Rava memandang pantulan dirinya dalam cermin kamarnya. Pantulan tersebut tersenyum, sama seperti si empunya pantulan.
Setelah merasa dirinya rapih, Rava keluar dari kamarnya, dan bergabung sarapan bersama Rafa, Ayah, dan Ibu.
"Pagi, Ayah. Pagi, Ibu," ucap Rava, segera setelah kakinya menapak di ruang makan. "Pagi, Rafa." Rava menoleh lembut pada saudaranya, dan tersenyum.
"Pagi juga, Rava," jawab Ayah dan Ibunya serentak. Sementara Rafa, hanya diam sembari membaca buku pelajarannya.
"Rava, ini surat yang kemarin dikasi sekolah. Kamu kembalikan, ya." Ayah memberikan selembar kertas yang dilipat pada Rava, surat dari sekolah kemarin. "Itu sudah Ayah tanda tangani."
Ayah mengusap pelan rambut Rava, yang sedang tersenyum sumringah. "Terima kasih, Ayah!" ucapnya semangat.
"Ayo, sarapan dulu, Va. Rafa sudah selesai sarapan, tuh," ajak Ibu. Rava segera duduk di sebelah Rafa, dan memakan nasi goreng yang sudah disediakan di depan matanya.
Ternyata Ayah tidak marah, pikir Rava. Ravapun tersenyum kecil.
***
Rava dan Rafa berjalan beriringan. Namun aura yang menyelimuti keduanya, sangatlah kental perbedaannya.Dalam perjalanan menuju kelasnya, beberapa kali Rava menyapa teman-temannya. Berbeda dengan Rafa, yang hanya diam dan tersenyum kecil, apabila ada guru yang lewat.
Sesampainya di depan kelas Rafa, Rava berucap, "Semangat belajarnya, Raf. Sampai jumpa nanti!" Rava tersenyum cerah.
Rava selalu mengantarkan adik kembarnya menuju ke kelasnya. Sekalipun Rafa sudah menolak, Rava tetap bersikeras untuk melakukannya.
Anggap saja tanggung jawab Rava sebagai seorang kakak.
Ravapun lanjut berjalan menuju kelasnya.
***
"Miss, ini suratnya, sudah ditanda tangani Ayah," ucap Rava sembari memberikan kembali surat tadi.Miss Cherryl menerima surat tersebut. "Baik, terima kasih, Rava. Kamu bisa balik ke tempat dudukmu."
Rava segera duduk di kursinya. "Perhatian semua!" ucap Miss Cherryl sedikit berseru. "Minggu depan, akan diadakan ulangan tengah semester."
Protesan dari semua murid kelas 4 sekolah dasar tersebut langsung terdengar seketika. Nyaris seluruh kelas mengeluh. Bahkan ada satu atau dua siswa yang mengeluh betapa tiba-tibanya UTS akan berlangsung.
"Tidak ada yang tiba-tiba," ucap Miss Cheryll yang hanya bisa mendiamkan setengah dari keluhan-keluhan di kelasnya. "Semua sudah ditulis di kalender akademik. Coba dilihat ulang sana."
Sembari beberapa anak membuka kalender akademiknya, Miss Cherryll berkata, "Kisi-kisinya akan Miss bagikan sekarang. Jangan sampai hilang."
Kelas masih belum bisa tenang sepenuhnya. Tapi bahkan pikiran Rava sudah melayang kemana-mana. Cemaspun menderanya.
***
Rava tidak melukis malam ini. Dia malah berkutat dengan segala rumus-rumus di buku matematikanya.Rava sudah duduk di sana dengan buku terbuka, sejak siang tadi. Dan kepala Rava masih sama pusingnya, semenjak matanya pertama kali melihat rumus-rumus tersebut.
Mata Rava menyipit. Dia bahkan beberapa kali mengacak rambutnya frustasi. Dia kebingungan.
"Nomor 3 salah." Sebuah suara yang familiar, sedikit mengalihkan kefrustasian Rava terhadap buku pelajarannya.
Ditemukannya Rafa, kembarannya, menatap datar buku tulisnya, yang berisikan jawaban-jawaban dari kumpulan soal yang ada di buku cetaknya.
"Nomor 3 gak pakai rumus itu." Rafa mengambil duduk di samping Rava, dan menyambar pelan pensil milik Rava. "Itu pakai rumus yang ini."
Rafa menuliskan sebuah rumus yang tepat di buku tulis Rava. Ravapun akhirnya mengerti. Pantas saja dia tidak mendapatkan jawabannya.
"Mana lagi yang gak ngerti?" tanya Rafa dengan sikap datarnya yang sepertinya sudah mendarah daging.
Ravapun membuka buku agendanya, buku dimana kisi-kisi untuk ulangan tengah semesternya ditempel.
"Aku gak ngerti yang ..." Kedua saudara itupun akhirnya belajar bersama.
***
Rafa sedang mengikat tali sepatunya, sedangkan Rava sedang membaca buku pelajarannya.Tanpa terasa, seminggu sudah lewat. Dan ulangan tengah semesterpun sudah ada di depan mata.
Tiba-tiba saja, Rafa menyodorkan sebungkus granola pada Rava. "Kalau kamu, kamu gabakal bisa fokus," ucapnya sembari mengarahkan pandangannya ke depan.
Rava menatap Rafa sejenak, dan tersenyum berbinar. "Terima kasih, Rafa!" ucapnya senang. Dia membuka bungkus granola tersebut, dan memakannya dengan sukacita.
Ternyata, Rafa masih peduli padanya.
***
Ulangan tengah semester nyatanya masih di luar ekspektasi Rava, sekalipun dia sudah mengerahkan tenaganya untuk belajar lebih seminggu terakhir.Rava tetap kesulitan untuk mengerjakannya. Tapi tentu saja, tidak sekesulitan biasanya, sebab ada beberapa rumus yang dia ingat.
Karena Rafa juga sudah membantunya belajar, Rava pikir dia harus bisa dan yakin dalam ujian kali ini.
Agar saudara kembarnya bisa bangga padanya.
***
Seminggu berlalu sudah, menandakan bahwa ujian tengah semester telah selesai. Namun, kegugupan Rava malah berpuncak di sini.
"Haduh, hasilnya gimana, ya?" ucap Rava pelan, sembari menggigit kuku jempolnya. Kakinya tak bisa berhenti membawanya mondar-mandir di dekat mading kelas.
Akhirnya, Rava-pun memutuskan untuk menerobos kerumunan, dan ikut melihat nilai UTS yang ditempel di mading.
Rava menyusuri satu persatu daftar nama yang tercantum di selembar kertas tersebut.
Dan dia menemukan namanya ada di urutan ke 35 di antara sekitar 100 siswa seangkatannya.
Wajah Rava dipenuhi dengan ketidak percayaan. Dia mengecek kembali, apakah benar namanya yang tereja di sana.
Dan memang tidak salah. Astaga. Rava ingin menangis saja rasanya. Biasanya, Rafa menempati urutan 70 ke bawah. Namun ketika nama Rava bisa menempati urutan ke 35, Rava jelas sangat senang dan terharu.
"Ho, kamu urutan ke 35, ya?" Tiba-tiba saja suara kembarannya menyapa telinganya.
"Rafa," panggilnya sejenak. Dengan rasa haru dan bahagia, Rava memeluk Rafa. "Makasih, Rafa!"
Rafa yang mendapat serangan tiba-tiba tersebut, langsung kaget dan spontan menepis Rava.
"Kamu gila, ya?! Ini di sekolah!" sentak Rafa pelan. Namun Rava hanya menunjukkan senyuman senangnya saja.
Akhirnya, Ravapun hanya mengacak pelan rambutnya, dan berkata, "Makasih, Rafa."
Entah mengapa, pipi Rafa agak memerah karena malu. "B aja tuh," ucapnya.
Rava tertawa singkat, menertawakan sifat tsundere adiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lara
Short StoryLara (2019) "Mereka yang lelah, mereka yang menyerah, mereka yang bertahan." ::::: o ::::: "ARGHHH!!" Sakit. "Akhh!!" Lelah. "Hiks." Sisi lain dari kehidupan, yang harus dilihat dari prespektif lain juga. ::::: o :::::