Belum sempat ku membagi
Kebahagiaanku
Belum sempat ku membuat
Dia tersenyum
Haruskah ku kehilangan
Tuk kesekian kali
Tuhan ku mohon jangan lakukan ituSebab ku sayang dia
Sebab ku kasihi dia
Sebab ku tak rela
Tak slalu bersama
Ku rapuh tanpa dia
Seperti kehilangan arah[Rapuh; Agnez Mo]
Sempat aku berpikir, apakah Tuhan itu tidak adil? Anak perempuan saja bisa mengeluarkan darah setiap bulan dan dia tetap hidup. Tapi Daniel? Sedikit benturan saja bisa membuatnya berdarah-darah bahkan kematian.
Sejak hari itu, aku tak pernah melihat Daniel masuk sekolah. Rasanya 2 minggu ini tak ada yang menyapaku setiap pagi membuatku sedikit merasa berbeda. Aku berjalan di koridor sekolah sambil sesekali melirik barangkali ada Daniel di sana. Aku bukan mencarinya, aku hanya khawatir.
Kumantapkan hati lalu memberanikan diri bertanya pada salah satu temannya, Woojin.
"Kang Daniel, kenapa lama gak masuk ya?"
"Dia sakit." jawabnya singkat. Seakan, baru pertama kali ini aku merasakan bagaimana rasanya mengalami perasaan 'bagaikan langit runtuh'. Sebuah perumpaan yang konyol menurutku, awalnya.
"Sakit apa ya?" tanyaku terbata
"Kamu mau jenguk? Dia ada di RS ****** kamar Dahlia. Cuma saran, sebaiknya kamu jenguk dia. Tolong semangatin dia ya, Jeong." Woojin menggenggam tanganku penuh harap. Sedangkan aku masih mengerjap tak percaya, berusaha meyakinkan diriku bahwa Daniel akan baik-baik saja. Tapi, entah mengapa perasaanku masih saja bergejolak hingga rasanya perutku mulai mual. Aku meninggalkan Woojin begitu saja lalu masuk ke kelas, menguatkan diriku sendiri bahwa dia akan baik-baik saja.
Ya, Kang Daniel pasti baik-baik saja.
Sepanjang pelajaran, aku sama sekali tidak fokus. Aku kalut, sangat kalut. Perasaanku tidak enak. Aku mulai memikirkan apa yang telah Daniel lakukan untukku.
Ia selalu mengingatkanku untuk minum obat.
Ia selalu menanyakan, apakah aku sudah makan?
Dirumah, sesekali jika bosan aku membalas chatnya meskipun hanya sekedar, 'oh' dan 'ya', tapi dia selalu menemukan topik yang membuatku mengetikkan kata yang lebih panjang dari itu.
Masih banyak lagi. Sungguh.
Aku berjalan cepat di koridor rumah sakit sambil mengusap pipiku sesekali. Sesak sekali rasanya. Aku baru menyadarinya sekarang bahwa aku merasakan apa yang dirasakan Kang Daniel. Aku langsung melongok ke dalam ruangan yang disebutkan Woojin. Tapi, kosong.
"Kim Sejeong?" tanya seorang bapak 40 tahun-nan setelah menepuk pundakku pelan, "Daniel tahu kamu akan datang, ia sekarang ada di lapangan basket dekat sini. Bisa kamu menemuinya?" pintanya dengan suara parau. Disampingnya, ada seorang wanita yang sembab sambil menatap kosong ruangan yang ada didepannya. Aku langsung berlari, lari sekencang yang aku bisa. Di bawah hujan yang mulai mengguyur, aku menemukan Daniel yang sedang mendribble bola basket dengan lihai. Ia pucat sekali.
"Kamu dateng, Jeong? Udah makan?" tanyanya sambil mengukirkan senyumnya seperti biasa. Kali ini, senyumnya indah sekali meskipun bibirnya nyaris tak berwarna. Aku langsung memeluknya.
"Heh? Kamu gapapa?" tanyanya lagi sambil menangkup wajahku. Raut wajah khawatir terpampang jelas disana.
"Daniel, tolong jangan pedulikan aku," ucapku bergetar. Aku tahu bahwa ia tidak baik-baik saja sekarang. Aku takut.
"Kamu kenapa? Jangan nangis, Jeong."
Mendengarnya, air mata yang daritadi ku tahan akhirnya sampai pada batasnya. Akj menangis. Sesegukan.
Perlahan, Daniel berjalan ke arahku pelan. Pelan sekali.
"Boleh aku memeluk kamu?" tanyanya dengan suara pelan. Aku mengangguk. Dan untuk pertama kalinya aku merasa bahwa aku tidak ingin kehilangan seseorang. Aku tidak tahu kenapa aku berpikir seperti itu. Rasa takut benar-benar menyelimutiku sekarang.
Daniel melepaskan pelukannya.
"Kamu bilang ingin melihatku bermain basket? Aku akan bermain sekarang.""Jangan." pekikku. Aku tidak sanggup.
Ia tersenyum, "Ini untuk yang terakhir kalinya."
Daniel menghiraukan aku untuk pertama kalinya. Ia mulai mendribble bolanya cepat. Sangat lihai. Beberapa kali ia berhasil mencetak poin dengan memasukkan bola oranye itu kedalam keranjang. Aku menangis sejadi-jadinya.
Ia tiba-tiba berhenti. Daniel jatuh terduduk dengan lutut membentur lapangan. Darah seketika mengucur deras. Ia tertunduk sedangkan aku langsung berlari menghampirinya.
"Kenapa Daniel? Kenapa?" racauku seperti orang gila. Lagi-lagi, Daniel hanya tersenyum.
"Aku.. Hanya ingin mewujudkan satu keinginanmu. Maaf kalau kamu selama ini terganggu dengan kehadiranku." Tangan Daniel bergetar. Dari belakang, orangtuanya berlari menghampiri putra mereka yang sekarat.
"Aku mencintaimu, Kim Sejeong."
KAMU SEDANG MEMBACA
dear, daniel✔
Short StoryKang Daniel, bahkan mendengar namanya saja Sejeong sudah jengah. Setiap pagi, ia tak ubahnya seperti mesin absen bagi Sejeong. Dengan menampakkan gigi kelincinya, laki-laki itu tetap ramah di depan perempuan paling dingin dalam hidupnya. "Dear Danie...