1. Ajeng: Sales Cokelat

40K 4.5K 200
                                    

BAB 1; Sales Cokelat.

Namanya Raden Ajeng Naraya Sashikirana. Ya, kamu tak salah baca. Nama itu didapat Ajeng gara-gara kecintaan ibunya terhadap budaya jawa. Padahal, jika Ajeng menilik garis keturunannya dari kakek buyut, Ajeng tak memiliki darah jawa sama sekali. Ajeng lebih mirip dengan ayahnya yang merupakan blasteran Sunda-Jepang. Sedang ibunya sendiri keturunan Batak asli.

Ajeng kadang juga suka kesal jika mengingat masa sekolahnya dulu--ketika ia jadi bahan ejekan dan seringkali dipanggil 'Pak Raden'. Ah, itu masih mending. Karena terkadang, Ajeng juga dipanggil nyai ronggeng, putri keraton nyasar, atau jepunjawa. Bahkan sampai sekarang Ajeng masih tak paham alasan mereka memanggilnya demikian.

Oke, lupakan hal itu sejenak. Karena sekarang, Ajeng sedang bahagia karena ia akan melangsungkan acara pertunangannya dengan Raden Sosroaminoto Sudrajat--, cowok tampan keturunan jawa asli yang dipilihkan mamanya untuk menjadi calon suami Ajeng.

Tidak, Raden--begitu Ajeng memanggilnya--tidak se-annoying namanya. Dia justru mempunyai badan tegap, agak kurus, kulit kecokelatan, dan sepasang mata tajam seperti raja-raja jaman dulu, wajahnya juga lumayan ganteng. Bedanya cuma kali ini Raden pakai setelan jas, bukannya beskap jawa--hal yang justru berkebalikan dengan Ajeng yang memakai kebaya dan bawahan batik.

Awalnya, Ajeng menolak mentah-mentah ketika ia dijodohkan dengan Raden, orang yang menurutnyo kuno, kaku dan budak tata krama. Tapi nyatanya, setelah bertemu langsung dengan Raden, dia tidak seburuk itu. Bahkan nama dan sikapnya nyaris berbanding terbalik. Raden lebih mirip politikus-politikus muda yang suka berdebat menyuarakan aspirasi di depan publik, pria ramah dengan senyum memikat.

Oke, bukannya Ajeng tergila-gila dengan Raden. Ia hanya suka pada pembawaan Raden yang kalem tapi berwibawa, kebapak'an dan terlihat dewasa sekaligus. Dari semua kandidat calon suami yang dipilihkan mamanya, cuma Raden saja yang memenuhi kriterianya.

"Macam mana pula si Raden itu! Malah pake jas resmi, bukannya beskap. Kan aku sudah bilang suruh pake beskap. Tak dengar kah dia?"

Gerutuan Sang Mama tertangkap telinga Ajeng. Tidak terlalu keras memang, tapi cukup membuat telinga Ajeng berdengung karena jaraknya yang terlalu dekat. Bergeser satu langkah, Ajeng menatap mamanya kesal. "Mama apaan sih. Ngomongnya nggak bisa selow, sakit nih kupingku. Mau ganti emangnya kalo rusak?"

"Sudah berapa kali kubilang jangan panggil mama. Tapi ibunda. I-b-u-n-d-a. Kenapa otak kau tak paham-paham?" kini gantian Ajeng yang kena damprat mamanya.

Dulu Ajeng memang memanggil mamanya dengan sebutan ibunda. Tapi panggilan itu langsung berubah ketika Ajeng ditertawai teman-teman SMP-nya karena dianggap kuno dan aneh. Sejak itulah Ajeng mengubah panggilan pada ibunya menjadi mama--dan berlangsung sampai sekarang. Teguran mamanya bahkan ia hiraukan berkali-kali.

Mengambil napas dalam, Ajeng berusaha mengendalikan diri. "Udah deh Ma, nggak usah drama gitu. Mama kan harusnya seneng tuh bakal dapat calon mantu pangeran, putra mahkota. Impian Mama sejak jaman orok akan segera tercapai."

"Tak ada pangeran jawa yang pake jas!" seru mamanya, ketus. "Pokoknya ibunda mau si Raden ganti baju dulu sebelum acara! Kalau masih ndableg seret saja sekalian."

Satu detik setelahnya, tubuh gempal berbalut kebaya merah dan jarik cokelat itu melangkah anggun mendekati Raden yang tengah bercakap-cakap dengan Edogawa--ayah kandung Ajeng.

Dan Ajeng cuma bisa memutar bola mata dan menyeret kakinya untuk duduk di kursi tamu, memilih untuk menonton drama yang akan dibuat mamanya sebentar lagi. Kadang Ajeng juga suka gagal paham. Jika dari dulu mamanya bernafsu dengan laki-laki keturunan Raja Jawa, kenapa ia justru menikah dengan ayah Ajeng yang nyata-nyata keturunan Jepang?

Raden Mas & Raden Ajeng (SUDAH TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang