Mata Reta mengerjap. Nampak sayu kedua matanya. Ia membuka matanya perlahan.
Reta kaget. Ia masih menatap langit langit putih. Perlahan ia melihat sekitar."Ta, sudah sadar sayang?" Suara yang terdengar dari sebelah kanan.
"Budhe, dimana Reta?" Tanya Reta kebingungan.
"Alhadulillah Ta, kamu cuma luka ringan. Akibat shock jadinya kamu tadi pingsan. Istirahatlah. Mau minum?"
Belum Dijawab oleh Reta, Kuntum, anak bontot Budhe sudah mengambilkan segelas air putih. Ia menyodorkannya ke Budhe.
"Ini minum dulu. Biar cepet pulih. Sekalian minum obatnya ya!" Kembali Kuntum cekatan membuka obat obatan pil itu.
Reta memaksakan untuk duduk. Tapi badannya kaku. Ada rasa ngilu di tulang punggungnya. Kata Budhe, Reta tidak parah akibat kecelakaan itu. Karena posisi duduknya di jok mobil sebelah kanan belakang menjadikannya tidak terbentur langsung dengan mobil lawannya.
"Budhe, gimana papa mama dan adikku? Aku mau ketemu. Dimana mereka?" Reta mulai meronta. Ia baru sadar bahwa kecelakaan itu terjadi saat perjalanan ke rumah Budhenya. Ia tidak sendirian, tapi dengan keluarganya.
"Budhe, Re mau liat mama papa"
"Yakin sudah kuat? Papa mama dan adikmu ada di ruang sebelah"
"Kuat budhe. Pake kursi roda aja Budhe" Reta memang perempuan bertipe tenang. Seperti saat ini. Tapi ketenangan itu hanya di wajahnya saja. Batinnya bergemuruh dengan ribuan pertanyaan tentang kondisi keluarganya.
Reta turun dari tempat tidur. Di bantu oleh Budhe dan Kuntum yang menyiapkan kursi roda. Pelan tangan Budhe mendorong kursi roda keluar kamar.
Selama perjalanan ke ruang papa mamanya, Reta memilih diam. Tidak sepatah katapun keluar. Dan Budhe pun begitu. Sesekali hanya bilang "bawa istighfar ya Re" tapi Reta diam.
Batin Reta tidak diam. Ia sedang mempersiapkan diri untuk menemui keluarganya. Doanya terus mengalun dalam hatinya, memanjatkan doa agar kedua orang tuanya tidak sakit parah dan juga adiknya.
Ia hanya ingin melihat keluarganya. Tapi ruangan yang dituju tidak juga sampai. Padahal kata Budhe, ruangannya ada di sebelah. Apakah papa dan mamanya juga adiknya.....? Reta tidak berani melanjutkannya.
"Ya Allah, berikan kesehatan kepada keluargaku. Angkatlah penyakitnya jika ada luka di tubuhnya. Aku masih membutuhkannya ya Allah. Jika memang aku harus bernadzar kepadamu, untuk bisa menggembalikan keceriaan keluargaku, maka akan aku lakukan Ya Allah. Untuk luka yang menggores mereka Ya Allah, biar aku saja yang merasakannya..." bisik Reta lirih. Ia menunduk dengan doa yang tak kunjung usai. Airmatanya mulai menggenang dan ia mengusapnya dengan ujung jilbabnya yang koyak.
Reta mengamati tangannya. Di sebelah kiri terpasang selang infus dengan luka disekitarnya. Lengan kanannya ada goresan yang masih terasa perih. Ia meraba mukanya. Ada perban di jidatnya. Ia menarik nafas dan menahan tangisnya hang hampir tumpah.
Ia mencoba untuk bersyukur dan terus melafalkan al fatihah agar merasa tenang. Syukur atas diberikannya kesempatan masih hidup.
"Re, papa Mama dan Adikmu di ruang ICU. Kita sudah sampai. Kalau mau masuk, pesen Budhe kuatkan dulu dirimu. Kamu tidak boleh nangis. Mereka belum sadar, tapi mendengar apa yang kamu katakan. Gimana?"
Reta masih kaget dengan berhentinya di depan Ruang ICU. Tadinya mau bertanya, tapi Budhe sudah menyampaikannya terlebih dahulu.
"Jadi, Papa Mama dan Adikku di sini Budhe. Parah kah kecelakaan tadi sampai mereka di sini?" Airmata Reta mengembang memenuhi pipinya. Ia tidak dapat lagi menahannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TITIAN KEJORA
General FictionReta, gadis kampus, aktivis, asyik dan paling on time dalam hal apapun. Buku agendanya nggak cuma satu, 3 sampai empat selalu nangking di tas punggungnya. Satu agenda khusus untuk schedule aktivitasnya, satunya untuk ide ide barunya, satunya untuk...