi pengatur waktuku.
Sungguh rasanya sia-sia waktu hidupku lima belas tahun itu tanpa melakukan aktivitas semenyenangkan yaa dimulai dari balapan liar dari balapan jalanan sampai ke basement mall yang menjulang tinggi, melukis gedung-gedung tua yang kurang belaian dengan semprotan spray paint yang cukup merusak cara kerja mata, mencoreti setiap angkot dengan lukisan 'nakal'yang mengundang syahwat sebelum kami dirukiyah untuk menutupinya dengan stiker angkot haha, serta mencoba permainan iseng semacam billiard hingga berpetualang melihat dunia dengan teropong baruku yang limited edition.
Bayangkan saja, kami menjelajah, kami berpetualang, kami menyisiri sebagian kecil dari dunia ini yang merupakan surga tersembunyi penuh dengan pesona. Sungguh benar-benar surga yang bahkan kameraku saja masih memiliki kesalahan dalam menangkap sepenuhnya pemandangan itu.
Yang saat itu ku pikirkan, aku beruntung mempunyai mata yang merupakan lensa terbaik di dunia ini. Aku beruntung mempunyai mulut yang bisa meneriaki ''Hidup semacam ini yang ku inginkan whuaaaa!" dan gema yang membalas membuatku tersadar telingaku berfungsi dengan baik.
Setiap jejak yang ku tinggalkan, aku tergugah, ku pelototi setiap bayangan hitam yang setia mengikutiku, sungguh ajaib kaki ini. Indera-indera dan anggota tubuh ini cukup berperan dominan dalam memancing rasa syukur ku. Aku tidak akan menyia-nyiakan pemberian Tuhan ini! Aku harus menggunakannya sebaik mungkin untuk hal-hal yang ku gemari!
''Lu gak kangen sama orang tua lu apa?''
Namun pertanyaan itu... Hm, aku sepenuhnya terdiam, bungkam akan semua yang telah terjadi. Salah satu yang ku korbankan, orang tuaku, dan wah! Ajaib saja waktu itu ada yang menanyakanku pertanyaan sakral semacam itu.
Aku bahkan lupa pada keduanya, lupa pada rasa ruang keluarga dengan sisa-sisa tawa berderai yang menghangatkan hati. Lupa pernah menjadi kebanggaan keduanya karena sederetan prestasi yang aku raih. Lupa, lupa, lupa. Yaa benar, aku memang sepelupa itu, karna keluarga baruku sungguh membawaku pada rasa yang begitu ku dambakan, nyaman sekali memang.
Hmm payah, lidah ini bahkan kelu untuk menjawab, aku tak punya kekuatan lagi. Ada rasa aneh di hati, pencampuran rasa rindu yang teramat sangat dan rasa bersalah yang tak kunjung menemui tepi. Isak tangisku yang merangkai simfoni sendu, gaungan suara yang meluluhkan punggung ini untuk bersandar pada tembok. Tembok yang tadi ku semproti, hasil karya imajinasiku enam hari ini yang tak juga selesai-selesai. Belakang bajuku melekat pada cat yang belum mengering, merusak gambaran yang sebenarnya akan menjadi masterpiece tanpa celah.
Orang yang di sana, dia tetap setia menantikan jawabanku, sekalipun sesenggukanku mengotori kemeja lengan panjangnya. Sekalipun tanganku nan belepotan cat ikut memberi warna pada telapak tangannya. Dia juga pelukis, pelukis hebat, dia bahkan lebih baik daripadaku. Kalau saja dia tidak penyuka sesama jenis, aku berani bertaruh sudah ku nyatakan perasaanku padanya sejak lama. Aku mencintainya karna segala tutur kata yang membimbing dan tangannya yang senantiasa terus mengarahkanku. Tapi kata-katanya selanjutnya malam itu, cukup menganggu pikiranku sampai-sampai aku tak mengenal tidur dua hari ke depan.
