5 : Hitung Mundur

284 35 6
                                    

Sera bertemu dengan Pak Ari, guru olahraganya di luar gimnasium.

Pria tua itu mengernyitkan keningnya pada Sera. Sera meringis, menggaruk pipinya yang sama sekali tidak gatal.

"Kamu...abis berenang?"

"Oh!" Sera menatap kaus olahraga yang melekat di tubuhnya, kedua pipinya memerah, "Nggak pak. Itu-err..."

Sera terdiam, mengulangi kejadian barusan di benaknya.

"Pak..." Sera akhirnya berkata dengan perlahan, matanya melirik gedung gimnasium yang besar, "Rian biasanya selesai latihan jam berapa?" Lanjutnya kalem.

Pak Ari menepuk dahinya, "Waduh bapak lupa dia masih ada di dalam. Makasih ya, Sera." lalu berjalan dengan cepat ke dalam gimnasium. Sera ternganga. Pak Ari bahkan tidak menjawab pertanyaannya! Sera memperhatikan dari belakang, ke arah gedung gimnasium yang besar dan lapangan seluas mata memandang yang mengelilinginya.

Ia baru menyadari langit agak mendung, dan di dekat gimnasium, seluruh hiruk-pikuk lalu lintas dan anak-anak sekolah tidak terdengar. Seolah-olah ia berada di tempat yang kedap suara dan jauh. Tempat terisolasi yang hanya orang tertentu yang kebetulan menemukannya. Sebuah rahasia. Untuk pertama kalinya, Sera berpikir bahwa gedung itu terlihat kesepian.

***

"Jadi, rekor tahan napas lo berapa?"

"Delapan menit dua detik."

Sera melirik, mendapati Jarwo dan Calvi—duo badung yang kalau tidak salah mengikuti ekstrakurikuler renang-berbicara di dekat lokernya. Jarwo menepuk keras bahu Calvi, "Kerja bagus. Tapi tetep aja kalau dibandingin sama Rian, lo nggak ada apa-apanya."

Sera memutar otaknya. Satu kepingan jigsaw akhirnya masuk akal. Sera menutup lokernya pelan, menarik napas.

Jadi Rian tadi sedang berlatih bernapas dalam air?

Pantas saja cowok itu tidak kunjung muncul ke permukaan.

Sera menyentuh rambutnya yang masih belum kering, melengkungkan bibirnya ke bawah. Ia baru saja merutuki rambutnya yang semakin terlihat jelek karena basah saat suara lembut dan manis memenuhi indra pendengarannya.

"Rian!"

Sera menoleh. Si cantik Klarisa, dengan tubuh tinggi ramping dan rambut indahnya berjalan layaknya model kelas atas melewatinya. Wangi buah peach yang segar dan bunga memenuhi indera penciumannya.

"Gimana latihannya?"

Sera mengalihkan pandangannya, mulai berjalan dengan kepala menunduk. Klarisa, seperti biasa—menempel pada Rian dengan senyum ceria dan banyak hal untuk diceritakan. Mereka berdua memang sudah berteman semenjak awal masuk sekolah, dekat. Rasanya setiap orang di sekelilingnya menganggap mereka berdua lebih dari sekedar teman, tapi baik Rian maupun Klarisa tidak ada yang mengkonfirmasinya secara langsung.

"Kayak biasa," Rian menjawab, mendorong Klarisa saat cewek itu berusaha mendekat, "Jangan deket-deket, gue bau."

"Tapi lo kan abis mandi," Klarisa tertawa. Sera merasakan langkahnya sedikit lebih cepat, jantungnya berdegup-degup melihat sebentar lagi ia akan berjalan melewati mereka berdua. Ia teringat kembali insiden memalukannya bersama Rian tadi pagi. Ia mulai berdoa dalam hati.

Tolong jangan buat Rian menyadari keberadaannya, tolong jangan biarkan-

"Serena."

Sera melotot, menghentikan langkahnya secara medadak. Jantungnya menghantam tulang rusuknya, seakan-akan mendengar suara Rian saja menakutinya setengah mati.

Sera mengangkat wajahnya, berusaha keras agar ekspresinya tidak terlihat ingin muntah, "Ya?"

"Sepatu," Rian berkata, menunjuk ke arah bawah, "Kayaknya tadi ketuker."

"Oh," Sera melirik Klarisa sebentar, menyadari cewek itu sedang memandangnya penasaran. Ia membuka-tutup mulutnya selama beberapa detik sebelum tersadar.

"Oh."

Setiap siswa di SMA Nusa Harapan memang memiliki sepatu olahraga masing-masing—yang semuanya bermodel sama dan berwarna putih. Jadi wajar saja bila sepatunya dan Rian tertukar. Maksud Sera, tidak, ini sangat bodoh.

Apa setelah ini tidak akan ada kejadian yang lebih memalukan lagi?

Sera kembali dengan cepat setelah mengambil sepatu Rian dari lokernya, menyodorkan sepatu kets putih itu dengan wajah menunduk, "Maaf. Ukurannya mirip."

Rian hanya mengangguk, tapi Sera langsung menyesali perkataannya. Kenapa ia malah menyinggung ukuran sepatu cowok itu? Dan tidak, ukurannya sama sekali tidak mirip. Semua orang bodoh bisa membedakan itu.

Rian tampak agak ragu mengambil sepatu itu dari kedua tangannya, membuat Sera tersadar sepatu tersebut basah karena air. Klarisa berbicara sebelum ia sempat membuka mulut, "Gue ada kantong plastik, sebentar."

Sera memandangi Klarisa membuka sebuah kantung plastik, mengindikasikan Sera agar menaruhnya ke dalam. Sera tersenyum kecut, menaruh sepatu Rian ke dalam kantong plastik tersebut. Memutar tubuhnya, ia bermaksud berjalan pergi saat Rian menahan sikunya.

"Tunggu. Sepatu kamu."

Rian membuka lokernya, memberinya sebuah kantung plastik. Sera menerimanya dengan terburu-buru, menggumam, "Makasih." lalu berjalan pergi.

***

"Jadi, apa yang lo lakuin sama Rian tadi pagi?"

Banu tiba-tiba menghalangi jalannya menuju halte bus, membuat Sera langsung memasang wajah malas.

"Apa?"

"Tadi pagi. Lo apain Rian?"

"Apa sih," Sera mendengus, melangkah ke samping, "Nggak jelas."

"Sera," Banu berdecak, mencegatnya, "Gue nanya serius."

"Gue nggak ngapa-ngapain?" Sera berbohong, meringis saat ia sadar betapa payahnya ia dalam berbohong. "Apaan sih tiba-tiba sok kenal? Minggir."

Banu mengangkat alisnya, tidak bergeming. Sepuluh detik kemudian, "Jadi...?"

"Gue narik dia dari dasar kolam karena gue kira dia tenggelem," Sera menjawab malas, bersiap mengambil ancang-ancang pergi.

"Iya, Rian cerita," Banu melanjutkan tanpa ia tanya, menahan ranselnya, "Kalian kenal darimana? Kenapa lo ngira dia tenggelam? Caper ya?"

"Nggak tahu," Sera melotot, memalingkan wajah. Banu memutar bola mata lagi, "Lo naksir Rian, ya?"

Sera berhenti. "Nggak." Jawabannya sedetik terlalu lama.

"Bohong. Tenang, gue nggak akan ngomong apa-apa ke Rian."

"Apa?" Sera merasakan nadanya meninggi, "Gue nggak suka dia!"

Banu menggelengkan kepalanya, "Terserah. Oke Sera, dengar. Jangan ganggu hubungan orang. Lo tau kan. Rian dan Klarisa. Jangan masuk, lo orang asing."

Sera mengangkat alis, menjauhkan dirinya dari Banu, "....O...ke?" Jadi Rian dan Klarisa benar berpacaran. Ia tidak tahu kenapa Banu tidak mendengarkan perkataannya atau kenapa Banu menganggapnya berbohong soal perasaannya ke Rian.

"Oke." Banu mengangguk.

Sera mendengus kesal, melangkahkan kakinya menjauh dari Banu, "Gue kira apaan."

"Eh, ini seriusan." Banu menahan tas ranselnya lagi, "Jangan caper sama Rian lagi."

Sera mengeraskan rahang, masih tidak mengerti kenapa ia harus mendengar semua ini, "Gue udah bilang, gue nggak tertarik sama Rian."

"Terserah. Gue cuma...ngasih tau aja kalau-" Sera memasang wajah tidak percaya karena Banu terus melanjutkan perkataannya. Sera memotong sebelum cowok itu ngelantur lebih jauh lagi, "Ini kelewatan. Gue udah bilang gue nggak suka Rian dan sekarang lo masih terus bicara omong kosong?"

Banu menghela napas, "Pokoknya Sera, kalau lo mau mengacaukan hubungan seseorang, pastikan lo bener-bener suka sama orang itu."

Sera menganga. Entah kenapa, rasanya ia ingin menonjok Banu saat itu juga. Berusaha menahan amarah, Sera berkata keras-keras, "Oke, makasih infonya!!" lalu berlari pergi dari Banu.

***

Lonely WaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang