Kamis pagi. Shana turun dari sepeda motor milik abang ojek langganan. Masih membawa tasnya, ia segera pergi ke ruang OSIS. Tadi malam Nizar membuat grup chat untuk membahas strategi mereka mengungkap kasus ini. Sesuai kesepakatan, mereka semua akan berkumpul di ruang OSIS pagi ini sebelum ruangan itu ramai didatangi pengurus OSIS lain ketika hari beranjak siang.
Shana membuka pintu ruang OSIS. Di dalam ruangan tersebut sudah ada Kara yang tengah memakan bekal sarapannya. Juga Verrel yang tengah sibuk mengerjakan PR nya.
"Gara-gara kita kumpul-kumpul pagi kayak gini, gue jadi nggak bisa nyontek kerjaan temen gue kan sebelum bel masuk. Mana jam pertama langsung dikumpul," gerutu Verrel tanpa mengangkat wajahnya dari posisi menunduk.
"Bisa diem nggak sih lo. Gue dah denger lo ngomongin penderitaan lo itu lebih dari empat kali pagi ini." Kara memaki Verrel sembari meremas botol air mineral dan melemparnya ke tempat sampah.
"Berisik lo," kesal Verrel.
"Heh, yang berisik itu lo, dasar bego." Kara melempar penghapus karet ke wajah Verrel namun tak sampai mengenai wajah tampan cowok itu karena Verrel berhasil berkelit.
Shana ikut duduk di karpet tempat Kara dan Verrel duduk. Ia kembali mengedarkan pandangan ke ruangan tersebut. Ruangan yang dulu dilihatnya berantakan saat pertama kali kunjungannya atas ajakan Nizar, sekarang terlihat lebih bersih dan tertata.
"Ruangannya udah dirapiin ya?" Shana mengutarakan pikirannya.
"Biasanya juga rapi. Kemarin gara-gara kita bermalam di sini jadi lumayan berantakan," jawab Kara sambil nyengir di akhir ucapannya.
"Ooh." Shana ber-oh-ria.
Sementara itu, pintu ruang OSIS terbuka menampilkan dua orang dengan postur tubuh hampir sama. Mereka adalah Nizar dan Akbar yang ternyata adalah kakak beradik beda ibu, ayah mereka poligami.
Mereka akan memulai rapat pagi mereka setelah Arthur datang. Ini sudah lewat lima menit dari waktu yang ditetapkan saat membuat janji temu lewat grup chat.
Seseorang membuka pintu ruang OSIS dengan kasar. Ia langsung masuk dan duduk di sebelah Nizar.
"Sialan, gue diikutin orang. Dia bawa belati, anjir." Dengan napas tak teratur Arthur mulai mengumpat. Sebenarnya ia bisa saja menyerang balik dengan kemampuannya dalam bidang bela diri. Bahkan Arthur membawa pistol di tasnya. Namun jika ia terpancing dan mengungkap identitasnya, maka semua rencananya tamat.
"Berapa orang? Mereka masih ada di sekitar sini?" tanya Shana.
"Dua orang. Mereka dah nggak ngikutin gue karena gue berhasil mengecoh mereka," jawab Arthur.
"Lo nggak bisa berkelahi?" Kara mengangkat sebelah alisnya sambil menatap Arthur ragu.
"Bisa. Males aja kalau bikin masalah pagi-pagi gini," balas Arthur sambil melemparkan tasnya ke kursi terdekat.
Mereka berganti topik karena tak ingin membuang waktu lebih. Mereka hanya punya waktu setengah jam sampai bel masuk berbunyi.
"Menurut gue korban selanjutnya adalah anak PMR," seru Akbar bersemangat. Ia seperti mendapat ilham tadi malam saat sedang memikirkan petunjuk di surat kedua. "Orang yang bisa mengobati itu pasti punya kemampuan medis. Di sekolah ini, ekskul PMR adalah tim medis sekolah. Nah yang buat gue bingung tuh kenapa mereka nggak membawa kedamaian coba. Apa hubungannya?" lanjut Akbar.
"Padahal setahu gue anak PMR itu sering jadi relawan. Masa iya nggak bisa bawa kedamaian? Mereka itu jarang ribut-ribut. Anggotanya aja kalem nggak banyak tingkah." Kara mengungkapkan pikirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BOOK 1 MISSION SERIES: MISSION IN CASE (Pindah ke Innovel)
Mystery / Thriller[Sebelum baca, follow akunku dulu yah!] #1 dalam Mystery/Thriller [22 Januari 2019], #1 dalam Remaja [14 Januari 2019], #1 dalam Misteri [14 Januari 2019], #2 dalam Pembunuhan [2 Januari 2019] Kehidupan di SMA Argosaka yang semula tenang berubah men...