Dari Ayunda (2)

10 2 0
                                    

Apa yang salah dari percakapan kami tempo itu? Apa yang salah memangnya? Cermin di hadapan ku bergeming, setia pada bisunya, seolah enggan membiarkanku tau apa jawabannya. Dan ku lihat di dalamya ada refleksi diri yang membalas tatapan tajamku dengan mata yang sayu, ku pandangi satu-per satu apa yang ada padanya.

Tubuh yang lunglai, rambut acak-acakan, bibir yang tersenyum kecut seolah turut andil mencemoohku. Tak bertenaga, seperti mayat hidup sekali kau, Ayu! Kemana perginya paras ayu yang penuh pikat itu? Kemana hilangnya senyum yang selalu terukir pada bibir merah mudamu?! Dan kemana lenyapnya semangat hidupmu itu heh?!

Pekikan-pekikan tak berperikemanusiaan, membuat raga bergetar dan merasa tertekan. Duhai, aku hanyalah pudar, aku si pudar, sang pudar yang pandainya hanya meniru tabiat waktu. Berjalan tanpa kendali, memberi batas peringatan, tak tau kapan berujung, wajibnya bekerja tanpa henti, mendermakan hidup demi orang-orang yang menemui.

Duhai, petapa-petapa nelangsa di ujung senja aku hanyalah bocah tak tau diri nan terjebak dalam kegulitaan, sibuk mencari titik penghujung di saat rasa ingin tahu memohon untuk dihiraukan. Entahlah, sampai kapan raga ini berpuas diri? Mengakhiri tarian, tarian tanpa kata sebagaimana pertunjukkan pantonim beraksi.

Bolehkah diri ini meminta? Meminta dengan sangat memohonnya untuk menutup mulut para pecundang yang pandainya hanya mengoceh, mengumbar omong kosong dan cacian nan menusuk ulu hati.

Pecundang-pecundang yang buta akan proses bagaimana diri akan terbentuk. Pengecut-pengecut yang pandainya hanya menjiplak sejarah yang orang lain ukirkan. Dan para kaum biadab yang mengajarkan untuk mengakhiri segalanya saja padahal sudah jelas aku baru saja memulai. HAH! Mereka yang dulunya menyebut dirinya 'sahabat', malah mengonggong di belakangku. Sahabat sialan memang!

Cuih! Ku ingat sekali bagaimana bisikan itu, bekerja mempengaruhi pikiran Tyo. "Dia gak bisa diandelin gan, buat apa kita pertahanin dia di sini, gak guna, gak ngefek! Aku bahkan punya calon anggota baru yang ku jamin gak bakal bawa masa lalunya ke sini, gak muna dan penuh karya nol besar kayak dia!''

Mungkin saat itu aku masih cukup sabar untuk tidak mencincang tubuh plagiator satu itu dan tidak menjadikannya santapan bagi para buaya-buaya lapar. Ku ingat... masih bertahan dengan sikap pura-pura tak tau, aku tetap berbaur padanya hm masih mempercayai dan berharap dirinya mengaku dan berubah.

Tapi ternyata tidak. Tampaknya harapanku terlalu membumbung tinggi padanya. Oh! Maaf Nanda, rasanya masih sopan untuk membuatmu mendapatkan panggilan "Anjing" dariku. Rasanya masih berperasaan mantan sahabatmu ini yang hanya membalas dengan tamparan enam kali dan beberapa ungkapan kekecewaan yang malah kau acuhkan.

Dan tentang karya yang kau bilang nol besar, HAHAH! Tidak heran aku merasa beberapa patah kata, wejangan kakak tertuaku terasa sangat benar adanya kala itu. ''Jangan terlalu percaya sama orang, Yu. Sekalipun deket banget sama dia karna... Yu, sifat asli orang gaada yang tau.''

Bahkan dengan waktu selama itu, sedekat itu, tidak menjamin anjing itu untuk tidak mengkhianati. Nyesek, ntahlah atau aku saja yang terlalu bodoh masuk perangkap anjing gila dan mampus terkena gigitan mematikan darinya.

