2

5 1 0
                                    


"Kamu harus berani pegang ulat Wi! Setidaknya itu bisa bikin Bony takut jika dia ganggu kamu" Masih terngiang saja kata-kata Adam. Berkat bantuan dia, Dewi akhirnya berani. Sampai tak terasa sudah mereka dua tahun berteman. Dewi sudah merencanakan akan melanjutkan ke SMP dengan Adam juga Mega. Pokoknya harus satu sekolah tapi tiba-tiba sore itu Adam mengajak bertemu di danau belakang komplek.

"Ada apa Dam? Emang kamu ga ngaji?"

Biasanya habis ashar Adam dan Dewi mengaji. Tapi Adam menyuruh Dewi bolos sehari saja dengan alasan penting.
"Aku mau lanjut SMP di Jakarta Wi" celetuk Adam tiba-tiba duduk terdiam di bangku pinggir danau.
"Apa? Maksud kamu?" Dewi bingung.
"Iya Wi. Minggu kemarin ibuku menikah lalu diajak pindah ke rumah ayah baruku sekarang" Adam terlihat muram.
"Yaaah gak asyik dong gak ada kamu? Bony kan masih suka ngejar-ngejar aku Dam. Aplagi kita satu kampung" Dewi lesu matanya mulai memerah.
"Kamu kan punya ulat peliharaan yang kita taruh di toples. Itu senjata buat ngelawan dia" Adam berusaha menghibur Dewi. Tapi Dewi justru sesegukan menangis.

"Makasih ya udah jadi teman aku" ucapnya menoleh ke arah Adam.
"Iya.." lagi-lagi senyum tipis Adam merekah.
"Apa kita gak bakal ketemu lagi Adam?"
"Ini untukmu" tiba-tiba Adam memberikan sebuah kotak kecil. Dengan perasaan aneh Dewi membukanya.

"Cincin giok?" Dewi melihat dua cincin giok.

"Iya satu buat aku, satu lagi buat kamu. Janji ya nanti kamu kuliah di Jakarta. Di universitas yang pernah aku bilang kemarin, jadi kita harus rajin belajar dan harus bisa masuk PTN itu oke?" Adam menyemangati Dewi.

"Trus maksud cincin ini?" Dewi masih bingung.

"Kita bakal saling kenal lewat cincin itu. Kamu lihat ada inisial nama masing-masing. Semoga kita nanti bisa berteman lagi ya Wi?" Harap Adam antusias.
"Ok. Setidaknya kapan-kapan kamu maen ya ke Bandung? Dengan begitu kamu ga bakal lupa ama aku"

"Iya, nanti aku maen pas ultah kamu yang ke-17. Aku pasti datang ke rumah kamu" Adam memberi harapan.

"Bener ya Dam?" Dewi nampak semangat. Adam cuma mengangguk.

Besoknya Adam pun hijrah ke Jakarta. Di depan gang rumah Dewi menunggu mobil Adam lewat keluar dari kompleks. Lalu Dewi melambaikan tangannya tanda perpisahan. Keduanya terus melambaikan tangan sampai bayangan keduanya pun tak terlihat lagi.

**

Hari-hari kembali sepi tanpa Adam. Biasanya Adam tiap ashar menjemput Dewi mengaji atau kadang-kadang hanya sekedar menghafal surat-surat pendek. Mereka berdua sering menghabiskan waktu teriak-teriak di depan danau.

'Ah. Aku harus mampu! Harus bisa masuk PTN itu! Bagaimanapun kita udah janji bakal ketemu lagi' gumam Dewi dlm hati.

Seminggu setelah Adam pergi tiba-tiba kedua orang tua Dewi tak bisa menyekolahkan di SMP pilihan Dewi. Mereka harus pindah, rumah yang Dewi tempati adalah satu-satunya warisan nenek kakeknya, sekarang diperebutkan oleh adik-adiknya ayah Dewi. Padahal mereka hidupnya jauh lebih mapan tapi tetap rumah itu harus dijual dan dibagi rata hasilnya. Ayah Dewi yang hanya seorang karyawan biasa tak mampu membayar adik-adiknya jika beliau ingin mempertahankan rumah itu.

"Kita pindah kemana bu?" Tanya Dewi menangis memeluk ibunya yang sedang membenahi semua perabotan.

"Ke Cimahi Wi" ibu Dewi mengelus rambut panjang anak semata wayangnya.
"Jauh amat bu. Bukannya bapak kerja disini?" Dewi kecewa.
"Bapak sudah resign. Bapak dan ibu sudah memutuskan mau bikin usaha di Cimahi kebetulan ada rumah kecil yang strategis yang bisa buat usaha. Bapak ama ibu mau bikin warung nasi khas sunda" jelas ibu Dewi memberi Dewi semangat.

"Emang bapak ibu punya uang?" Dewi terisak.

"Teman bapak sekaligus teman ibu juga mau bantu kita Wi. Alhamdulillah walau bukan sodara tapi om Adi sayang sama kita. Dia ingin kita semangat dan mulai dari awal"

Mendengar penjelasan orang tuanya Dewi hanya bisa pasrah menangis. Bagaimana jika Adam satu hari mencarinya? Dewi masih ingat dia akan datang saat Dewi berusia 17 tahun.

Singkat cerita Dewi dan keluarga pindah. Rumah dijual dan dibagi rata dengan saudara-saudara bapaknya. Alhamdulillah warung nasinya berkembang, banyak yang memuji masakan ibu Dewi. Bahkan sekarang kantor-kantor pun minta catering makan dari warung nasinya Dewi.

Prestasi Dewi di sekolah pun tak kalah cemerlang dengan usaha warung nasi orang tuanya. Sampai di tingkat SMA Dewi selalu juara.

'Semua buat kamu Adam' Dewi mengelus-elus cincin yang kini udah bisa dipakai di jari manisnya.

*

"Happy birthday!!" Ceplokan telor bebek namplok di rambut Dewi! Teman-temannya teriak ketawa melihat Dewi yang dari tadi asyik melamun di lapangan sekolah pagi ini. Dia dan teman-teman sedang mengikuti eskul PMR tiba-tiba dikagetkan dengan kejutan dari teman-temannya. Pantesan Dewi disuruh datang pagi-pagi ke sekolah ternyata dia dikerjain! Ya inilah ritual bagi yang ultah, telur ceplok dan terigu lengkap tinggal di goreng.

Lalu Wita yang kini teman sekelas Dewi di kelas XI memberikan sepotong kue tart lengkap dengan angka 17.

"Make a wish Wi!" Seru Wita tersenyum lalu tak lama Dewi memejamkan matanya.

'Adam' ucapnya pelan namun dalam, tiba-tiba "Astagfirulloh!! Wita gw harus ke Ciwidey!" Hampir saja tuh kue dia lempar.

"Ke Ciwidey? Mau ngapain?" Wita heran tapi tidak digubris.

"Gw mau numpang mandi di sekolahan trus gw pinjem jaket lu ya?" Wita melongo ketika Dewi menyambar jaketnya.
"Dewi! Lu gila kali ya?!" Wita dan yang lain bingung.

Sementara di sebrang kota yang lain Adam bergegas naik bis jurusan Bandung. Wajahnya berseri-seri sebari memeluk mesra kado buat Dewi.

'I am coming Dewi' Hatinya bergetar tak sabar dia ingin segera sampai disana. Bela-belain dari subuh stand by di terminal Rambutan. Sengaja tak diantar pengawal-pengawalnya. Adam sudah ijin sama mamanya kalo sehari saja dia ingin pergi sendiri. Rambutnya pelontos mirip tentara yang sedang pendidikan. Sperti dulu, kemana-mana pasti pake jaket team bola favoritnya. Dari kecil tas ransel dan sepatu sport pasti branded.

Adam memang kaya dari dulu, ibunya menikah dengan pengusaha properti di Jakarta. Kemana-mana selalu dengan supir bahkan kadang suka dikawal juga. Karena dia tidak memiliki adik dari pihak ibu maupun ayah tirinya.

**

Sekitar jam 11 siang Adam sudah sampai di kampungnya Dewi. Menyusuri jalan setapak demi setapak masa masa kecil dulu. 'Kamu lucu Wi... kayak adiknya giant!' Itulah ledekan-ledekan Adam dulu. Dewi selalu terlihat gemuk kalo deketan dengan Adam yang kurus tinggi.
Mengingat itu Adam tersenyum sendiri. Cincinnya sekarang dia jadikan liontin di kalung rante yang jadi aksesori favoritnya.

"Assalamualaikum" dengan deg-degan Adam mengetuk pintu rumah Dewi.

Lama tak ada sambutan rumahnya sekarang berubah lebih bagus, malah dibikin dua tingkat. Padahal dulu rumah Dewi cuma rumah tua yang jendelanya masih pake kaca nako.

Tak lama seseorang membuka pintu.
"Cari siapa ya?" Sahut ibu-ibu muda umuran 30 tahunan.
Adam kaget plus heran karena dia masih ingat kalo ibunya Dewi bukan yang ini.
"Emm maaf bu, saya temannya Dewi"
"Dewi? Disini tak ada yang namanya Dewi" si pemilik rumah itu bingung.

"Tapi dulu ini rumahnya" Adam bingung.

Sejenak ibu itu terdiam
"Oooh! Mungkin pemilik rumah yang dulu kali ya?" Ibu itu berusaha mengingat.
Adam nampak sumringah berharap ibu itu tahu keberadaan Dewi sekarang.
"Iya" jawabnya pelan. "Pindah kemana ya bu?" Tanya Adam cepat.
"Aduuh saya kurang tahu nak... Dulu saya cuma ketemu dengan makelarnya aja, jadi saya nempatin rumah ini udah kosong" Jawaban ibu itu membuat Adam kecewa.
Adam pun putar arah dengan wajah putus asa.

Finally, I Found You Adam (revisi)Where stories live. Discover now