Dia tidak salah, aku tidak salah. Kami tidak salah. Salahkan saja Tuhan, mengapa Dia menciptakanku dengan rasa ingin tau tinggi yang menjadi pelengkap. Mengapa Tyo mesti merasa bersalah? Ingin ku maki pria itu lalu ku katakan, ''Gua yang pengen goblok!'' Karna sampai sekarang Tyo masih saja mengenggam rasa bersalah di hati. Rasa bersalah telah mengundangku hadir pada komunitas gelapnya, yang mungkin dirasanya adalah tindakan fatal yang cukup menyayat hatinya. Aku tidak bisa menyalahkan bibirku yang menerima undangannya dengan sebegitu mudahnya hanya karna dasar kekepoan yang begitu tinggi.
Dan juga, aku tidak penah sanggup menyalahkan takdir atas sebuah pertemuan membahagiakan itu, jujur saja...aku tak munafik ya. Dulu sekali ku ingat pertemuan lama itu, saat berlangsung seminar trik menguasai dunia tulis menulis yang mengharuskannya menjadi salah satu pembicara. Satyo bukan satrio, nama penanya. Bahkan beberapa karya tulisnya sudah menjadi penyewa terlama dalam rak bukuku, akan setiap katanya membiusku, memabukkan, penggunaan kata yang sederhana tapi menohok.
Salut aku pada bakatnya, kagum aku pada pikatnya. Dia benar-benar menjadi inspirasiku, raganya benar-benar menjadi target pencapaianku. Kami menyukai hal yang sama dan sifat kami juga tak beda jauh. Peka dan peduli pada sekitar. Mungkin itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa aku dan Tyo dipertemukan bahkan menjadi begitu dekat, sangat dekat bahkan melebihi dekatnya urat nadi pada tanganku.
Aku bahkan berterima kasih banyak pada kepalaku yang berdenyut sakit lalu tiba-tiba saja tidak sengaja terhuyung dan jatuh dramatis akibat terserempet motor besarnya.
Terimakasih pada kebetulan itu, norak ya karna aku sudah mengatakan berulang kali bahwa kagumku selalu tertuju padanya dan kala sindiran penuh peduli menjadi kata sambutan antara idola dan fans. Aku cengengesan di atas ranjang rumah sakit, ku ungkapkan kalau sakit di kedua lututku tak terasa perihnya.
Ya memang aku tak pandai berbohong saat jelas saja luka robek itu terpampang nyata sebelum diperban. Dan ku ingat betul, ucapan kasarnya yang mengatasnamakan si ''buta'', si ''bego'', dan ''gadis dungu'' entah mengapa menarik ujung kanan dan kiri di wajah ini untuk menampilkan seninya. Senyum yang ia tukaskan sebagai seni terindah sepanjang masa. Dia iri pada senyumku di saat aku iri pada bakatnya!
Penggemar yang sungguh beruntung aku ini! Apalagi bisa membuatnya mengucapkan untaian kalimat penuh diksi nan menggeleparkan ikan-ikan di perut ini yang lapar akan kata menyentuh. Setelah dengan blak-blakannya, ku habiskan sebuah kisah runtut tentang bagaimana sebenarnya jalan yang seseorang bernama lengkap Ayunda Oktavia.
''Asal lu yakin gak bakal tersesat dalam labirin yang gua persembahin, hmm mungkin... bakal lu anggap ranah itu penuh misteri yang mewanti-wanti minta lu telusuri. Penuh tanda tanya adalah sikap diam lu dan gua tau betul tingkah lu yang satu itu yang menjadi hm kendala atau fasilitas dalam meraih mimpi. Gua cuma pengen lu genggam tangan ini dan biarkanlah dia otomatis melindungi."
Aku hanya tertawa kencang sampai mataku berair. Tyo mengutip satu bait bab Cendana Berduri halaman ke delapanpuluh tiga dalam novelnya yang berjudul ''Aku tak pandai menulis.'' Lalu tanpa titah refleks saja mulutku ikut meniru caranya dalam bertutur. Mengambil jawaban dari pemeran utama wanita, masih dalam halaman yang sama dan buku yang sama.
''Siapa bilang aku butuh genggaman mu? Dan haha jujursaja kamu adalah orang paling sok tau yang paling tau tentang cara tau menahumu yang menjadi candu orang penuh rasa ingin tahu semacam diriku ini, tunjukkanaku apapun itu hahahah!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Ayunda
KurzgeschichtenMonolog bertajuk manis pahitnya yang hidup tawarkan pada seorang perempuan yang memiliki rasa ingin tahu di atas rata-rata.