[2] Goresan Kaca

8 1 0
                                    

Sayangnya aku hanya diajarkan caranya mengenang, bukan melupakan.

-Ashilla Caera-

____

Author POV

Ashilla masih kesana kemari mengitari lorong-lorong yang didominasi oleh cat berwarna putih. Sejauh kakinya melangkah, ia masih saja tak menemukan ruangan bertuliskan Ruang Anggrek no 141. Ruang sahabatnya dirawat. Memang sejak kemarin lusa ia sudah merencanakan pergi kemari. Namun dikarenakan banyak aktivitas sekolah yang tak bisa ia tinggalkan, ia baru sempat mengunjunginya sepulang sekolah. 

Sebenarnya Ashilla tak begitu menyukai rumah sakit. Namun ia harus memendam sejenak rasa tidak sukanya itu agar ia dapat bertemu dengan Kayla. Dengan mulut komat kamit, ia terus menyusuri rumah sakit yang luasnya mengalahkan apartemen bintang 5.

“Lurus saja dulu, terus ke kiri baru ke kanan,” Ashilla menggerakkankan telunjuknya sembari menirukan gaya bicara suster yang ia tanyakan tadi. Ia mulai berjalan mengikuti arahan yang dipimpin langsung oleh otaknya. Namun, setelah beberapa menit mengikuti arahan tersebut ia tidak menemukan Ruang Anggrek melaikan jalan menuju parkiran.

“Eh, apa ke kanan dulu ya?” Ashilla mulai meragukan ingatannya sendiri. “Tapi kenapa otak gue bilang kiri dulu baru kanan?”

Ia kembali menyusuri lorong tersebut dengan arahan yang berbeda. Namun sekarang feeling nya yang memimpin.

Satu menit.

Dua menit.

Tiga menit.

Ashilla hanya melihat beberapa ruangan ICU. Tidak ada Ruang Anggrek bertuliskan nomor 141. Ia mulai bingung sendiri dibuatnya. Ia mulai mengingat kembali apa yang suster katakan lagi. Sepersekian detik kemudian, ia mulai mendesah sebal dikarenkan apa yang dikatakan pikiran dan hatinya berbanding terbalik.

“Argh!! Tau ah.”

Ashilla yang mulai merasakan denyutan kecil pada pergelangan kakinya akhirnya memutuskan beristirahat sejenak di salah satu bangku rumah sakit. Ia mulai merogoh sakunya, mengambil sebuah benda pipih berwarna abu-abu. Setelah melihat beberapa notice chat yang masuk, jemarinya mula menari di atasnya.

Kayla : Shil, lo jadi jenguk gue kan?

Ashilla : Jadi kok. Ini gue muter-muter dari tadi nyariin kamar lo. (delete)

Ashilla mengurungkan niatnya mengirim pesan itu. Logikanya mulai berpikir. Bukankah lebih baik jika ia memberikan kejutan untuk sahabatnya itu?

“Ini semua gara-gara kamu!”

“Kamu yang egois!”

“Aku egois? Andai ayahnya gak suka keluyuran tengah malam anak kita gak akan begini.”

“Aku kerja, Ran. Kerja!”

“Bohong! Kamu bermain dengan wanita la-”

Plaakkk.

Sebuah tamparan keras di depan ruang ICU berhasil mengalihkan perhatian Ashilla yang sejak tadi fokus pada ponselnya. Tampak kedua suami istri sedang meributkan sesuatu. Ashilla tak ingin menguping pembicaraan mereka lebih lanjut. Namun karena bangku yang didudukinya tepat di depan ruang ICU, otomatis ia tetap saja mendengarnya.

Tiba-tiba Ashilla merasakan déjà vu. Sederetan ingatan masa lalu menerobos masuk ke dalam fikiran Ashilla.

Flashback On

Tampak seorang anak kecil menangis sesegukan. Ia meringkuk di samping sebuah lemari cokelat berukuran agak besar. Tubuhnya sedikit bergetar. Pandangannya tertuju kepada undangan yang tergeletak manis di atas nakas.

“Lala nggak mau punya Bunda baru,” ucapnya seraya menyeka air matanya yang berceceran.

Seorang pria dengan jas berwarna hitam berjongkok di depan putri kecilnya. “Lala masih kecil, jadi pasti butuh Bunda baru buat menjaga Lala.”

“Enggak! Lala gak butuh orang asing itu!”

Gadis kecil tersebut menyobek undangan hingga menjadi robekan-robekan kecil. Ia menumpahan seluruh amarahnya pada undangan tak berdosa itu, seakan undangan tersebut penyebab ayahnya berubah seperti ini.

“Lala, dengarkan kata-kata Ayah. Dia wanita baik. Cantik pula. Dia bisa menggatikan sosok bundamu," kali ini nada bicaranya lebih tegas daripada semula.

“Wanita itu tidak sama dengan Bunda!”

“Lala! Jaga ucapanmu!” Pria bertubuh jangkung yang mulai kehabisan kesabarannya mulai meninggikan nada suaranya.

“Wanita itu jahat. Lala benci dia. Benciii…”

Plakk..!!

Flashback Off

Sebuah tamparan yang sama. Bedanya, jika di depan ruang ICU tamparan suami kepada istrinya, namun ini tamparan seoarng ayah kepada anaknya. Tamparan itu seakan terulang lagi. Meski sudah terjadi beberapa tahun silam, entah mengapa ingatan tersebut masih saja membekas hingga sekarang. Ingatan tersebut berhasil menorehkan lukanya kembali. Ibarat sebuah kepingan kaca, ia akan membuat orang yang memegangnya terluka. Ia akan menggoresnya sedikit demi sedikit hingga timbul sebuah luka di sana. Luka yang berbekas. Perih. Sakit.

Luka tersebut berhasil menghancurkan hati Ashilla yang sudah ia bangun dengan kokoh. Ia pernah belajar caranya melupakan. Melupakan mereka yang sebenarnya ia sayangi. Meski akan timbul sebuah goresan baru lagi. Namun hasilnya tetap sama. Nihil.

Dan untuk kesekian kalinya,

Aku merasa gagal,

Lagi.

Ashilla tak lagi mendengar perdebatan antara kedua insan itu. Namun ia masih bergelut dengan pikirannya sendiri. Tatapannya kosong. Ia menatap pilar-pilar rumah sakit. Tanpa ia sadari tangan kanannya menyentuh pipinya. Seperti sebuah reaksi dari sebuah tamparan. Sama persis seperti kejadian 8 tahun silam. Sontak ia menggeleng-gelengkan kepalanya berniat menyadarkan diri.

“Nggak Ashilla. Jangan lagi.”

Ia langsung merogoh tas selempang di samping kanannya dan bergegas meninggalkan tempat tersebut.

Sorry, Kay.

Gue ga bisa jenguk lo sekarang.

Lo bisa ngerti,kan?

****

I'm so sorry jika part ini agak pendek.
Next, akan kubuat lebih panjang, insya Allah.

Jangan lupa meninggalkan jejak kalian dengan vote dan comment :)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 15, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Phylopobic Love (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang