Aku coba mengerjapkan mata. Suasana sudah semakin ramai di dalam ruang ini. Meskipun pendingin ruangan menyala-sepertinya bahkan sudah sampai pada suhu 16 derajat-namun keringatku sedikit-sedikit tetap menetes.
Sebentar lagi, konferensi pers singkat ini akan dimulai. Riuh redam pewarta yang bersiap-siap mengiringi aku-yang notabene hanya tamu undangan, bukan wartawan- kembali berusaha meredakan resah. Lagi, gambaran rentetan kejadian yang belum (tentu) terjadi hadir dalam kepalaku.
Tak lama, seseorang yang ditunggu masuk ruangan. Alan, namanya. Buatku, dia seorang teman. Teman sejak hampir sepuluh tahun lalu. Tidak banyak yang berubah kulihat darinya setelah lebih enam bulan aku pergi. Senyum ramahnya yang tersungging saat puluhan kilat cahaya kamera menghadangnya, masih sama.
Namun saat ini, di mana aku sedang merasa bersalah padanya, senyumnya itu tentulah sedikit banyaknya membuat cemasku kian bertambah.Aku duduk di salah satu kursi di meja bundar deretan paling belakang. Sengaja berusaha menghindar dari fokus yang mungkin saja salah mendarat saat konferensi berlangsung. Aku tau ini penting buat Alan. Ini konferensi pers pertamanya setelah debutnya dua pekan lalu. Sebetulnya, aku tidak berniat datang ke sini awalnya. Jiwa pengecutku memuncak saat aku dikabari Ibu bahwa ada undangan yang membuatku harus pulang ke Indonesia.
Iya, undangan konferensi ini. Jadi, ya begitu, aku datang karena Ibu sudah memaksaku hadir.Aduh, sebut saja aku paranoid. Tentu tidak mungkin kan fokusnya akan salah mendarat jikapun aku duduk di meja terdepan. Tapi, kau bisa menebak apa masalahku saat ini dengannya?
Hutang? Enggak, aku gak lagi ngutang uang.
Tapi, sepertinya kalau disebut ngutang omongan (dibaca: janji), aku akan diam saja.Singkat cerita, konferensi pers sudah dimulai sejak 15 menit lalu-sementara aku menjelaskan padamu perihal kenapa aku duduk di bangku paling belakang.
Ini yang aku bayangkan dari tadi,
Salah seorang wartawan bertanya, "Mas Alan dapet inspirasi nulis lagu single pertama ini darimana ya? Boleh ceritain dong"Rupanya, kini imajinasiku itu terwujud. Wartawan yang baru saja menanyakan hal itu tetap berdiri menunggu jawaban Alan. Ah, andaikan kasus ini juga terjadi pada anganku menyelesaikan laporan praktikum dalam durasi 15 menit.
Baiklah, lupakan. Yang jelas, saat ini tibalah Alan akan menjawab pertanyaan itu."Waduh, jujur aja saya juga lupa inspirasi awalnya banget darimana, tapi yang jelas, lagu ini seinget saya mulai saya tulis liriknya dari sekitar 5-6 bulan yang lalu."
Dalam hati aku mencecar diri sendiri setelah mendengar jawaban Alan keluar dari pengeras suara. 'Mampus lo dilupain, lagian sih main kabur aja'.
Aku berusaha mengalihkan pandangan dari panggung kecil itu, mengambil botol air mineral lantas meneguknya sebatas formalitas.
Dari balik beningnya air dan botol plastik, aku melihat sepertinya kini Alan melirik sekilas ke arah meja terbelakang ini, lalu menoleh kembali ke arah pewarta-pewarta yang bertanya.Beberapa belas menit selanjutnya terlewati akhirnya. Tidak banyak rupanya bayangan jelekku yang jadi kenyataan. Tidak terlalu buruk sepertinya menghadiri konferensi pers seorang teman yang baru naik daun. Lagi-lagi, sepertinya benar ini hanya pikiranku yang bermasalah.
Alan sudah keluar ruangan 5 menit yang lalu. Pelan-pelan, keramaian sepertinya mengurai. Beberapa pewarta malah ada yang bergegas menyusul Alan keluar.
Aku masih duduk tenang menghela nafas lega, sambil dalam hati kubilang, 'ok saatnya pulang'.
Yaa, setidaknya saat Ibuku bertanya, aku sudah bisa jawab, "iya aku dateng tadi. Sampai selesai."Tapi tak sampai tiga menit jelang aku keluar ruangan, hp ku bergetar. Sebuah sms masuk.
"Gile, gue kira u ga dateng, Ra. Gc sini, gue di ruang B.304."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Cerita Pendek: Overthinking
Historia CortaApa jadinya jika kau harus bertemu lagi dengan teman lama yang- sengaja kau tinggalkan, dan kau-aduh, apa ya istilah formalnya?- ghosting? Kalau aku, saat ini dalam momen seperti itu, jelas aku merasa bersalah. Tambah-tambah, ramai suara di pikirank...