Beberapa karya ku hm, jujur aku masih tak percaya, masih mengira...mungkin itu bukan dia pelakunya, mungkin aku sedang bermimpi heh, mungkin tidak begitu adanya, huh tapi miris! Kenyataan nyatanya berkata lain, nama yang tertera di bawahnya hm, bukan nama ku padahal jelas-jelas aku lah yang berperan paling banyak dalam menciptakannya!

Sungguh tak adil rasanya. Dia menyepelekan apapun yang ku korbankan, harga yang harus dibayar untuk itu, waktu yang ku habiskan deminya, hasil olah imajinasi yang ku sentakkan. Anjing itu seolah membutakan matanya dari partisipasi besarku. Lalu dia tiba-tiba mendelik, tersenyum sarat cemooh.

"Aku ingat sekali kau yang paling mengagungkan persoalan bertajuk ketulusan dalam berkarya, tapi sekarang wah apa apaan! Kau seolah-olah merasa paling berkorban dalam hal ini. Kau kayaknya menantikan sesuatu di baliknya. Hm, apa aku benar?"

Hei dugaannya keliru! Ini bukan soal ketulusan tanpa mengharapkan imbalan! Dan kenapa pula anjing itu yang marah-marah padaku di saat aku lah satu-satunya orang yang pantas marah di sini.

Aku menghela napas, berusaha menenangkan diri, padahal daritadi aku mencari apa yang bisa menjadi pelampiasan luapan puncak dari kekesalanku ini. Jadi setelah selama ini, dia masih mengira bahwa aku menciptakan karya seni ku tanpa rasa ikhlas dan mencoba mendapatkan imbalan di belakangnya. Lalu aku bertanya.

"Imbalan macam apa yang kau maksud? Jika yang kau maksud adalah pujian dan ketenaran nan melejit, aku terang-terangan sudah meraihnya. Jika koaran pengorbanan yang kau maksud adalah kata-kata ku sebelum ini, jelas saja kau terlalu bodoh untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi."

Mata perempuan itu, ku lihat berair, hm sepertinya terenyuh. Suaranya juga melemah, malah terkesan menyesal."A-apa? Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Yang sebenarnya terjadi adalah pengkhianatan dari seseorang, seseorang yang dalam mimpi sekalipun tak pernah aku bayangkan akan melakukannya. Seseorang yang aku pikir mungkin adalah satu-satunya orang yang akan terus bisa ku percayai walaupun semua orang bertindak mengkhianati. Terimakasih anjing, terimakasih penjilat atas pelajaran berharganya!"

Lalu hubungan kami resmi berakhir, sama halnya dengan berakhirnya percakapan kami detik itu. Tidak ada lagi komunikasi di antara kami, dia tiba-tiba menghilang di saat aku berbaik hati mulai memperhatikan bagaimana keadaan dirinya.

Tapi kudapati setelahnya, semua media sosialnya tak aktif lagi, nomornya bahkan juga ikut-ikutan tak aktif. Mungkin yeah, ujaranku terlalu menohok dan membuatnya sedikit ya agak sedikit tersadar tentang apa yang sudah ia lakukan pada sahabat karibnya ini, lalu mungkin dia memutuskan untuk bunuh diri saking menyesalnya.

Tapi bukan itu yang sebenarnya, Ya Tuhan. Kemungkinan itu rupanya sangat keliru saat ku lihat betapa mesranya dua pasangan bersenda gurau dan berbagi kisah dari mulutnya. Kenyataan apalagi ini, sungguh aku merasa amat terbuai omong kosong tak bertuan yang orang-orang itu luncurkan.

Cukup, mungkin inilah saatnya aku berhenti.

Menjadi orang yang berhenti peduli.

Berhenti terlalu mengerti.

Berhenti mempercayai orang lain dengan sebegitu mudahnya dan berhenti berkorban apapun itu.

Tidak lagi. Tidak, mungkin dulu aku terlalu bodoh sehingga mau saja diperbudak orang-orang tak seharusnya. Aku merasa dipermainkan!

Seperti boneka saja hah!

Dari AyundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang