Prolog

20 4 0
                                    

Pernahkah kalian mengalami hal buruk hingga tak ingin mengingat hal tersebut lagi?
Pernahkah kalian percaya segalanya telah diatur?
Pernahkah kalian menyalahkan "TAKDIR"?
Pernahkah? Pernahkah?

----

"Huappp..."

Cahaya itu seakan menyorotku. Namun sorotannya sedikit menyilaukan. Sangat terang. Kukerjapkan kedua mataku beberapa kali, mencoba menerima cahaya yang masuk ke dalam retinaku.

Perlahan aku pun terbangun dari alam mimpiku. Sembari mengumpulkan ruh-ruh yang masih berkeliaran kesana kemari, perlahan kuamati ruangan minimalis bernuansa alami ini. Selalu saja begitu.

Dan yang paling kusukai iyalah memandangi langit-langit kamar. Aku juga tak tahu mengapa. Mungkin karena ada gemerlap bintang di seluruh sudutnya. Seakan aku menatap langit yang sesungguhnya. Indah, seperti biasanya.

Apa sudah pagi?

Aku mendengar suara bising dari luar kamar, tepatnya di ruang tengah. Biasanya rumah akan ramai jika kedua sepupuku Edo dan Edi sedang bermain di rumah. Itu pun ketika liburan tiba. Tidak mungkin bukan jika mereka bermain tengah malam begini? Entah siapa yang membuat ribut disana, yang jelas suara itu mengganggu tidurku.

Kurasa belum. Bahkan jam alarmku masih tidur nyenyak.

Aku berjalan keluar dari kamar. Tanpa sengaja kulihat bulan dari jendela yang masih setia memancarkan cahayanya. Ternyata benar dugaanku. Ini masih malam hari. Namun disini begitu ramai. Banyak orang berlalu lalang dengan raut wajah yang tergesa-gesa. Dengan langkah gontai aku mulai menuju pria berbadan tegap di sudut ruang tengah. Perlahan kutarik kemejanya, menandakan aku berada disampingnya.

"Yah,"

Pria bertubuh jangkung yang sedari tadi mengutak-atik handphone-nya sontak menoleh kearahku. Ia segera meletakkan handphone-nya di atas meja lalu berjongkok dihadapanku. Ia memandang wajahku yang kucel sembari menarik kedua sudut bibirnya hingga terukir sebuah senyuman di wajahnya. Senyuman yang sangat tipis, nyaris tak terlihat. Namun terasa begitu menyejukkan bagiku

"Lala kok udah bangun?"

Aku menggosok-gosokkan kedua mataku, mencoba melawan rasa kantuk yang sedari tadi tak kunjung lenyap. "Mengapa ramai sekali, Yah? ada apa?"

Ayahku diam, tak bergeming. Ia masih diam namun semakin mengembangkan senyumannya. Perlahan ia memebelai lembut pipiku dan mengelus rambutku. "Kalau dilihat-lihat lagi, benar kata orang. Kamu lebih mirip bundamu."

Mendengar ucapan ayahku, aku tersadar akan sesuatu. "Oh iya, Bunda dimana?"

Raut wajah ayahku berubah datar. Senyumnya yang mengembang hilang tersapu angin. Sirna begitu saja. "Lala tidur lagi, ya? Bukankah besok Lala sekolah?"

"Tapi Bunda dimana? Lala pengen tidur sama Bunda."

"Tidur sama Ayah aja, yuk? Ayo ayah antar ke kamar."

Mendengar jawaban ayah yang tak seperti harapanku, lantas kulepas pergelangan tanganku dari genggamannya. Aku merasa sedikit kesal. Tak biasanya ayah seperti ini. "Pokoknya Lala mau cari bunda."

Kutelusuri satu per satu orang yang berlalu lalang. Karena ruang tengah ini terlalu luas, aku tak kunjung menemui sosok yang kucari. Namun aku tetap kekeuh untuk mencari bunda. Aku mulai berlari kecil sembari memanggil bunda.

Langkahku terhenti. Ada seseuatu yang menarik perhatianku. Kulihat orang-orang berkerumun di tengah ruangan. Aku mulai berjalan menuju mereka. Beberapa orang memberiku jalan melihat tubuhku yang mungil yang tak sepadan dengan tubuh mereka. Namun ada pula yang tak sengaja menyenggolku karena sedang terburu-buru.

Aku melihat sebuah kain yang agar lebar. Kain itu berwarna putih. Entah kenapa terbesit rasa penasaran di dalam benakku.

Apa yang ada di baliknya?

Kulangkahkan kaki mungilku ke arahnya. Jujur, ada rasa cemas pada diriku. Sedikit. Namu rasa cemasku tak sebesar rasa penasaranku. Aku mencoba memberanikan diri. Perlahan kubuka kain putih tersebut. Kulihat seseorang dengan mata terpejam berada di balik kain tersebut. Wajahnya begitu damai, namun agak pucat tak seperti biasanya. Badannya kaku.

"Bunda mengapa tidur disini? Tidur sama Lala aja yuk," aku sedikit mengguncangkan tubuhnya.

Saya reporter melaporkan bahwa hari senin, tanggal 14 Februari 2011 istri pengusaha Drifty Company bernama Ashifa Caera telah meninggal dunia. Ia akan disemayamkan.....

Aku tersentak. Tubuhku sangat lemas. Jantungku seakan berhenti. Jika aku bisa memutar waktu, aku akan lebih memilih untuk tidak membukanya. Sungguh.

Tidak mungkin...

Tidak mungkin...

Tidak mungkin...

"Bunda.."

"Bangun, Bunda,"

Kasihan sekali, ya.

Padahal kemarin dia baik-bak saja.

"Ayo buka mata Bunda!" Aku tak menghiraukan ucapan dari orang-orang di sekitarku. Air mata mata di pelupuk mataku sudah tak bisa kubendung lagi. Ia mengalir sangat deras tanpa kuperintah. Dadaku terasa nyeri. Sakit. Sangat sakit.

Dari seluruh orang yang berada di sini mereka hanya sibuk mengambil foto dan memperhatikanku dari kejauhan. Tak ada satu pun dari mereka yang yang berniat memberi tahuku mengapa hal ini terjadi. Menghampiriku saja tidak. Bahkan ayahku juga begitu.

Bunda jangan pergi,

Lala butuh Bunda,

Bunda,,

"Bunda!!!"

Ashilla tersentak dari tidur lelapnya. Keringatnya bercucuran membasahi keningnya. Ia memijat pelipisnya singkat sembari menetralkan denyut jantungnya yang tak beraturan.

"Argh! Sampai kapan gue mimpi seperti ini terus?!"

Memang sejak beberapa minggu terakhir ia sering bermimpi tentang masa lalunya. Masa lalu yang ia tutup rapat-rapat. Masa lalu yang berhasil menorehkan luka di lubuk hatinya. Masa yang menjadi awal kehidupannnya yang kelabu. Masa dimana ia kehilangan seorang sosok yang sangat berarti. Ya, sosok yang selalu Ashilla rindukan. Bundanya. Ashifa Caera.

Sepersekian detik kemudian, Ia beranjak dari tidurnya, mengambil sebuah kaca kemudian menata rambutnya yang acak acakan. Cermin yang agar besar tersebut memperlihatkan hampir setengah dari badan Ashilla. Setelah ia menyisir rambutnya, Ashilla mulai mengamati bayangannya sendiri.

"Apa gue kuat?"

Berdasarkan gejala yang sering anda alami, anda mengidap philopobia.

Penyakit ini bisa disebabkan oleh berbagai macam hal.

Kita bisa menjalani pengobatan dengan menelusuri kembali masa lalu anda.

"Tapi sampai kapan?"

Perkataan dokter itu terus terngiang di telingaku. Aku sungguh membenci suara-suara itu. Memang benar bahwa aku memang mengidap trauma yang tak diinginkan semua orang. Trauma akan cinta. Philopobia.

*****

Hello guys!!
Ini adalah cerita pertama aku.
Meskipun agak mainstream, semoga pada suka ya!!

Enjoy the story. ♡


Phylopobic Love (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang