"Selamat pagi, Atha!" Ragatha menyambut adiknya yang baru saja turun dari tangga. Kedua orangtua mereka melirik kedua anaknya, lalu tersenyum tipis.
"Selamat pagi, Atha," ucap sang ayah pelan, sembari menyesap kopinya.
"Ayo sarapan, Atha," ucap sang ibu, sembari mengoleskan selai di roti. "Lalu, Gatha, kita berangkat bareng, ya."
Ragatha memandang Atha dengan bimbang. "Gatha bareng Atha aja, deh."
Ibunya mengernyit heran. "Nanti kamu telat, lho. Kan hari pertama MOS."
Ragatha menggeleng. "MOSnya masih nanti, jam 7.30. Ini masih jam 6.30. Gatha mau bareng sama Atha."
Ibunya menghela napas pelan. "Ya udah. Atha, kamu antar Gatha dulu, ya. Nanti kakakmu itu telat MOS. Kamu telat dikit, gak apa-apa, kan? Cuma sekolah biasa ini."
Terbiasa. Atha sungguh terbiasa. Atha mengangguk pelan, cepat-cepat memakan rotinya.
"Kak Gatha jadi sama aku?" tanya Atha pelan, masih dengan wajah datar. Gatha mengangguk semangat. "Kalau gitu, ayo. Aku udah selesai."
Sekarang, gantian Gatha yang mengernyit pelan. "Selesai? Kamu cuma makan selembar roti, lho."
"Gak apa-apa. Telat makan dikit, gak bakal bikin aku mati." Jeda sejenak. "Tapi kalau kakak telat MOS, kakak bisa mati dibejek-bejek sama kakel."
Belum sempat Gatha menjawab, Atha sudah meraih tas sekolahnya, dan berjalan menuju pintu depan.
Tanpa sadar, sebutir air mata mengalir di pipi halus Atha, ketika matanya menangkap bayangan kosong di meja makan.
Atha berjalan pelan menuju meja makan. Untuk apa dia berjalan cepat-cepat? Toh, tidak ada ayah atau ibunya yang menemaninya melewati masa ini, kalau saja dia berjalan cepat.
Alih-alih menemukan makan, dia malah menemukan catatan dari Bi Warni, pembantu rumah tangga setengah hari di rumah Atha, yang mengatakan kalau wanita paruh baya itu sudah menyediakan puding di kulkas.
Dek Atha, Bapak sama Ibu lagi sibuk, jadi gak bisa nemenin Dek Atha.
Lalu, kalimat selanjutnya membuat Atha lemas bukan main.
Dek Atha yang kuat, ya. Bibi janji, bibi bakal nemenin Dek Atha terus.
Atha terisak keras. "Gatha," racaunya pilu. "Gatha." Atha membiarkan dirinya tersaruk di dekat meja makan, melupakan kewajibannya untuk sekolah.
Atha hanya ingin beristirahat sejenak.
***
"Atha, kenapa kamu telat?" tanya guru BK yang menjaga di depan gerbang. Ah, Atha selalu tidak punya alasan untuk suka dengan guru ini.
Ditambah dengan nada dingin sarat akan keabsolutan, Atha semakin tidak suka dengan Bu Roo.
"Saya gak enak badan, bu," jawab Atha lemas. Memang, Atha terlalu memikirkan tentang kematian kakaknya, sehingga selalu tertidur lewat dari subuh.
Bu Roo menatap Atha dengan tajam. Lalu, guru itu menghela napas pelan. "Kamu ke UKS aja," ucap Bu Roo, membuat Atha agak terkaget.
Nampaknya, kantung mata dan wajah pucat Atha dapat meyakinkan guru muda yang galak itu. Atha hanya mengangguk pelan dan sopan, dan segera bergegas ke UKS.
Atha benar-benar membutuhkan istirahat.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Lara
Short StoryLara (2019) "Mereka yang lelah, mereka yang menyerah, mereka yang bertahan." ::::: o ::::: "ARGHHH!!" Sakit. "Akhh!!" Lelah. "Hiks." Sisi lain dari kehidupan, yang harus dilihat dari prespektif lain juga. ::::: o :::::