Chandra

18 5 0
                                    

Suara wanita yang berbicara di telepon menjadi pengisi ruangan raksasa itu. Seorang laki-laki yang merupakan anak tunggal si wanita hanya terpekur mendengarkan. Segala macam hal ditanyakan wanita paruh baya itu kepada penelepon, mulai dari keadaan saham perusahaan, inflasi, kontrak dengan pemerintah hingga harga kursi di pasaran. Maklumlah, wanita itu adalah pebisnis ulung dalam bidang manufaktur. Di samping itu dia adalah orang yang selektif dalam memproduksi barang-barang yang akan di jualnya. Sasaran pasarnya pun bukan lagi skala lokal, melainkan manca negara. Impor barang sudah dilakukan keseluruh wilayah Asia dan sebagian Eropa dan Amerika tapi belum mencapai Afrika dan Australia. Bukan tak ingin mengembangkan usaha itu ke dua benua besar tersebut, hanya saja terbatasnya waktu dan kemampuan sang wanita yang tidak muda lagi.

Namun, harapan besar itu ia curahkan kepada anak semata wayangnya ini yang sekarang masih kuliah memasuki semester 5 di salah satu universitas terbaik di Malaysia. Sudah setahun mereka menetap di sana untuk mengelola kantor cabang yang diresmikan tahun lalu. Saat ini sudah ada lima kantor cabang yang tersebar di lima negara, Indonesia (Jakarta), Malaysia (Kuala Lumpur), Korea Selatan (Busan), Amerika (New York), dan Austria (Wina). Betapa sibuknya wanita itu. Janda satu anak itu mengekspektasikan untuk menyerahkan segala aset yang dimilikinya ini kepada Chandra, laki-laki yang sedari tadi duduk di meja makan dan mendengarkan Mamanya bicara di telepon.

"Minggu depan kamu bisa ke Jakarta dan kuliah di sana. Kamu akan kuliah di jurusan industri kreatif. Karena perusahaan kita membutuhkan ide-ide segar untuk pengembangan perusahaan ke depannya."

"Tapi Ma, aku bahkan belum sarjana di sini. Sudah dua kali aku ganti kampus dan sekarang untuk yang ketiga kalinya?"

"Kamu tidak butuh ijazah atau gelar sarjana, Chandra. Kamu hanya perlu ilmu. Semakin banyak ilmu bisnis dan industri yang kamu kuasai, akan semakin baik juga untuk perusahaan. Kamu anak laki-laki tunggal di keluarga ini. Mama membangun ini semua untuk kamu dan anak cucumu. Jika kamu tidak bisa melakukannya karena Mama, setidaknya lakukanlah semua perintah Mama demi istri dan anak-anakmu kelak. Mama tau kamu anak yang bijak, jadi mengertilah nak."

Untuk kesekian kalinya Chandra harus mengalah. Bukan tak ingin menentang Mamanya, hanya saja ia terlalu takut dengan hukuman Allah. Tak apalah sekarang dia menggadai dirinya sendiri untuk kebahagiaan Mamanya, supaya di akhirat dosa kepada Mamanya sedikit tertangguhkan.

Selesai makan pagi bersama, Mama pergi ke kantor cabang sedangkan Chandra di rumah. Untuk hal ini, Mama tidak terlalu memaksa Chandra untuk ikut dengannya ke kantor. Beliau hanya memaksa Chandra untuk sekolah sesuai keinginannya. Beliau percaya jika ilmu yang dimiliki Chandra sudah cukup, maka dengan sendirinya Chandra akan siap memasuki dunia bisnis miliknya.

Begitulah hidup Chandra. Semua keputusan dalam hidupnya diambil oleh sang Mama. Tidak ada baginya kesempatan untuk memilih jalan yang ia kehendaki. Hidup mewah memang mengitarinya, tapi hati kecilnya menolak segala kemewahan ini. Chandra tak butuh ini semua, dia hanya ingin bebas. Bagaimana bisa, sangkar emas telah mengurungnya dan Mama selalu mengawasinya. Mama bukan orang asing, beliau adalah orang tua Chandra. Bagaimana dia bisa tidak mengindahkan setiap perintahnya. Selalu Chandra yakinkan dirinya jika Mama sangat menyayanginya dan semua keputusan sepihak yang Mama buat adalah karena Mama menyayanginya.

Saat ini Chandra belum tau. Mulai minggu depan hidupnya takkan sama lagi. Dia akan bertemu dengan takdirnya. Takdir yang menyingkap rahasia-rahasia terbesar dalam hidupnya, yang akan membuatnya tidak lagi menjadi Chandra yang sekarang.

Bersambung....

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 06, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ALANA & CHANDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang