Hai matahari, kuharap kau tetap di sana bersama denganku. Setidaknya, sampai pukul 12.
Pagi ini udara cukup lembab. Dingin, menusuk, dan membuatku tak nyaman. Rasanya mirip tulang selangkanganku yang seperti mau patah. Semalam, setelah kami bercinta-tidak, sepertinya cuma aku saja yang menganggap kegiatan bersetubuh kami itu bercinta-Taehyung menendang selangkanganku sekeras mungkin sampai bunyi 'krek' terdengar jelas memantul ke seluruh ruang kamar kami.
Dia tidak suka kalau setiap kali kami bersetubuh, aku klimaks lebih dulu sebelum dirinya selesai.
Ponsel yang kuletakkan di atas nakas berkali-kali berbunyi. Dengan susah payah, berusaha kuraih ponsel itu sampai pada akhirnya aku gagal. Ponsel itu jatuh ke tangan Taehyung yang tak kusadari kehadirannya.
Sedetik seusai melihat layar ponselku, dia mendadak memandangku dengan dahi mengerut.
"Siapa yang mengirim pesan?"
Senyumnya tersungging. Lalu memutuskan untuk membaca pesannya, "Miryeo, ingat aku? Nayoung, teman SMA-mu. Kudengar saat ini kau ada di Seoul, bolehkah kita bertemu? Aku mau mempertemukanmu pada seseorang." Alis yang terangkat terkejut itu memiliki emosi yang sama denganku. Kumulai sebuah gemetar pada sekujur tubuh. "Kau pasti akan suka. Sejak dulu bukankah kau menggilai seorang eksekutif sampai berandai-andai mau menikahi salah satunya?"
"Ah," Taehyung menggaruk dagunya yang baru saja kucukur kemarin sore pada saat senja mengapung di jendela kamar mandi kami. Momen itu manis karena dia diam dan bilang 'terima kasih' setelah aku selesai melakukannya. "Tipe idealmu seorang eksekutif?" Dia menatapku dengan ribuan amarah yang hendak meledak.
Tentu.
Tapi aku begitu mencintaimu. Jadi kurasa tidak.
Dengan cepat aku menggeleng takut. "Tidak. Tentu saja itu dulu, sekarang aku sudah berubah." Menjadi lebih buruk, tepatnya.
"Aku akan menolak ajakannya-"
"Tidak, Sayang, kau tidak perlu menolaknya. Aku yang akan mengantarmu untuk bertemu dengannya."
"Tapi aku tidak mau pergi, aku tidak perlu pria lain,"
Wajah Taehyung melembut. Dia membungkuk mendekatkan wajahnya ke wajahku. "Aku sudah mengizinkanmu, jadi pergi saja. Toh, denganku?"
Seusai mengatakan hal tersebut, dia melenggang keluar dari kamar membuatku terheran-heran atas kebaikannya. "Ada apa dengannya?" Tanda itulah yang perlu untuk kuwaspadai.
***
Malamnya aku benar-benar pergi untuk bertemu dengan Lee Nayoung. Dan Taehyung juga benar-benar serius mengantarku. Dia bahkan memintaku untuk memakai gaun Versace berkelap-kelip, mengharuskanku untuk berdandan dengan pantas, lalu mempersilakan diriku untuk masuk menemui Nayoung sendirian sementara dia menunggu di sekitar lobi.
Seorang pelayan perempuan mengantarku ke meja yang Nayoung pesan, dan ketika tiba, dalam satu meja tersebut dia telah duduk berhadapan dengan seorang pria muda yang memakai tuksedo rapi.
Nayoung segera berdiri menyambutku, dia sungguh cantik dan cemerlang. Dari caranya tersenyum, dapat kupastikan kalau dirinya pasti sebebas burung. "Duduklah," Caranya menjabat tanganku luar biasa tegas, Nayoung adalah definisi kebebasan sesungguhnya.
Sekilas ketika aku hendak menduduki kursiku, sosok yang datang bersama dengan Nayoung terlihat tersenyum ke arahku. Dan kelihatan sungguh familiar.
Tangan Nayoung menunjuk sosok pria itu dengan cara yang sopan dan anggun menggunakan kelima jemarinya bak seorang Pramugari yang tengah bertugas di atas pesawat. "Tuan Eksekutif yang kita bicarakan tadi pagi," katanya. "Tidak ingat padanya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Better Sick : To Forget
Fiksi PenggemarLuka masa lalu, hari ini, dan yang akan datang. "Aku terlambat menyadari kalau separuh diriku yang kutemukan dari dirimu ternyata tidaklah tepat."