Patahan #1

398 15 0
                                    

"Kak," ujar seorang gadis dengan hampa, dihadapan seorang mayat. "Kak, bangun."

Mayat itu bergerak sedikit. "Kak, bangun!" seru gadis tadi sangat kalut. Tangan pucatnya masih dengan tekun mengguncang badan sang kakak.

"Tha, udahlah. Terima aja," ucap seorang pria di sampingnya. Nada bicaranya yang sedikit santai, sangat bertolak belakang dari ekspresi dari si gadis, membuat emosi gadis itu tersulut.

"Ayah dengan gampangnya ngomong 'terima aja'?" ucap gadis itu lamat-lamat, menahan rasa panas di dadanya.

Ayahnya mengangguk. "Kamu tahu, Atha. Ayah dan Ibu gak marah ke kamu aja, kamu harusnya udah bersyukur," ucap Ayahnya tampak tenang.

Hal itu membuat gadis yang bernama 'Atha' itu tertampar oleh realita. "Ghata meninggal, karena kamu memaksanya menjemputmu di pesta sialan itu kan?" ucap Ayahnya lagi, dengan nada tenang namun mencekam itu lagi.

"Jadi, lebih baik kita pergi dari sini," ujar Ayahnya, setelah membiarkan hening menguasai selama beberapa detik.

Atha terdiam kembali. Tenggorokkannya tercekat habis-habisan. Dengan tatapan tidak rela, Atha memandangi sosok tubuh tanpa jiwa yang mulai memucat.

5 menit penuh, Atha genap melihati kakaknya. Hingga akhirnya Atha berdiri, mengikuti Ayahnya yang sudah berada di ujung ruangan mayat itu.

***

"Ibu," panggilnya pelan, pada sesosok wanita yang sedang melamun. Namun sang wanita tidak menggubrisnya.

"Ibu." Ditepuknya pelan pundak sang Ibu, membuat wanita itu mendelik lemas.

"Ini, Atha ada pertemuan orang tua di sekolah. Ibu bisa datang?" ucap Atha perlahan, sedikit takut.

"Gak bisa. Ibu sibuk. Suruh Bi Warni saja untuk datang," ujar Ibunya dingin. Hal itu membuat Atha mencelos.

Namun gadis itu tetap memaksa tersenyum. "Oh, okay. Nanti aku minta tolong Bi Warni aja." Lalu si gadis menjauh.

"Gatha," lirih ibunya pilu, masih terdengar Atha, karena jaraknya yang hanya 10 langkah.

Atha memejamkan matanya pelan, menahan sakit yang makin tak terperikan di dalam dadanya. Lalu kakinya melangkah kembali, menuju kamar.

***

"Apa gue belajar edo tensei aja kali, ya? Biar kak Gatha hidup lagi," gumam Atha pelan. Lalu gadis itu terkekeh.

Usahanya untuk membuat kekehan itu tampak natural, gagal. Gadis itu tetap merenung, dan menahan air mata yang mulai berderai ini.

Lelah. Atha lelah dengan semua ini. Semua berpusat pada sang kakak. Sedangkan dia hanya ada, kalau orang tuanya tidak sibuk.

"Ayah, lihat!" seru seorang bocah kecil senang, sembari melambaikan selembar surat. "Aku buat surat untuk Ayah!"

Sang Ayah yang melihat, tersenyum sumringah. Diangkatnya bocah kecil itu, membuat tawa sang anak lelaki berderai.

"Coba mana, Ayah lihat," ucap Sang Ayah. Dengan semangat, bocah itu menyodorkan surat dengan kertas krem muda itu. Seakan tidak terpengaruh dengan tulisan si anak yang tidak beraturan, sang ayahpun membacanya.

Binar bahagia muncul di mata Sang Ayah, ketika membaca begitu banyak tumpahan kasih sayang dari si anak di atas kertas. "Ragatha pintar! Ayah bangga sama Ragatha!" pekik Sang Ayah senang.

Lalu sebuah suara kecil menginterupsi kegiatan keduanya. "Ayah!" seru si gadis dengan kunciran dua bertengger di kepalanya.

"Aku juga buat surat untuk Ayah!" ucap si gadis dengan semangat.

Sang Ayah hanya tersenyum kecil. "Taruh di sana aja. Ayah lagi sibuk sekarang. Kalau sudah gak sibuk, nanti Ayah baca."

Senyum sumringah si gadis meluntur seketika. Dia hanya menunduk, lalu kembali ke dalam rumah.

***

"Ayah, Ibu, ini jadwal ambil rapor Gatha," ucap seorang pemuda yang suaranya mulai sedikit berat. Pemuda SMP itu menyerahkan selebaran kertas edaran dari sekolahnya.

Sang Ayah dan Ibu yang sedang menonton TV berduaan itu tersenyum. "Ayah dan Ibu pasti datang. Kita datang bersama ya, Gatha," jawab Sang Ayah, mengundang senyum senang si anak.

"Makasih, Ayah. Makasih, Ibu." Si pemuda memeluk keduanya singkat.

"Ayah, Ibu. Aku juga ambil rapor hari Sabtu." Sebaris kalimat yang menguraikan pelukan ke tiganya.

Ayah dan Ibunya memandang si pemilik suara, seorang gadis dengan rambut kuncir kuda, dengan pandangan sedikit bimbang.

"Atha, Ayah sama Ibu bakal ambil rapor Gatha, hari itu. Jadi, Ayah dan Ibu gak bakal bisa ambil rapor kamu. Abis itu Ayahmu ada rapat di kantornya. Ibu juga ada urusan di butik, setelahnya. Kami sibuk, Atha," jawab Sang Ibu, mencoba memberi pengertian pada anak gadisnya.

Si gadis hanya bisa menunduk pasrah, lalu didongakkannya lagi kepalanya dan tersenyum. "Gak apa-apa, Yah, Bu. Atha bisa minta tolong Bi Warni, nanti."

Raut wajah kedua orang tuanya sedikit merasa bersalah. "Maaf, Atha. Ayah dan Ibu janji, semester depan, kami berdua pasti bakal ambil bareng," ucap Sang Ayah, mencoba untuk tidak menyakiti hati anak gadisnya.

Si gadis tersenyum sumringah, pada janji yang tidak pernah ditepati kedua orang tuanya.

Kedua anak mereka undur diri. Hingga akhirnya sampai di depan kamar si gadis, si pemuda merangkul si gadis.

"Jangan sedih, Atha. Nanti akan ku temani ambil rapornya. Tapi agak telat, ya," ucap Sang Kakak menenangkan.

Perlahan, senyum si adik terbit. "Makasih, kakak. Atha sayang Kakak," balas si gadis dengan tulus, sembari memeluk kakaknya.

Sang Kakak hanya menikmati hangatnya pelukan mereka. Sekalipun orang tuanya mengucilkannya, Atha tahu, dia bisa mengandalkan kakaknya.

Napas Atha bergetar. Itu hanya segelintir dari kejadian yang membuatnya berbeda. Selain karena rapor yang selalu diambil bersama Bi Warni dan Ragatha, ketika wisudapun, tidak ada satupun fotonya yang mencakup dirinya dan orang tuanya. Lagi-lagi, Ragatha.

Hingga akhirnya Tuhan mengambil seorang Ragatha, Atha sesaat lupa cara untuk bernapas. Atha sesaat lupa cara untuk berpikir. Atha sesaat lupa cara untuk menjalani hidup.

Atha terus membisikan sebuah kalimat ini pada dirinya sendiri. Tuhan butuh malaikat baru, Atha. Dia memilih kakakmu, sama seperti Dia memilih bunga terbaik di ladang bunganya, batin Atha berulang-ulang.

Atha kira, kalimat yang pernah dia baca di buku non-fiksi, 'Chicken Soup for Pre-teen Soul' itu bisa menenangkan dirinya.

Namun nyatanya tidak. Gadis berusia 17 tahun itu, hanya bisa membisikkan, tidak bisa terpengaruh.

Hanya bisa berucap, tidak bisa mengerti. Hanya bisa mendengar, tidak bisa terasuki.
Hanya bisa tahu, tanpa bisa mengerti.

Kenapa Ragatha? Atha tahu. Kalau dia sedang mencari pelampiasan, harusnya dia menyalahkan dirinya sendiri.

Dialah yang meminta Ragatha menjemputnya. Dia yang meminta Ragatha untuk beranjak dari malas-malasan mingguannya.

Namun kenapa? Kenapa Atha bersedih akan sesuatu yang menjadi kesalahannya? Kenapa Atha menangis akan sesuatu yang dia perbuat?

Seharusnya dia tidak menangis. Ini memang salahnya.

Atha kembali terisak. Atha terjebak dalam lara dan penyesalan yang tak tahu kapan berakhir.

LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang