YOUR VOMMENTS IS PERFECT FOR ME
HAPPPY READING
‹•.•›
“selamat datang di kedai “ESPEDE”, ada yang bisa saya bantu?” ujarku ramah dengan senyum andalanku.
“Oh ya, saya akan ada acara kantor untuk minggu depan jam 8 malam. Apakah bisa saya mem-booking tempat ini?”
“Bisa-bisa. Ini paket menu kami untuk acara-acara seperti itu, atau bisa juga memesan jika sudah disini tergantung permintaan” kataku sambil menyerahkan buku menu.
“Oh menunya kalau sudah hari-H saja mbak. Biasa selera anak muda berbeda-beda. Ini uang DP-nya apakan cukup?”
“iya ini sudah cukup”
“Emm..mbak ada nomer yang bisa dihubungi untuk sekedar konfirmasi?”
“Ada mas, ini nomer kedai kami bisa dihubungi”
“baik mbak terimakasih”
“sama-sama”
Lelah. Mungkin kata itu belum bisa mendeskripsikan keadaanku saat ini. Ingin berontak, tapi kepada siapa? Lalu hanya tersisa satu pilihan yaitu kuat. Jika tidak semua akan hancur sia-sia. Seorang yang dulunya aku yakin akan menjadi obat untuk lukaku, ternyata malah menambah luka baru. Menyayat perasaan menggores hati. Hingga hanya tersisa kepingan terakhir. Entah siapa lagi yang akan mematahkan kepingan terkahir ini, yang aku harapkan kepingan terakhir hati ini tidak jatuh pada orang yang pandai mematahkan.
“nglamun mulu mbak?” kata seorang mengagetkanku
“Hah?.. eh Ra udah selesai urusan kamu? Gimana keadaan mamamu?” kataku.
Sedikit cerita tentang Dara. Dia anak yatim, dan sekarang tinggal bersama ibunya yang bisa dibilag kondisinya memprihatinkan. Semenjak ayahnya meninggal ibunya menjadi depresi dan perlahan kesehatanya menurun. Itulah sebabnya Dara sering keluar masuk rumah sakit untuk mengantarkan ibunya berobat.
“Ya gitu tang, belum ada peningkatan. Seperti kata dokter 1%. Semogaku tak pernah berhenti untuk kesehatan dan kebahagiaan beliau” katanya sambil tersenyum yang menurutku sedikit, dipaksakan.
“Pada dasarnya harapan itu tidak memiliki ambang batas untuk mengakhiri. Kita sendiri yang mengendalikannya. Aku yakin ibu kamu akan sembuh. Walaupun dokter mengatakan peluang beliau kembali sembuh 1% setidaknya itu merupakan harapan bukan? Kita harus memanfaatkan peluang itu semaksimal mungkin. Beliau juga sudah aku anggap menjadi ibu aku, jadi jangan sedih. Senyum ya” kataku sambil memberikan pelukan.
“Makasih lintang"
“sama-sama”
“Udah waktunya ngapelin pacar aku nih. Aku duluan ya, hari ini jadwal Siftnya Bobby-kan?” kataku. Bobby itu karyawan laki-laki satu-satunya di cafe ini, ya bisa diandalkan lah. Anaknya baik, rajin, cocoklah buat jadiin imam.
Becanda ha ha.
Pacar yang aku maksud disini ya siapa lagi kalo bukan Si Jingga
Aku rasa senja kali ini sedang tak bersahabat denganku, aku rasa senja kali ini bukan ditujukkan untukku. Entah mengapa kedatangannya yang ditemani kumpulan kabut dan mendung yang kelam menyamarkan wajah sang surya. Tak ada lagi hangat sinarnya. Membuka memori kelam pada ruang nostalgia. Rindu ini kembali membuncah seakan menarikku kembali di persimpangan yang memisahkan aku dan dia. Perih, bagai tertanam belati, tergores kenangan pahit yang dibalut janji manis. Ahh, lengkap sudah.
“Tidak selamanya senja milik jingga nona, ada kalanya senja milik kelabu” Ujar seorang disampingku.
Dan saat aku menoleh, Tuan sok tau. Ah tidak-tidak, Gavin namanya aku masih ingat. Aku memperhatikan dia dari atas sampai bawah, kenapa belakangan ini dunia seakan sempit? Apa tidak ada orang lain selain dia?. Aku rasa dia seorang Fotografer, lihat kamera yang melingkar di lehernya itu, tak pernah tertinggal. Setahuku sih.
“iya tau aku tampan, nona patah hati atau perempuan senja?”
Aku mendengus sebal “Hah percaya diri sekali kau, namaku itu LINTANG bukan nona patah hati ataupun perempuan senja”
“Oh... Lintang ya?” katanya sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
“Seharusnya kau tidak seperti ini, masa lalu itu ada untuk dijadikan pelajaran bukan dikenang dengan senja. Kasihan aku dengan senja yang hanya kau jadikan tempat keluh kesah”
“Tau apa kau tentang aku. Dasar. Kau tak lelah heh berdiri terus?”
“Hahaha... akhirnya kau peka juga aku lelah” Katanya kemudian duduk dan memainkan kameranya
“Tukang poto eh?”
“Sembarangan memang ada tukang poto membawa kamera. Fotografer kalau kau mau tahu bukan tukang poto”
“Sama saja” kataku keras kepala.
“eh mbak kita kan sa—“
“Mbak? Kapan aku mennikah sama kakak kamu heh?"
“sori sori elah, oke ralat. Lin eh Tang.. taulah kita satu kampus kan ya ambil jurusan apa?”
“Penting?”
“Buset galak banget” aku hanya mendengus. Aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku, sudah waktunya pulang. Kemudian aku bergegas pulang. Namun, baru saja aku hendak melangkah ada tangan yang menahan lenganku.
“Kemana?” oh aku lupa masih ada manusia di samping aku.
“Pulang lah”
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind The Sunset
Teen Fiction"Sebab setelah kamu memilihnya, senjalah yang setia menemaniku. Cukuplah dia menasehatiku dengan bahasanya sendiri, dan biarkan aku memahaminya dengan caraku sendiri" Jika Lintang tidak memiliki keinginan mengejar langit jingga yang tak kunjung dia...