Partikel-partikel debu yang terlihat mencolok karena terkena sorot mentari pagi sukses membuatku tersenyum. Hari ini begitu cerah, sama seperti keadaan hatiku sekarang. Semburat cahaya yang terpancar dari ventilasi membuat kamarku terang meski tidak menerangi keseluruhan sudut ruangan.
Hal pertama yang ada di benakku adalah, bagaimana caranya supaya hari ini berjalan dengan baik seperti semestinya. Tidak seperti hari kemarin-kemarin yang sukses membuat moodku buruk, sangat buruk.
Pagi ini aku sudah menyiapkan semua hal-hal yang harus kubawa untuk kuliah. Mulai dari buku tulis, pulpen, label, dan buku panduan tentunya. Mengingat aku yang baru kuliah selama satu semester di universitas. Jadi aku harus rajin, jangan bermalas-malasan.
Eitss.. bukan karena masih baru-baru menjadi mahasiswi. Tetapi karena aku sudah terbiasa hidup disiplin. Semua hal yang menurutku akan dibutuhkan sewaktu-waktu selalu kubawa. Seperti payung yang setia mendekam di dalam tasku, walau pun sekarang bukan musim hujan. Aku tidak sampai hati membiarkan payung ajaib milikku itu terpantri di pelosok kamar.
Mengapa aku menyebutnya payung ajaib? Karena ketika payung itu terkena rinai hujan, atau terkena air rintik-rintik. Maka payungku yang semula berwarna putih polos akan berubah menjadi bermotif polkadot warna-warni. Ajaib, bukan?
Ah, aku jadi teringat masa-masa sewaktu SMK. Di mana aku bisa bebas bercanda bersama teman-teman dekatku di bawah langit yang sengaja menumpahkan air matanya. Kami saling bermain cipratan, berlarian, atau dengan sengaja memelesetkan diri di teras perkarangan rumahku yang cukup luas.
Terkadang usai mandi hujan, bukannya langsung membersihkan diri, kami justru sharing, saling memberi saran ketika ada salah satu di antara kami yang sedang memiliki masalah. Sebisa mungkin dari kami memberi saran, atau sekadar mendengarkan. Itu sudah lebih dari cukup bagi kami.
Dulu aku berpikir jika kuliah lebih menyenangkan daripada sekolah, karena setiap hari guru-guru dengan teganya menyuruhku mencatat materi dan mengerjakan tugas yang banyaknya tak terkira.
Namun ternyata aku salah besar. Bersekolah itu jauh lebih menyenangkan daripada kuliah. Ketika sekolah biasanya aku mengisi jam kosong dengan menonton drama Korea di kelas, atau paling tidak aku mendengar lagu seraya memejamkan mata. Atau aku dan teman-teman dekatku di kelas bermain ozom, gunting kertas batu, ampar-ampar pisang, dan sebagainya.
Tidak seperti ketika sekolah. Saat kuliah, tidak pernah ada jam kosong. Dosen selalu masuk ruangan dan tidak pernah absen. Setelah itu pasti mereka langsung memberikan materi yang aku pun bingung harus menulis dari bagian mana, karena dosen juga tidak menjelaskannya secara detil, hanya gambaran besarnya saja. Apalagi aku mengambil progam studi manajemen keuangan yang setiap materinya membuat otakku mengebul.
Sekitar enam bulan yang lalu, aku sangat bersyukur karena telah lulus SNMPTN. Kalian tahu? Aku sangat bahagia saat membaca pengumuman itu di website. Rasanya aku ingin teriak sekencang-kencangnya, meluapkan rasa senang dan syukurku melalui jeritan suara. Sebab SNM itu bukan masalah kuantitas nilainya, tetapi kualitas dari nilai itu sendiri.
"Kak Farrah!!"
Aku mengerjap pelan saat indera pendengarku menangkap sebuah suara yang menyerukan namaku. Suara seseorang yang bisa menjadi musuh sekaligus teman curhatku. Dia adalah Danish, adik laki-lakiku.
"Iya, tunggu sebentar!" seruku dari dalam kamar.
Helaan napas kasar dari Danish terdengar, aku tahu pasti anak itu sudah menungguku cukup lama. Wajar, perempuan kalau sudah dandan pasti akan berlangsung lama. Apalagi perempuan harus mengenakan kerudung, jilbab, dan tak luput kaos kaki yang membaluti kedua kakiku.
![](https://img.wattpad.com/cover/154596148-288-k118066.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Painful Endeavor [UNHOLD]
SpiritualFarrah, seorang fangirl garis keras yang bercita-cita ingin menonton konser idolanya. Sayangnya Farrah hidup di keluarga yang religius, bahkan ayahnya adalah seorang ustadz sementara ibunya adalah seorang psikiater di sebuah rumah sakit ternama. Awa...