[001]

424 67 0
                                    

"Junghae!!" Pekik Myung tercekat. Suaranya bergetar. Ia ingin menangis saat itu juga. Jung menoleh, terkejut. Wajahnya menirus, ia lebih kurus dari terakhir kali mereka bertemu, matanya sembab, dan lingkar hitam menghiasinya.

"Myung?"

Adalah suara yang Myunghae rindukan. Suara rendah dan dalam yang begitu menyenangkan untuk didengar. Suaranya bagai nada dering, mengisi kekosongan dalam kehidupan Myunghae. Gadis ini melangkah maju secara perlahan. Ia membiarkan tasnya jatuh. Matanya kini terpaku pada tangan Jung yang gemetar.

Junghae kenapa?

Makin dekat, makin jelas perubahan signifikan yang terlihat. Sudut bibirnya membiru, tangannya dipenuhi handyplast dan kakinya tidak menyangga dengan benar. Apa ia dibully sedemikian buruk? Melihat hal itu, Myung tidak bisa menahan lagi emosinya. Ia jatuh berlutut dan menangis.

Kemana ia selama ini? Disaat Jung sedang dalam kesulitan, dimana Myunghae berada? Jung menanggung semuanya sendiri, tanpa pernah mengeluh kepada siapapun, bahkan pada keluarganya sendiri. Myunghae terlalu egois. Ia hanya memikirkan perasaannya sendiri. Ia bahkan tidak bisa merasakan apa yang Jung rasakan. Ia merasa seperti sampah. Tidak berarti. Tidak bernilai. Sosok Junghae yang selalu ia kagumi diam-diam, menanggung perih yang amat sangat. Dan Myung tidak dapat melakukan apa-apa akan hal itu.

Junghae menghadap seutuhnya pada Myung yang menangis tersedu-sedu. Matanya membulat terkejut. Tangannya terangkat hanya untuk menyentuh Myunghae dari jauh.

"K-kau kenapa?" Tanya Jung, suaranya serak dan terdengar menyakitkan.

Dada Myung serasa ditusuk ribuan anak panah yang mengandung rasa bersalah. "Maafkan aku." Adalah pilihan kata yang hanya bisa Myunghae ucapkan. Tangisnya tidak kunjung berhenti, begitu pula rasa perih di dadanya.

"Maafkan aku," tangisnya lagi.

Junghae diam. Menatap Myung dengan wajah sendu nan lelah. Jung selalu merindukan gadis itu, merindukan tawa, dan tingkahnya. Tapi mungkin ini beda. Junghae merasa tidak pantas hanya untuk mendekatinya.

"Tidak. Berhentilah menangis," ujar Jung.

Myunghae menggeleng. "Maafkan aku."

"Berhenti menyalahkan dirimu. Ini semua salahku. Akulah yang harus meminta maaf," kata Jung.

Myung mendongak untuk melihat wajah Jung yang terlihat pucat. Gadis ini tertawa kecut.

"Aku muak. Aku muak padamu," katanya. "Berhenti menanggung semuanya sendiri seolah kau itu kuat!"

"Aku memang sahabat yang buruk! Aku tidak pernah peduli padamu. Aku hanya penghalang yang tidak baik untuk kehidupanmu. Tapi ingatlah Junghae. Aku tetap sahabatmu. Setidaknya berikan aku secuil kepedihanmu itu. Biarkan aku ikut menanggungnya bersamamu!" Pekik Myunghae.

Jung masih diam.

Jadi Myung memutuskan untuk bangkit dan berjalan ke arah Jung.

"T-tidak. Jangan mendekat!" Peringat Junghae.

Myunghae tidak mendengarkan. Pilihannya hanya dua, menjauhkan Jung dari sana atau ikut melompat dari atap jika Jung memutuskan untuk melompat. Junghae melangkahkan kakinya ke tunggakan di ujung atap. Ia bahkan lebih takut mendekati Myung daripada mendekati ajalnya. Sebelum sempat jatuh, Myung menarik kerah seragam Jung dan meninju rahangnya hingga anak itu jatuh tersungkur.

Junghae bangkit duduk sambil menatap tajam Myung.

"Apa masalahmu?!" Teriaknya.

Myung menatap Junghae yang menatapnya dingin. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya. Walau mereka bertengkar pun, tidak pernah seperti ini.

"Masalahku? Hah. Kaulah masalahku."

Junghae bangkit berdiri dengan susah payah. Ia mengusap kasar wajahnya dan menatap sengit mata Myunghae.

"Oh? Jadi begitu?" Timpal Jung, tersenyum tipis.

Myung mengangguk. Ia melipat tangannya lalu mendongak, menatap lekat mata coral Junghae yang indah. Betapa Myung merindukan sepasang mata itu.

"Kau adalah masalah terbesarku Moon Junghae. Kau yang membuatku seperti ini. Memang benar. Buat apa aku minta maaf, ini semua kan salahmu," balas Myung.

Junghae tersenyum kecut. Bahkan gadis yang ia rindukan juga berpikir demikian. Nampaknya memang inilah takdirnya. Tapi tak masalah. Ia senang bisa menikmati waktu bersama Myung walau hanya sebentar. Jadi Jung memasukkan tangannya ke saku lalu berjalan kembali ke pinggir atap. Ia menatap jalanan kota yang sepi, cocok sekali untuk spot bunuh diri. Ia membalikkan tubuhnya, menatap Myung dengan senyum di bibirnya.

"Ah, biar kutebak. Kau kesini untuk mengucapkan kata-kata terakhir untukku, kan?" Tanya Jung, menohok hati Myunghae.

Gadis itu mengangguk. Diusapnya air mata di pipinya dengan kasar. "Yep. Fucking correct."

Jung sekali lagi menyunggingkan senyum. Ia membalikkan badannya, menghadap ke jalanan kota.

"Kalau begitu, waktumu 10 detik."

Myunghae diam saja. Tentu saja ia tidak mau perkataannya menjadi kata-kata terakhir yang bisa Junghae dengar. Ia masih punya banyak kalimat yang perlu ia sampaikan. Memilih hanya sekedar sekalimat rasanya tidak adil. Ia menatap punggung Junghae di hadapannya. Punggung yang pernah ia pukul, ia sandari, dan ia tangisi. Haruskah berakhir seperti ini? Myung bukanlah tipikal perempuan yang bisa secara visual mencurahkan perhatian dan perasaannya. Myung tidak bisa begitu. Ia dan Jung sudah terikat, mereka tidak pernah berkata, karena mereka sudah tahu tanpa harus diungkapkan. Seolah ada chemistry istimewa di antara mereka.

Menatap nanar Junghae yang menengadah menatap langit kelabu. Menunggu sisa-sisa detik sebelum Jung benar-benar melompat dan meninggalkannya, untuk selamanya. Tangan Myung kaku, ragu untuk meraih tangan Jung, atau sekedar kembali meninju rahangnya.

Junghae tersenyum. Ia merentangkan tangannya sambil merasakan angin menerpa lembut tubuhnya.

"Sisa 2 detik atau kau akan menyesalinya," peringat Jung.

Myunghae meremas ujung roknya. Idiot. Tidak akan semudah itu. Myung masih punya banyak dendam untuk dibalaskan pada Jung. Dan kalau Junghae mati, siapa korban pelampiasannya? Siapa orang yang akan ia rampas bekalnya? Siapa pula orang yang akan menemukannya menangis diam-diam dan menghapus air matanya?

"No," gumam Myung pelan. "I won't let you die, if I don't want you to die."

Junghae tersenyum lebar kali ini. Ia menutup matanya.

"Kalimat yang bagus."

Setelah itu ia melangkahkan kakinya ke udara dan ia benar-benar tidak lagi memiliki tempat untuk berpijak. Sudah itu saja. Dengan senyuman dan air mata yang menghias, Jungahe resmi meluncur dari atap sekolah.

Dengan Myunghae yang ikut melompat di sampingnya.

"I like you, dummy. Ah, no. I love you."

해해 | Junhao[✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang