BAB 3; Ibunda
Ajeng melirik ke arah Naren yang sedang sibuk dengan smartphone-nya, bermain gim mobile legend. Cowok itu bahkan tidak protes ketika Ajeng masuk dengan seenak jidat dan mendorongnya sampai terpantuk jok. Ajeng jadi was-was kalau ada yang salah dari otak Naren.
Jika boleh jujur, Ajeng juga sebenarnya malas berada satu mobil dengan Si Bejo jadi-jadian ini. Tapi karena Ajeng memang lupa bawa dompet dan ponsel, jadi dengan sangat terpaksa Ajeng ikut nebeng mobilnya Neren. Agak heran juga sih sales cokelat macam Naren punya mobil sekelas fortuner. Mungkin pinjaman dari bossnya, pikir Ajeng.
"Eh, Bejo. Lo masih inget rumah gue kan?" Ajeng bertanya agak keras, berharap suaranya dapat didengar Naren yang masih sibuk dengan ponselnya.
Tapi nyatanya, cowok itu cuma diam. Tatapannya tidak beralih sedetik pun dari ponsel. Kalau saja Ajeng punya pacar kayak Naren, pasti sudah dia putusin dari jaman purba kala. Enggak banget punya cowok kecanduan game kayak gitu. Hidupnya enggak bisa lepas dari gadget.
Kesal karena diabaikan, Ajeng memukul lutut Naren dengan sepatu keras-keras. Cowok itu mendesis kesal dan menatap Ajeng dengan raut wajah murka. "Udah dikasih tumpangan gratis masih aja kebanyakan drama. Mau lo tuh apa sih?"
"Ya siapa suruh gue nanya baik-baik malah lo kacangin?" balas Ajeng, tidak terima.
Narendra membuka kacamatanya dan mengusap wajah, tampak frustrasi. Matanya memerah ketika menatap Ajeng. "Bisa nggak sih lo berhenti ganggu hidup gue?"
Ajeng menaikkan alis. "Bukannya yang deketin gue duluan itu elo ya? Kenapa jadi lo yang enggak terima? Lagian gue juga udah nanya baik-baik, Bejo. Lo masih inget kan alamat rumah gue? Kalo enggak kan gue kasih tau lagi alamatnya biar nggak nyasar."
"Kan bukan gue yang nyupir, Nyonya Painem. Ya lo ngomong langsung dong sama Mang Cipto. Bukannya malah gangguin gue!" wajah Naren benar-benar terlihat frustrasi. Dan rasanya Ajeng malah ingin tertawa melihat ekspresi Naren yang seperti itu.
Cepat, Ajeng berdehem, mengendalikan diri.
"Iya-iya. Gue yang salah," balas Ajeng akhirnya. "Kalo gitu gue mau pindah depan aja deh. Males gue satu bangku sama lo."
"Lo pikir gue juga mau gitu sebangku sama lo? Najis."
Ajeng hanya memutar bola mata. Ia setengah berdiri, menyingsing rok batik super ribetnya sampai lutut dan melangkah tanpa canggung untuk berpindah ke kursi depan. Untungnya Ajeng memakai celana pendek, jadi tidak perlu malu.
Ketika akhirnya ia mendudukkan pantatnya di bangku samping kemudi, Ajeng membenahi pakaiannya, menoleh ke arah Pak Cipto dan tersenyum manis. "Maaf ya Pak. Enggak sopan tadi saya main ngelangkah gitu aja. Bapak nggak keberatan kan?"
Pak Cipto tersenyum sopan. "Enggak kok Neng."
Ajeng mengangguk. "Oh iya Pak. Habis di perempatan depan itu belok ke kanan ya. Rumah saya ada di perumahan mekar sari."
Pak Cipto hanya mengangguk dan melajukan mobil sesuai dengan arahan Ajeng. Sementara itu, Ajeng menyamankan posisi duduknya, kemudian menghela napas panjang. Hari ini benar-benar melelahkan sekali.
****
Mereka akhirnya tiba di rumah Ajeng pukul setengah tujuh malam. Sisa-sia pesta tadi siang masih terlihat meski tidak terlalu mencolok. Ajeng sendiri tidak peduli dengan respon Naren nantinya. Biarlah dia dengan pikiran dangkalnya bahwa Ajeng gagal menikah. Karena memang itu kan kenyataannya?
Ah. Ajeng jadi kesal sendiri jika mengingat tingkah kekanakan mamanya tadi. Pasti besok pagi Ajeng akan langsung jadi narasumber yang diberondongi banyak pertanyaan di tempatnya bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Raden Mas & Raden Ajeng (SUDAH TERBIT)
Romance#RomanceComedy Berkisah tentang Ajeng; cewek keturunan Sunda-Jepang-Batak yang diharuskan menikah dengan seorang pangeran jawa asli gara-gara obsesi Sang Mama. Lalu ada Narendra; sarjana teknik informatika yang terpaksa meletakkan mimpinya untuk me...