Satutunggal

1.5K 190 47
                                    

"Jadi baginda. Baginda serius dengan keputusan kemarin?" Pertanyaan dari salah satu tangan kanannya membuat sosok yang duduk di kursi itu menoleh seketika.

"Kau pikir saja... pernah aku main-main jika mengatakan perang?" Tanyanya balik. Menatap heran pria bertubuh tinggi didepannya.

"Tapi, baginda. Kalau kita menyerang Batanghari, sementara kita belum mengetahui negeri itu seutuhnya. Kegagalan kita mungkin lebih besar. Lagi pula jika itu terjadi, akses jalur perdagangan dari Musi akan diputus."

Ada untung dan ruginya memiliki 12 tangan kanan yang cerdas. Tidak usah ditanya apa untungnya, tapi ketahuilah ruginya. Bahwa mereka akan berpikir tentang tindakan sang raja hingga ke ujung akar, menyebabkan sebuah keraguan tersendiri pada sang raja.

"Jadi, apa yang harus aku lakukan?"

"Mungkin anda bisa kirim mata-mata kita untuk menyusup kesana." Ucapnya.

"Tapi baginda, semenjak wafatnya Tan Bun An, sulit mencari seorang mata-mata yang bisa menggambarkan detail wilayah musuh..." tambah seorang pemuda lagi dengan tubuh yg lebih kecil. Mata sipitnya menatap karpet istana sambil memutar otak.

"Hang Juan?"

"Iya baginda?"

"Kau tak bisa pergi kan?"

"Maaf, benar baginda." Sultan Bagus menghela nafasnya. Pria itu berdiri dan berjalan ke arah jendela, menyatukan tangannya di belakang punggung.

"Tak ada alasan pula untuk menahanku pergi kesana." Ucapnya yang membuat Hang Juan dan Abdul Hasyim melebarkan mata mereka.

"Baginda..."

"Tapi, baginda. Alangkah bahayanya-"

"Kau pikir aku pergi sendiri, Hasyim?" Pertanyaan Bagus memotong protes dari perdana menteri kesultanan Sriwijaya itu.

Bahkan belum Bagus memindahkan tatapannya dari Hasyim saat pintu ruang kerja itu terbuka. Menampakkan dua orang pria bertubuh tinggi yang langsung menekuk lutut begitu melihat Bagus.

"Abdul Fatah bin Ruslan Hamid, mohon menghadap baginda." Hormat seorang pria berkulit Tan.

"Damar Yusuf bin Raden Pancadikromo, mohon menghadap baginda." Ikut seorang pemuda yang lebih cerah sedikit dibanding pemuda di depannya.

"Tidak usah kaku. Hanya ada kita disini..." ucap Bagus tanpa melepas afek ramah di wajahnya, membuat kedua pria tadi bangun dan duduk di salah satu kursi.

"Ada risalah apa hingga baginda memanggil kami?" Tanya Damar yang membuat Bagus terkekeh.

"Kalian sudah tau. Jelas. Untuk apa aku beritahu lagi?" Tanyanya balik.

"Kalau begitu, kapan kita bisa bergerak?"

"Secepatnya."

"Ada info dari Abdul Fatah?"

"Terlalu lama untuk ke Batanghari dengan kapal." Ucap Abdul Fatah.

"Jika lewat jalur darat, hanya memakan waktu sehari semalam." Tambah Hasyim.

"Keuntungan dan resiko tertangkap juga kecil. Mungkin Baginda bisa dipertimbangkan." Bagus hanya diam. Matanya menerawang lebih jauh. Pria itu berpikir dengan jari telunjuk yang mengelus bibir bawahnya.

"Boleh." Ucapnya kemudian.

"Kalau begitu, kapan kita bisa mulai?" Tanya Juan.

"Hari apapun selain hari Jum'at. Aku tidak mau kewajiban kita terhalang." Jawab Bagus.

Bagus Kuning {Joshua Hong}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang