Dari Ayunda (3)

7 2 0
                                    

Aku melihat, aku melihat semuanya. Mereka seolah-olah menertawakanku atas gelak tawa mereka dan ciuman penuh nafsu yang mereka pamerkan pada seisi club malam. Tyo dan Nanda, seorang pria dan seorang wanita. Katanya, dia penyuka sesama jenis, kicau-kicauan temanku semua juga turut mengiyakan. Heheh aku dikibuli ya! Iya ya! Haha kejam sekali memang!

Kemudian aku menangis, sekarang, detik ini pun aku masih saja menangis begitu mengingatnya. Aku? Aku satu-satunya yang tak tau apa-apa, di saat semua teman seperkumpulan kami bersikap biasa saja akan kabar yang aku lontarkan. Ada yang mengusap bahuku, ada yang memandangiku simpati, ada juga yang memberi kata-kata penyemangat.

Reaksi yang berbeda. Tapi sungguh reaksi apapun itu dari teman-temanku itu tetap saja menambah lukaku. Menorehkannya hingga aku sesak nafas. Tak ada yang memberitahuku perihal ini padahal banyak dari mereka yang tau persis perasaanku pada Tyo! Waw! Tau saja mereka cara membangkitkan rasa kecewaku. Tepuk tangan untuk aksi bungkam mereka prok prok prok!

Makanya dari itu aku memutuskan mengakhiri segalanya yang berhubungan dengan orang-orang itu. Aku masih tau diri bahwa sebenarnya kehadiranku tak pernah diharapkan.

Aku masih tau dimana posisi aku seharusnya. Bukankah itu yang mereka coba sampaikan? Aku bukan siapa-siapa di sana.Tak penting seberapa keras usahaku mempertahankan diri dalam komunitas itu, mereka seolah menyongsongkan aku pergi dengan gesture tubuh mereka yang mengatakannya.

Kupandangi berbagai kenangan yang turut melebur, terkikis dan mengendap dalam rangkaian nama. Bernama 'masa lalu'. Mengucapkan kata-kata perpisahan semacam, selamat tinggal masa lalu!

Memang harusnya ini sangat mudah bukan?

Walaupun aku tau apa yang akan terjadi selanjutnya. Tak ada lagi aksi anti mainstream yang membuat aparat kewalahan. Tak ada lagi keramaian dan bising suara yang menjadi sumber nyamanku. Tak ada lagi lukisan brutal yang menjadi ajang membanggakan diri masing-masing.Tak ada lagi ode, pujian apapun yang aku coba hadiahkan pada mereka. Tak ada lagi gurauan delapan belas ke atas yang cukup mengocok isi perutku. Tak ada lagi tawa-tawa yang membius bibirku untuk turut serta mempertontonkan tawa lepasnya. Tak ada lagi jaket abal-abal yang anehnya terkesan sangat keren di mataku, ya itu jaket komunitas kami.

Aku membakarnya. Baju itu dan apapun memori yang tinggal padanya, aku melenyapkannya dengan maksud untuk benar-benar melupakan segalanya. Menanggalkan apa yang patutnya dibuang saja dan membiarkan sepi menjadi kawan sepermainanku.

Hanya tersisa aku dan sepi yang terus saja membawa diri bernostalgia, menyesal pernah hadir menjadi salah satu di antara mereka jikalau pada akhirnya aku kesusahan, tetap kesulitan melupakan segala apapun tentang mereka, sukar untuk menerima kenyataan bahwa tak ada lagi kata 'Kita' yang tersematkan dalam larik-larik karya sastra terindahku.

Yang entahlah, apa masih tepat jika aku mengatakan puisi itu karya sastra terindah jika yang selalu tersampaikan adalah kisah penuh pilu, kalut nan menguras emosi dan melemahkan mental?

"Kamu melakukan tipu daya ini untukku? Kamu menggelar sandiwara bodoh ini untuk menyelamatkanku? Apakah tidak berkenan membiarkanku masuk pada lingkaran kisah tragismu?"

Pertanyaan retoris atau bukan? Seperti sekarang, aku muak untuk tetap menunggu jawaban apa yang akan Tyo berikan atas pertanyaanku yang mungkin ia kira adalah retoris. Pertanyaan yang tak seharusnya diberikan jawaban atasnya. Tapi jelas aku sangat menantikan jawabannya, karna aku memang sangat memerlukan jawaban sebetulnya.

Tapi memang tak ada jawaban, ia bahkan tak membiarkanku tau apa yang sebenarnya terjadi. Aku jadi teringat tikus got yang tercebur pada selokan kumuh berharap ada orang-orang yang datang membersihkannya sedangkan ia tak tau apa yang telah berlalu. Sepertinya itu umpama yang tepat untukku.

Aku hanya terdiam, ku lihat mata sembabnya, lingkaran mata yang mengerikan, kulit putih pucatnya, bahu tak tegaknya, rambutnya nan acak-acakan dan pandangan matanya yang terus dialihkan dari pertemuannya dengan mataku. Perubahan yang tak pernah aku inginkan akan terjadi padanya. Astaga, aku tak tega melihatnya seberantakan ini!

"Apa sehina itu mataku untuk ditatap? Lihat aku, Tyo. Sebaiknya kamu memberitahuku apa yang sesungguhnya terjadi atau aku akan terus mencercamu atau lagi aku akan mencari tahu sendiri! Huh, aku benci ini, aku benci mengakui bahwa sisa rasaku masih terus melekat padamu. Dan aku benci, menyadari bahwa aku bisa semelankolis ini hanya karnamu."

Aku berhenti berucap, terpiaskan wajahku saat ia membalas. Pergerakan sendi ku mati. Nafasku tertahankan. Kata-kata itu memberi guncangan maha dahsyat.

"Ayunda Oktavia, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang lu tawarkan. Masih sampai detik ini, gua tertahankan pada penjara hati lu, borgolnya masih menjerat kedua tangan gua. Dan demi semua waktu yang pernah kita habiskan, ini adalah detik terlaknat saat gua harus mengatakan aib bahwa gua gak lama lagi. Apa yang gak lama? Yang gak lama itu, kesempatan hidup gua."

JEDERRRR

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 29, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dari AyundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang