Pernikahan adalah suatu hal yang sakral. Dan menjaga pernikahan bukanlah hal yang mudah untuk semua orang. Banyak rintangan dan cobaan selama proses itu. Tidak sedikit yang memutuskan untuk menyerah dan memutus pernikahan itu.
Tapi berbeda dengan Keenan dan Katarina. Walau mereka sudah menikah untuk waktu yang cukup lama, mereka tidak merasakan adanya kejenuhan ataupun cobaan berarti dalam pernikahan mereka. Hanya pertengkaran yang akhirnya bisa mereka atasi bersama.
Anak-anak mereka sudah cukup dewasa, 17 tahun. Dan mereka tidak pernah malu untuk menunjukkan kemesraan mereka di hadapan anak-anak. Walau terkadang anak-anak mereka memilih pergi meninggalkan kedua orang yang dimabuk cinta itu.
Tapi itu yang harus disyukuri, bukan? Mereka tidak pernah berubah. Perasaan mereka tidak berubah. Jadi tidak mungkin ada perpisahan di antara mereka, kecuali kematian. Karena perpisahan biasanya terjadi di antara dua orang yang berubah. Orang itu mungkin tidak berubah, yang berubah adalah perasaan mereka. Itulah manusia.
.
.
.
Keenan menatap istrinya yang sedang berpakaian dengan resah. Perasaannya tidak enak saat istrinya itu mengatakan ingin pergi ke rumah Viktor sendirian.
"Kau yakin ingin pergi sendiri?"
Katarina melirik Keenan dari cermin. "Tentu saja. Aku hanya pergi sebentar, sayang. Kau tidak perlu khawatir."
"Aku bisa mengantarmu setelah rapatku selesai. Atau Taylor bisa mengantarmu." Keenan masih berusaha menggagalkan rencana istrinya itu.
Katarina membalik badannya dan bersandar di lemari. Dia menatap Keenan lembut. "Aku baik-baik saja, Keenan. Aku ingin pergi sebentar. Aku sudah lama tidak pergi sendirian, jadi izinkan aku kali ini saja, ya? Aku hanya akan bertemu kakak sebentar dan langsung pulang."
Keenan mengernyit saat rasa resah itu menguasai tubuhnya. Dia yakin akan ada sesuatu yang salah. Tapi istrinya itu pasti akan terus memaksanya.
"Tidak bisakah kau menungguku? Atau aku bisa membatalkan rapatku. Hmm?"
Katarina berjalan mendekati suaminya itu dan memeluk pinggangnya. "Itu proyek yang sudah lama kau inginkan. Aku tidak ingin merusaknya. Aku hanya pergi sebentar dan akan pulang dengan selamat."
"Sayang?"
Katarina mendongak menatap mata Keenan yang terlihat khawatir. "Aku akan pulang dengan selamat. Aku berjanji, Keenan. Izinkan aku ya? Kali ini saja, hmm?"
Keenan menghembuskan napasnya pasrah dan mengangguk kecil. "Okay. Just this time. Go back home safely, you'd promised. If not, I won't forgive you."
Katarina tersenyum dan mencium bibir Keenan lembut. "Terima kasih. Aku mencintaimu, Keenan."
"Aku mencintaimu, istriku. Pulanglah dengan selamat."
"Baik, suamiku. Aku pergi." Katarina melepas pelukannya dan mengambil tas tangannya sebelum beranjak keluar dari rumah. "Jangan sampai terlambat, Kee. Rapatmu 1 jam lagi."
Keenan melambaikan tangannya saat istrinya itu masuk ke mobil. "Hati-hati di jalan. Pasang seatbelt dengan benar. Jangan melebihi 70 km/jam. Jangan melamun. Dan cepatlah kembali."
Katarina tertawa dan mengangguk. "I know. I know. Jangan khawatir. Aku pergi ya. Jangan lupa jemput Michelle jam 11. Bye!"
Katarina melajukan mobilnya pelan tanpa menunggu jawaban Keenan.
Keenan menatap mobil itu dengan resah. "Tidak akan terjadi apapun, kan? Istriku akan pulang dengan selamat, kan? Dia harus kembali ke sisiku apapun yang terjadi."
.
.
.
Keenan melepas dasinya lelah saat memasuki rumah. Michelle menatap daddynya bingung karena Keenan terlihat sangat resah dan berantakan.
"Mommy dimana, dad?"
Keenan menatap putrinya itu. "Pergi ke tempat Axel. Mommy menemui Paman Viktor."
Michelle mengangguk paham dan melangkah ke kamarnya. Keenan menatap punggung putrinya yang menjauh dan mendesah lelah. Dia masuk ke kamar utama dan merebahkan dirinya di atas ranjang. "Dia seharusnya sudah pulang. Dia tidak pernah pergi selama ini."
Keenan menutup matanya lelah. Dia semakin resah setiap menitnya. Istrinya belum juga menelponnya. Ini sangat tidak biasa.
Kemudian handphonenya berdering memecah keheningan dalam kamar. Keenan membuka matanya dengan cepat dan meraih handphone di saku celananya. Dia tersenyum saat melihat siapa yang menelpon. My Wife.
"Hallo, sayang. Kau sudah pulang? Atau perlu aku menjemputmu?"
Keenan mengernyit saat tidak ada suara yang menjawabnya. "Sayang?"
-Maaf. Apa benar ini dengan Mr.Wilson, suami Katarina Jasmine?-
"Ya, benar. Kenapa handphone istriku ada pada orang lain? Dimana istriku?"
Keenan meneguk ludah saat merasa ada yang tidak beres di sini.
-Kami dari pihak rumah sakit. Istri Anda mengalami kecelakaan lalu lintas dan di bawa ke sini dalam keadaan kritis. Kami butuh keluarga korban datang ke sini untuk informasi lebih lanjut.-
Jantung Keenan berhenti berdetak saat mendengar ucapan orang di sana. Istrinya kecelakaan. Kritis. Korban.
"Apa?" Keenan masih tidak percaya. "Istriku baik-baik saja, kan? Kau bercanda, bukan?"
-Mrs.Katarina Jasmine sedang dalam kondisi kritis karena luka di kepalanya. Anda bisa segera datang kemari untuk informasi lebih dari dokter.-
"Tidak! Tunggu dulu! ISTRIKU KENAPA? Kau jangan bercanda denganku. Dia berjanji akan pulang dengan selamat. Kau jangan berkata yang tidak-tidak."
Si kembar yang mendengar bentakan Keenan langsung menghambur kepadanya. "Daddy ada apa?"
Mike yang melihat daddynya kacau langsung menarik handphone di tangan Keenan. Dia berbicara dengan orang di sebelah sana tanpa mengalihkan pandangannya dari Keenan.
"Baik. Kami segera ke sana. Terima kasih."
Mike menghembuskan napasnya panjang dan menatap adik-adiknya. "Kita ke rumah sakit sekarang. Aku akan menjelaskannya di sana."
Keenan menatap Mike tak percaya. "Kau percaya dengan yang dikatakannya? Dia hanya bercanda, Mike. Mommy tidak mungkin kecelakaan. Dia berbohong."
Mike menatap daddynya dengan sedih. "Kita harus ke sana, dad. Kita harus memastikannya sendiri."
Keenan terlihat akan membantah lagi saat Mike dengan kasar menarik tangan Keenan dan melangkah ke halaman depan. Dia mendorong Keenan ke kursi penumpang.
"Kalian cepat naik. Jangan berpikiran buruk."
Mike memastikan kedua adiknya itu masuk ke mobil sebelum dia mulai melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Dia sebenarnya sangat panik mendengar ucapan suster tadi, tapi dia berusaha menjadi seseorang yang tenang karena daddynya tidak mungkin bisa saat ini.
.
.
.
"Dimana istriku?"
Keenan menerjang meja resepsionis dengan panik. Petugas di sana hanya bisa menghela napas dan memeriksa di komputer.
"Mr.Wilson?"
"Ya. Cepat katakan dimana istriku!"
"Daddy tenang dulu, jangan membuat keributan di rumah sakit." Mike menarik lengan Keenan.
"Mrs.Wilson masih di UGD. Ada di lantai 1, pojok kanan."
"Terima kasih, suster." Mike berterima kasih saat melihat daddynya itu pergi tanpa mengatakan apapun.
Mike beralih pada kedua adiknya dan menggenggam tangan mereka. "Mommy akan baik-baik saja. Kita harus percaya."
Marcell dan Michelle mengangguk dan melangkahkan kaki mereka ke UGD.
Keenan yang sudah sampai di UGD langsung membuka pintunya kasar dan melihat istrinya berbaring di atas ranjang dengan perban melilit kepalanya. Bunyi bip terdengar keras dari mesin di sampingnya.
"Katarina." Keenan melangkah perlahan dengan goyah. Air mata menyeruak dari ujung matanya.
"Hiks..sayang. Apa yang terjadi?" Keenan menggenggam tangan Katarina erat. Dia semakin terisak saat melihat wajah istrinya yang pucat.
"Kau bilang..hiks..kau akan pulang dengan selamat. Hiks..tapi apa ini? Hiks...kau berjanji padaku, sayang. Jangan membohongiku. Buka matamu."
Pintu UGD kembali terbuka dan masuklah si kembar. Mereka menatap sedih mommy mereka yang terbaring lemah di atas ranjang. Belum daddy mereka yang terlihat sangat terluka, isakan keluar dari mulutnya. Mereka tidak pernah melihat Keenan seperti ini.
"Jaga Michelle. Aku akan menenangkan daddy."
Marcell mengangguk dan memeluk bahu Michelle. Tapi adik perempuannya itu lebih memilih memeluknya dan menangis di lehernya.
Marcell membalas pelukan adiknya itu dan mengusap punggungnya. "Mommy akan baik-baik saja, kan? Mommy akan bangun, kan?"
"Kita percayakan pada Tuhan, ya?"
Mike mendekati daddynya dan menatapnya sedih. "Daddy?"
Keenan tidak ingin anak-anaknya melihatnya seperti ini. Tapi situasinya tidak memungkinkan untuk dirinya menjadi seorang ayah yang kuat. Dia berada di posisi yang hampir saja kehilangan orang yang dicintainya.
"Daddy, mommy akan baik-baik saja. Daddy harus percaya itu. Mommy tidak mungkin meninggalkan kita."
Keenan menahan isakannya dan menatap anak sulungnya. Dia tersenyum dan mengusap kepala Mike. "Kau hebat hari ini, Michael. Kau memilih untuk tenang dan membawa kami ke sini dengan selamat. Daddy berterima kasih padamu."
"Harus ada yang melakukannya, bukan? Aku hanya melakukan tugasku hari ini."
Keenan melepas usapannya dan kembali menggenggam tangan istrinya itu tanpa berpikir untuk mencari kursi untuk duduk.
"Aku akan memanggil dokter dulu, dad."
Keenan mengangguk dan duduk di samping Katarina, dia tidak ingin melewatkan satu detikpun untuk melihat wajah istrinya itu. Dia tidak akan bisa hidup tanpa melihat wajah itu. Tidak setelah 20 tahun ini. Dia tidak akan sanggup.
"Kau sudah berjanji, jadi cepat buka matamu, sayang. Aku tidak suka kau melanggar janjimu. Aku mencintaimu, kau harus tetap berada di sampingku." Tidak ada yang menjawab. Hanya suara bip yang terdengar semakin lemah.
"Selamat sore, Mr.Wilson."
Keenan tersadar dan menoleh pada dokter yang berdiri di samping ranjang. Dokter itu seorang pria muda.
"Kau dokter yang menangani istriku?"
"Ya. Saya Ethan."
Keenan hanya mengangguk tidak suka. Dia tidak suka ada orang lain yang memegang tubuh istrinya, apalagi laki-laki muda seperti Dr.Ethan ini.
"Apa yang terjadi pada istriku?"
"Mrs.Wilson mengalami kecelakaan yang cukup parah. Mobilnya dihantam truk barang dari depan. Yang saya cemaskan adalah luka di kepalanya. Benturan itu melukai otaknya. Saya tidak yakin istri Anda akan bertahan. Tapi kami sudah melakukan apa yang bisa dilakukan."
Keenan menatap dokter itu tak percaya. Katarina tidak akan bertahan? Katarina akan meninggalkannya? Secepat ini?
"Kau bisa lakukan apapun untuk membuat istriku tetap hidup, Dokter. Apapun. Aku tidak bisa kehilangannya."
Ethan menatap Keenan dengam sedih. Tidak ada kemungkinan untuk Katarina bangun. Otaknya bisa mati kapan saja.
"Saya akan memberikan waktu untuk Anda, Sir. Gunakan waktu Anda sebaik-baiknya."
"Kenapa Dokter berkata seperti itu? Istriku akan selamat, bukan? Kau bisa melakukan sesuatu padanya. Jangan memintanya untuk menyerah."
Keenan merasa matanya panas dan kembali menatap istrinya tanpa mempedulikan apapun di belakangnya.
"Kau akan bangun, bukan? Kau sudah berjanji akan pulang dengan selamat. Tidak seharusnya kau melakukan ini padaku. Kau tidak bisa meninggalkanku begitu saja. Ini tidak adil, Katarina."
"Daddy? Jangan seperti ini. Mommy akan sedih."
Keenan mengabaikan suara Mike yang pecah di belakangnya. Anak-anaknya pasti merasa sedih. Tapi dia tidak bisa mengabaikan istrinya begitu saja.
"Sayang, buka matamu. Kau tidak mencintaiku lagi? Kau ingin meninggalkanku dan anak-anak? Kau tidak bisa berbuat jahat seperti ini, sayang."
"Daddy."
"Aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu. Kata cinta bahkan tidak cukup, sayang. Aku mencintaimu. Kumohon bangunlah. Bagaimana aku bisa hidup tanpamu?"
Kemudian terdengar bunyi bip yang sangat panjang. Keenan tidak tahu apa yang terjadi. Dr.Ethan menariknya mundur dan dia berada dalam dekapan Mike. Dr.Ethan menempelkan alat kejut di dada istrinya, tapi suara bip itu tidak kembali.
"Apa yang terjadi? Istriku kenapa?"
"Daddy."
"JAWAB AKU!! Istriku kenapa?"
Dr.Ethan menghembuskan napasnya panjang dan membalik badannya menghadap Keenan. "Istri Anda telah meninggal dunia. Kami tidak bisa melakukan apapun untuk menolongnya. Maafkan saya."
Keenan melepas tangan Mike dengan kasar kemudian mendorong Dr.Ethan ke samping. Dia menatap istrinya dengan mata penuh air mata. Istrinya itu tampak lebih pucat.
"Sayang? Jangan bercanda. Ini sama sekali tidak lucu. Buka matamu sekarang, sayang. Berhenti membohongiku."
"Daddy, mommy sudah pergi. Jangan seperti ini." Kali ini suara pecah Michelle yang terdengar. Tapi Keenan mengabaikannya.
"Aku bilang bangun, sayang. Buka matamu sekarang." Keenan mengeraskan suaranya dan meremas tangan Katarina yang terasa dingin di bawah sentuhannya.
"Aku mencintaimu. Aku berjanji akan merubah sifatku. Kau dengar aku? Aku tidak akan melarangmu lagi."
Keenan semakin panik saat tidak melihat adanya tanda-tanda kehidupan di tubuh istrinya.
"Lakukan sesuatu pada istriku, Dokter. Istriku tidak bernapas."
Dr.Ethan hanya bisa tersenyum sedih dan menundukkan kepalanya.
"SELAMATKAN ISTRIKU!! Istriku..." Keenan merasa jantungnya berhenti berdetak dan pandangannya mulai menghilang.
"Tidak. Istriku tidak mungkin pergi. Aku tidak bisa hidup tanpanya. Istriku..."
Kemudian Keenan jatuh ke lantai saat kesadarannya menghilang sepenuhnya.
.
.
.
"Tidak. Istriku tidak mungkin pergi. Aku tidak bisa hidup tanpanya. Istriku.."
Sepasang tangan mengguncang tubuh Keenan yang penuh dengan keringat. Air mata mengalir di sudut matanya.
"Keenan! Bangun. Buka matamu. Keenan!"
Keenan membuka matanya dengan cepat dan menatap sekeliling dengan gelisah. Anak-anaknya berdiri di sudut ranjang.
"Kau baik-baik saja?"
Keenan menoleh dengan cepat pada istrinya yang sedang mengusap wajahnya. Keenan membelalak dan merasakan air mata kembali menetes dari ujung matanya.
"Kenapa menangis? Kau mimpi buruk?"
Keenan terduduk dengan cepat dan memeluk tubuh istrinya sangat erat. Dia menangis terisak di leher Katarina.
"Keenan? Ada apa?"
Keenan menjawab dengan terbata-bata di sela isakannya. "Aku mimpi buruk. Hiks..kau..hhh..hiks...kau meninggal."
Katarina memejamkan matanya merasakan kesedihan Keenan. Dia pasti sangat tersiksa.
"Aku disini, Keenan. Aku tidak pergi. Aku baik-baik saja."
Keenan masih belum bisa menghilangkan kesedihannya dan semakin mengeratkan pelukannya. Si kembar yang melihat orangtuanya hanya bisa saling melirik dan memutuskan untuk keluar dari kamar.
Katarina yang melihat anaknya keluar hanya tersenyum kecil. Anak-anaknya tahu kalau situasinya tidak pantas dilihat mereka.
"Jangan pergi..hiks..sendirian lagi. Aku bisa mati karena mencemaskanmu."
"Iya, Keenan. Aku tidak akan pergi sendiri lagi. Maafkan aku."
Keenan menghembuskan napasnya panjang untuk menghentikan isakannya. "Kenapa kau pergi selama ini?"
Katarina mengusap punggung Keenan yang basah dengan lembut. "Sebenarnya aku sudah pulang beberapa jam yang lalu. Tapi ban mobil bocor, jadi aku harus menunggu Nate datang menjemputku. Maafkan aku."
"Kenapa tidak menelponku dulu? Aku hampir mati cemas."
Katarina menarik tubuh Keenan menjauh dan mencengkeram bahunya. "Berhenti menangis dulu. Aku baik-baik saja. Itu semua hanya mimpi buruk, okay? Kau tidak perlu cemas."
"Tapi..."
Katarina membungkam mulut Keenan dengan bibirnya. Keenan hanya bisa terdiam tanpa membalas ciuman istrinya itu. Dia terlalu terkejut dengan apa yang terjadi.
"Aku baik-baik saja. Berhenti menangis, okay? Kau tidak malu menangis di depan anak-anak?"
"Mereka kan tahu kalau aku juga manusia, sayang. Aku juga bisa menangis."
Katarina mengangkat alisnya.
"Apa? Kenapa?"
Katarina mengangkat bahunya acuh. "Well, aku hanya berpikir apa yang kau impikan sampai sehisteris ini."
Keenan menegang dan matanya terlihat ketakutan. "Aku.."
"Aku tahu kau takut, Keenan. Tapi aku pasti akan mati juga, bukan?"
"Sayang.." Keenan menatap istrinya tidak percaya. "Kenapa kau berkata seperti itu? Kau tidak sakit, kan? Kau sehat, kan?"
Katarina tertawa kecil. "Aku sehat, Keenan. Tapi manusia tidak akan tahu kapan kita akan mati. Kita harus selalu siap kapan saja."
Keenan mengerjapkan matanya. "Kau ingin melihatku mati?"
"Tentu saja tidak. Apa yang kau bicarakan?" Katarina membentak Keenan dengan marah.
"Lalu kenapa kau bicara seperti itu? Kau membuatku marah."
"Demi Tuhan. Aku hanya bilang kau harus siap kalau aku pergi kapan saja, Keenan. Aku tidak mungkin tenang meninggalkanmu seperti tadi."
"Kalau begitu jangan pergi. Tetap disisiku."
Katarina tertawa tidak percaya dan bangkit dari ranjang. "Astaga, aku tidak percaya kita membicarakan ini. Kau pikir aku bisa mengatur kapan aku akan mati? Astaga. Kau menyebalkan."
Katarina keluar dari kamar dengan tidak percaya. "Astaga. Bagaimana jika aku pergi tiba-tiba? Aku bahkan tidak tahu."
"Ada apa, mommy?"
Katarina menoleh pada Marcell dan menggeleng. "Nothing. Daddymu menyebalkan."
Katarina duduk di sofa dan menyandarkan punggungnya. Mike yang berada di sampingnya langsung memijat bahunya.
"Mommy lelah, kan? Biar aku pijat."
Katarina tersenyum pada anak sulungnya itu. "Kau memang yang paling mengerti mommy, Mikey."
"Aku kan sudah bilang. Berhenti memanggilku Mikey, mom. Itu menggelikan."
Katarina tertawa dan mencium wajah Mike berkali-kali. "Tapi mommy suka. Mikey."
Mike memutar matanya jengkel dan kembali memijat bahu Katarina. "Kenapa menciumku seperti itu? Aku bukan anak kecil lagi."
"Jangan menciumi Michael. Dia sudah besar."
Katarina menoleh dan tersenyum. "Baik. Aku akan berhenti mencium Mikey. Dan berhenti menciummu. Kau juga sudah besar, kan?"
Katarina membalikkan kepalanya lagi tanpa menunggu respon Keenan. Mike terkikik dan berbisik di telinga mommynya.
"Daddy melotot marah. Menyebalkan sekali, mommy."
"Kau benar, sayang."
Mike kembali tertawa tapi langsung diam karena Keenan menariknya bangkit dari sofa. "Daddy apa-apaan! Aku sedang memijat mommy."
Keenan melotot dan mendorong Mike ke arah saudara kembarnya yang lain. "Bergabung saja dengan mereka. Daddy yang akan memijat mommy."
Katarina tertawa melihat tingkah kekanakan Keenan. "Kekanakan sekali."
Keenan melirik istrinya tajam. "Apa?"
Katarina mengangkat bahunya acuh dan bangkit berdiri. Dia melangkahkan kakinya saat Keenan menginterupsinya.
"Kau mau kemana?"
Katarina tidak menjawabnya dan melanjutkan langkahnya ke dapur. Dia mengambil jus jeruk sebelum kembali ke ruang keluarga.
"Kau mengacuhkanku?"
Katarina mengabaikan Keenan dan meminum jusnya. Matanya menatap tv yang menayangkan berita. Dia meletakkan jus ke meja dan membaringkan tubuhnya di sofa dengan kepala di atas pangkuan Keenan.
Si kembar berdecak malas dan kembali fokus pada kegiatan mereka. Marcell dengan bukunya, Michelle dengan iPadnya, dan Mike dengan tv.
"Kukira kau mengacuhkanku."
"Aku memang mengacuhkanmu."
Keenan mengangkat alisnya bingung. "Kalau kau mengacuhkanku, kenapa bersandar padaku?"
"Diamlah, aku lelah."
Keenan menatap lembut istrinya dan mengusap kepalanya. "Makanya jangan pergi terlalu lama. Kau jadi kelelahan."
"Siapa mengira ban mobilnya akan bocor?"
Katarina membalik badannya dan memeluk perut Keenan. Dia memejamkan matanya. "Aku mengantuk."
"Tidurlah. Aku akan menjagamu."
Si kembar melirik kedua orangtuanya dan tersenyum kecil. Mereka mungkin sudah bosan melihat kemesraan orangtua mereka, tapi mereka selalu bahagia melihatnya. Karena mereka bisa merasakan cinta yang besar dalam rumah mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay With Me ✔ (PINDAH KE DREAME)
RomanceSelama ini aku hanya tahu bagaimana hidup sendiri. Tidak mengingat siapa orangtuaku atau kerabatku. Hidup hanya untuk bekerja dan bekerja. Aku merasa bisa melakukan semuanya sendiri. Tidak perlu bantuan orang lain. Karena itu aku mengisolasi diri da...