Flashback

6 1 0
                                    

Waktu masih menunjukkan pukul tujuh, namun aku sudah melangkahkan kaki sambil menyeret tas koper besarku menuju ke halte bus di dekat stasiun. Suasana pagi di kota tempat tinggalku ini masih sepi dan jalan raya pun masih lengang. Yah, walaupun setiap hari memang jalan raya di sekitar apartemenku tidak pernah terlalu padat, sehingga jika masih pagi begini memang hanya satu atau dua kendaraan yang berlalu lalang.

Aku menghentikan langkah di tepi jalan lalu memencet tombol untuk penyeberang jalan. Setelah menunggu sejenak, lampu penyeberangan berubah warna menjadi hijau. Kulangkahkan kembali kakiku menyeberangi jalan kemudian menusuri jalanan beraspal yang mengarah ke suatu tempat.  Aku memang berencana mampir ke sana sebelum menuju ke halte.

Tak lama kemudian, tampak sebuah bangunan yang lumayan besar dengan tulisan huruf kanji yang terukir di pintu gerbangnya. Aku menghembuskan napas lalu tersenyum kecut. Beberapa hari yang lalu aku masih bersekolah di sini bersama dengan teman-temanku tanpa pernah berpikir kalau aku harus pulang kembali ke negara asalku secepat ini. Bahkan sebelum kelulusan tiba. Padahal aku sudah menantikan berbagai kegiatan yang akan semakin padat menjelang kelulusan nanti. Festival olahraga, festival musim panas sekolah sebagai salah satu program dari kami anggota OSIS, kegiatan akhir tahun, persiapan ujian, dan juga acara paduan suara tiga angkatan yang diadakan menjelang wisuda. Semuanya tentu akan aku jalani jika saja surat itu tidak datang.

Dengan langkah yang kuperlambat, aku menyusuri jalan setapak di sekitar sekolahku sambil mengingat kembali semua memori yang pernah aku lalui di sana. Lapangan berpasir cokelat yang terletak di halaman gedung sekolah dengan jam bulat besar di sudutnya itu dikelilingi pohon-pohon hijau yang rindang. Aku sering bermain kejar-kejaran di sana sebagai program untuk menambah stamina kami para atlet badminton. Meskipun diselingi canda, program itu cukup melelahkan karena selain bermain kejar-kejaran, kami juga harus melakukan lari 10 putaran mengelilingi lapangan sekolah. Jika musim panas tiba, latihan akan diperketat dan kami akan berlari 10 putaran mengelilingi sekolah dan kembali ke aula besar untuk pemanasan menggunakan raket. Sangat melelahkan, namun di club badminton itulah kami mendapat berbagai pengalaman. Senang, sedih, kecewa, marah, semuanya pernah kami rasakan bersama. Aku yakin aku akan merindukan mereka kelak.

Sementara itu, jendela ruang-ruang kelas dari gedung utama memantulkan cahaya matahari, menciptakan suasana yang membuat pikiranku bernostalgia akan segala sesuatu yang pernah aku alami di kota ini, di sekolah ini, dan di berbagai tempat yang pernah aku kunjungi.

Di taman  mungil di dekat pintu gerbang biasanya akan tumbuh beraneka macam bunga sesuai musim dalam setahun. Saat semi, pohon sakura akan memekarkan bunganya yang akan tepat gugur saat pengambilan foto kelas. Bunga sakura inilah yang biasanya akan mencairkan suasana tegang murid-murid kelas satu yang baru saja menjadi anggota baru di sekolah, atau malah menambah keakraban para murid kelas dua dan tiga. Tak hanya sakura, bunga tulip beraneka warna juga akan turut menyemarakkan petak kecil di sudut sekolah itu. Jika musim panas tiba, akan muncul kelopak-kelopak berwarna kuning cerah milik bunga matahari yang akan terus tumbuh besar dan menghasilkan biji-biji yang akan dikumpulkan oleh beberapa guru untuk dibudidayakan kembali di tahun depan. Jika musim dingin, bukan bunga yang akan menjadi sumber kegembiraan para penghuni sekolah. Melainkan salju yang akan turun jika suhu sudah benar-benar dingin. Apalagi di tahun-tahun terakhir, suhu di kota ini menjadi semakin dingin. Biasanya kami akan bermain salju di luar saat jam istirahat tiba, hanya sekadar untuk membuat boneka salju mungil sampai pipi kami kemerahan. Kadang kami malah saling melempar bola salju hingga mantel kami basah kuyup. Kalau sudah begitu biasanya aku lebih memilih untuk pergi ke perpustakaan sekolah yang hangat atau bermain ke UKS hanya sekadar untuk menghangatkan badan sambil bertukar cerita dengan guruku disana bersama dengan beberapa teman. Begitulah kegiatan sekolahku yang damai, nyaman, dan selalu membangkitkan gairah tersendiri setiap harinya.

Namun saat ini adalah musim gugur. Tidak ada bunga sakura untuk aku lihat puas-puas sebelum meninggalkan kota, atau bunga tulip dan bunga matahari yang mungkin dapat menghiburku dengan warna-warna cerahnya, dan tidak ada juga gundukan salju di sudut lapangan atau di atap sekolah yang menunggu untuk dicairkan oleh sinar matahari. Kali ini hanya berhelai-helai daun berwarna kuning keemasan yang menyambutku. Biasanya aku paling menyukai musim ini, karena aku bisa mengumpulkan daun-daun yang gugur untuk dijadikan hiasan atau pembatas buku. Selain itu, hawa yang masih sejuk menurutku sangat cocok untuk dipakai beraktivitas, sehingga aku bisa pergi ke memorial park yang berjarak lima stasiun jika ditempuh dengan monorail bersama teman-teman di akhir pekan. Tapi entah mengapa musim gugur kali ini terasa sangat menyebalkan. Atau mungkin lebih tepatnya menyakitkan buatku. Daun-daun yang gugur seolah turut mengucapkan kata perpisahan untukku, dan suhu udara yang seharusnya terasa sejuk kini menjadi dingin. Dingin yang menyakitkan, seolah mampu menusuk hingga ke palung hati. Angin yang mendesau pelan seolah membisikkan ucapan selamat tinggal untuk yang terakhir kalinya.

Aku melirik jam tangan dan segera melanjutkan langkahku yang terhenti tanpa kusadari. Aku harus berhasil menaiki bus pukul 08.15 jika tidak ingin menunggu bus selanjutnya yang akan datang 45 menit kemudian. Sambil melangkahkan kaki dan menyeret koper, aku masih mengamati danau sekolah yang berada di bawah bangunan aula besar. Airnya hijau dan air mancurnya mati, seperti biasa. Aku pun teringat program kerja yang aku janjikan saat mencalonkan diri menjadi anggota OSIS beberapa bulan yang lalu. Aku berjanji akan membenahi danau sekolah sehingga tampak asri kembali seperti beberapa tahun yang lalu. Entahlah apakah anggota lain akan meneruskan program kerjaku atau tidak. Semoga saja mereka mau melanjutkannya.

Setelah melalui pertigaan kecil di ujung jalan, gedung sekolahku pun menghilang dari penglihatanku. Sekali lagi aku menghela napas, mencoba menghilangkan rasa sesak yang tiba-tiba muncul di dada. Kembali kupercepat langkah menuju halte bus sambil menyibakkan pikiranku dari berbagai nostalgia yang mencuat tanpa mau berkompromi.

YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang