Prolog

5.1K 291 6
                                    

"Aku pengen putus." ujarku tanpa memikirkan apapun.

"Kenapa?"

"..."

"Kenapa!"

Lelaki di hadapanku kini sedang marah. Aku tahu dan aku tak mempedulikannya. Pada akhirnya dia akan muak denganku dan itu yang sedari tadi kuharapkan.

Aku masih diam. Jujur aku tak berani menjawab. Menatap tali sepatuku rasanya dua kali lipat lebih baik dari pada memandang matanya yang kelam. Matanya yang biasa menatapku lembut kali ini tak kudapatkan dari dirinya.

"Oke" finally. Apa ku bilang, pada akhirnya dia akan muak dengan perempuan sepertiku. Kemudian dia pergi. Dia pergi meninggalkanku dengan semudah itu. Lagi pula apa yang bisa diharapkan pada seorang wanita penyebab kekacauan di hidupnya.

Dibawah langit senja dengan goresan jingga adalah saksi berakhirnya ikatan cinta masa muda. Semua musisi mengatakan tak ada yang perlu disesali dari sebuah ikatan cinta masa muda. Tak ada, kecuali sakitnya perpisahan. Mana ada orang yang ingin berpisah dari orang terkasih sekalipun orang itu adalah cinta masa muda kita.

Sebuah kenangan menyakitkan itu, aku mengingat semuanya. Saat itu taman Suropati masih cukup lenggang dn belum ada aktifitas humaniora yang biasanya akan mulai crowded saat jam-jam sore. Aku mengingat dengan betul tentang hari itu. Hari jumat sore, di pertengahan bulan Juli. Dia datang dengan style nerd  andalannya yang sudah cukup terkenal oleh penghuni FISIP tempatnya menimba ilmu. Bahkan dia cukup terkenal sebagai salah satu anak FISIP yang tidak tampil trendy. Saat itu dia menggunakan celana bahan warna hitam, kemeja kotak-kotak biru-putih, kacamata minusnya, serta tak ketinggalan tas selempang yang bulukan kepunyaan brand eiger─mungkin akan menjadi bagian yang paling kurindukan karna tas selempang itu hadiah dariku saat ulang tahunnya. Rambutnya saat itu bahkan mengikuti tren Elvis Presley, klimis dan berkilau karna terkena sinar matahari di pertengahan musim panas. Kebetulan dia adalah tipe pria penganut rambut klimis ala politikus Indonesia.

Aku juga mengingat betul perubahan ekspresinya saat aku mengucapkan kalimat terkutuk itu. Aku melihat kekecewaan dan keputusasaan terpatri di raut wajahnya. Sungguh, dalam hati kecilku yang paling dalam aku merasa tak tega bahkan sempat berkeinginan untuk memeluknya, mengatakan bahwa aku tak sungguh-sungguh mengatakannya atau semua yang kuucapkan hanyalah sebuah guyonan garing. Tapi tidak semudah itu. Tidak pernah semudah itu. Bahwasanya apa yang terjadi di antara kami sudah terlalu rumit untuk dijalani atau pun di perbaiki. Maka aku pun memilih melepaskannya. Jangan panggil aku si naif, tidak, aku tidak se naif itu. Aku hanya memutuskan sesuatu pada timbangan antara pros and cons dan ketika menimbang dengan kewarasan yang utuh memang berpisah menjadi alternatif yang tak bisa dihindarkan. Meskipun kita saling mencintai? Hei... jangan percaya dongeng Cinderella yang mengatakan cinta saja sudah cukup untuk membangun sebuah hubungan. Tidak. Banyak faktor lain yang juga sama berartinya dengan cinta itu sendiri dan dalam ikatan kami faktor itu tidak cukup terpenuhi.

Setelah hari itu berlalu aku berubah menjadi si gadis munafik, bukan lagi si primadona kampus. Aku malah menyesali keputusanku sesaat setelah dia meninggalkanku. Aku tak tahu apa keinginanku saat itu, aku berusaha memenuhi keinginan logikaku namun rupanya keinginan hatiku tidak terpuaskan. Aku luruh setelah beberapa langkah ia meninggalkanku. Aku menangis kesakitan sampai beberapa orang yang melewatiku memandangku simpati. Aku bahkan dengan tidak tahu malunya meraung keras seakan akulah yang menjadi korban. Aku tahu dia mencintaiku tanpa syarat namun aku lebih memilih menyakitinya untuk kebahagian semua. Sungguh munafik bukan?

Romance WeekendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang