Alana

36 5 0
                                    

Pelanggan masih ramai sedang senja sedang berada di ujung tanduk. Tumpukan kertas HVS berserakan di lantai dan meja kaca yang merangkap sebagai meja kasir. Gunungan buku tak pelak menjadi penghuni tempat itu. Sebuah ruko kecil berukuran 3x3 meter, dengan sebuah komputer lengkap dengan printer diatas meja kecil, sebuah meja kaca panjangnya satu meter, dan sebuah mesin fotokopi yang menjadi primadona di tempat itu.

Sejak siang gadis itu sudah berada di sana bersama dengan kawan karibnya sekaligus pemilik tempat di mana ia bekerja kini. Telah setahun terakhir ia bekerja di sana. Meski upah yang dikantonginya tak cukup besar-800 ribu rupiah per bulan-ia selalu bersemangat menjalaninya. Uang gajinya itu selalu ia pergunakan untuk membayar kost yang ditinggalinya sekarang, sedang sisanya untuk biaya perkuliahannya.

Dua tahun sudah gadis itu, Alana, menempuh pendidikan sarjananya di salah satu institut swasta terbaik di bilangan Jakarta. Melalui beasiswa, dia dapat melanjutkan mimpi yang selama ini selalu diimpikannya. Kelurganya adalah semangat dan alasannya tersenyum. Bersama kawan karibnya, Mamad-penerima beasiswa yang sama sepertinya-ia melewati tahun pertamanya di kampus dengan cukup berat. Sebagai anak daerah, dibutuhkan usaha lebih agar mampu bersosialisasi baik dengan mahasiswa lainnya yang mayoritas berasal dari Jakarta. Tahun kedua, mereka mulai berada dalam kelas yang membuat banyak mahasiswa ingin berteman dengan mereka. Mulai dari Mamad yang terpilih menjadi ketua Rohis dan Alana menjadi ketua LPM (Lembaga Pers Mahasiswa). Ditambah lagi IPK mereka yang terbilang wah, menjadikan mereka favoritnya para dosen pengajar.

Memasuki tahun kedua pula, Alana mulai mencari pekerjaan sampingan untuk menambah biaya hidupnya. Uang bulanan beasiswanya sering tak datang tepat waktu. Untuk meminta kepada orang tuanya ia tak enak hati. Alana tau, kedua adiknya juga butuh uang untuk biaya pendidikan mereka di kampung.

Allah memang sebaik-baiknya penolong. Di tengah mencari pekerjaan paruh waktu yang pas buatnya, dipertemukanlah ia dengan Meisya, pemilik tempat ia bekerja sekarang. Awal perkenalan mereka membawa Alana ke pekerjaan yang dibutuhkannya saat itu.

Mengerjakan tugas kuliah, belajar, menjadi ketua organisasi sekaligus bekerja paruh waktu bukanlah hal mudah bagi Alana. Dia harus mampu membagi waktu itu semua. Pagi sampai siang, dia kuliah. Siang sampai selapas Isya dia bekerja di tempat fotokopi milik Meisya. Dan malamnya dia harus belajar, mengerjakan tugas, dan membuat agenda beserta artikel untuk LPM. Untunglah Meisya adalah teman yang baik. Sehingga, ketika Alana mendadak harus rapat LPM izin selalu diberikan sang bos.

Sore ini seperti biasa. Seperti biasa pula setiap awal semester tempat kerjanya selalu ramai. Bagaimana tidak, fotokopian itu berada di depan dua universitas. Otomatis setiap mahasiswa yang butuh jasa fotokopi akan lari ke tempatnya. Tapi karena ini awal semester jumlah pelanggan bertambah hingga seratus persen. Yang awalnya sehari tidak lebih dari 20 orang, sekarang mencapai 40 orang. Mulai dari buku pengantar ilmu perkuliahan (untuk mahasiswa semester awal) hingga beragam jurnal penelitian sudah difotokopinya hari ini. Beruntung hari ini ada Meisya yang membantunya. Biasanya jika Alana sudah datang bekerja, Meisya hanya duduk mengelakarinya. Karena sebelum Alana datang, Meisya yang mengambil alih tugasnya itu.

Adzan Isya berkumandang seakan suara bel pulang bagi Alana. Tubuhnya seolah remuk. Tangannya kaku dan tidak bertenaga lagi. Perutnya keroncongan, hari ini dia hanya sarapan pagi dan tidak makan siang. Tapi baru sekarang perutnya terasa lapar, saking sibuknya melayani pelanggan yang bejibun.

"Al, kamu udah makan?" tanya Meisya memperhatikan Alana yang sedang membereskan kertas HVS yang berserakan di lantai.

"Belum. Nanti mau mampir ke Kedai Pak Seger."

"Yaudah. Maaf ya aku gak bisa antar kamu pulang. Besok aku traktir makan malam." Meisya menyandang tas mininya dan menepuk pundak Alana seolah isyarat bahwa dia akan pulang lebih awal.

"Iya nggak apa-apa. Hati-hati di jalan."

Alana tau, Meisya tak benar-benar menganggapnya sahabat. Bagi Meisya, Alana hanyalah pesuruhnya. Namun, Alana tak putus harapan. Baginya, pendidikan adalah yang utama. Tidak peduli bagaimana orang memandangnya, asal ia selalu berbuat baik pada orang lain maka kewajibannya sudah gugur. Itulah yang dia yakini.

Dan kebaikan itu pulalah yang membawanya pada takdir kehidupannya. Takdir membawanya menjadi manusia yang lebih tabah. Mengantarkannya pada hidup yang tidak pernah terbayang sebelumnya.

Bersambung....

ALANA & CHANDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang